ICC Jakarta – Etika atau moralitas memainkan peran penting dalam setiap agama, sedemikian pentingnya hingga menurut sejumlah orang, agama itu tidak lain hanyalah etika. Dapat diargumentasikan bahwa, dalam Islam, nilai-nilai moral dianggap sangat signifikan dan setidaknya merupakan bagian paling sentral dari agama. Untuk memulai pembahasan tentang topik ini, ayat-ayat al-Quran yang melukiskan hikmah dibalik diutusnya Nabi Muhammad saw sebagai seorang rasul akan dikutip.
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأُمِّيِّيْنَ رَسُوْلاً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمْ الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ إِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِيْنَ
Dia Yang mengutus kepada kaum yang buta aksara seorang Rasul dari kalangan mereka, untuk membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, serta mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah, dan mereka sebelumnya sungguh-sungguh berada dalam kesesatan yang nyata (QS. al-Jumu’ah [62]:2).
Menurut ayat ini, tugas-tugas utama Rasulullah saw adalah membacakan ayat-ayat Kitab Suci, menyucikan manusia dan mengajarkan mereka. Hal serupa diungkapkan dalam dua ayat lainnya:
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ إِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمْ الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ إِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِيْنَ
Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika Dia mengutus di antara mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri untuk membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka, menyucikan mereka serta mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah, dan sungguh sebelum itu mereka berada dalam kesesatan yang nyata. (QS. Ali Imran [3]:164)
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلاً مِنْكُمْ يَتْلُوْ عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمْ الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَ
Sebagaimana Kami mengutus kepada kamu seorang Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu, menyucikan kamu serta mengajarkan kamu Kitab dan Hikmah, dan mengajarkan kamu apa yang sebelumnya kamu tidak tahu (QS. al-Baqarah [2]:151).
Para mufasir al-Quran berargumen bahwa kedua ayat ini merupakan jawaban terhadap doa Nabi Ibrahim as. Ketika beliau dan putranya Ismail as sibuk dalam membangun dinding-dinding Ka’bah, mereka berdoa kepada Allah Swt dengan kata-kata ini:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيْهِمْ رَسُوْلاً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمْ الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيْهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Wahai Tuhan kami! Utuslah di antara mereka seorang Rasul yang akan membacakan ayat-ayat-Mu kepada mereka, mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Mahaperkasa Mahabijak (QS. al-Baqarah [2]:129).
Dalam doa Nabi Ibrahim as dan putranya, penyucian menempati posisi final di antara tiga konsep tersebut, sedangkan dalam jawaban Allah Swt, penyucian dianggap lebih penting dibandingkan dengan pengajaran. Ini menggambarkan signifikannya moralitas dalam Islam.
Dalam hadis-hadis Nabi juga, penekanan besar diberikan terhadap nilai-nilai moral. Berdasarkan sebuah hadis terkenal, Rasulullah saw bersabda:
بُعِثْتُ لِاُتَمِمَ مَكَارِمَ الْاَخْلاَقِ
“Aku telah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(Bihar al-Anwar, jilid 67 halaman 372 dan jilid 68 halaman 373)
Dari redaksi hadis ini bisa diambil dua kesimpulan.
Pertama, “akhlak yang mulia” (atau makarim al-akhlaq) itu berbeda dari “akhlak yang baik” (atau mahasin al-akhlaq). Akhlak yang mulia sesungguhnya dianggap sebagai sebuah tahap yang lebih maju dibandingkan dengan akhlak yang baik. Sebagai contoh, memberi sedekah merupakan akhlak yang baik namun memberi sedekah kepada orang yang telah menzalimi kamu, merupakan akhlak yang mulia. Demikian pula, berkunjung kepada orang-orang merupakan akhlak yang baik, namun berkunjung kepada seseorang yang telah menolak atau menelantarkan kamu merupakan akhlak yang mulia.
Kedua, kata-kata “menyempurnakan” mengindikasikan fakta bahwa para nabi as sebelumnya telah memulai tugas ini dan tugas Rasulullah saw adalah menyempurnakannya.
Dengan mencermati kisah kehidupan para nabi as, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai moral para nabi as telah memperoleh perhatian besar dalam al-Quran. Ciri terbaik dari setiap nabi as yang diperkenalkan dalam al-Quran adalah moralitas dan bahkan para nabi as yang tidak disebutkan dalam al-Quran memiliki kualitas ini. Ketika berfirman kepada Rasulullah saw, Allah Swt mengungkapkan kekaguman karena akhlak mulia yang dimiliki oleh beliau saw:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya engkau memiliki akhlak yang agung (QS. al-Qalam [68]:4).
Dari ayat-ayat tersebut di atas, tampak jelas bahwa sejumlah sifat Rasulullah saw disebutkan dalam al-Quran dan bahwa sebagian besar darinya adalah nilai-nilai moral, seperti ketundukan kepada Allah Swt, bersikap santun terhadap manusia, takut kepada Allah Swt, mengasihi makhluk seluruhnya, jujur dan sebagainya. Berkenaan dengan Nabi Ibrahim as pun, sejumlah sifat disinggung dalam Kitab Suci. Sekali lagi, sebagian besar dari sifat-sifat ini merupakan sifat-sifat etika, seperti beliau adalah seorang pemurah hati, sabar, taat, bersyukur, jujur dan sebagainya. Hal serupa juga dimiliki oleh para nabi as lainnya.
Bukti lain yang menegaskan posisi tinggi moralitas dalam Islam adalah fakta bahwa sebagian besar doa dan permohonan yang dipanjatkan oleh para Imam kepada Allah adalah meliputi nilai-nilai moral.
Mengingat seluruh fakta ini, dapat disimpulkan bahwa moralitas merupakan aspek paling penting dari misi Rasulullah saw. Karenanya, sejak kedatangan Islam, para ulama telah berupaya untuk menjelaskan dimensi-dimensi moral Islam.