Sejumlah pakar hak asasi manusia mengecam keputusan Israel yang kembali menghalangi upaya gencatan senjata dan memblokade bantuan kemanusiaan ke Gaza. Mereka menyebut tindakan ini sebagai bentuk “kelaparan yang dijadikan senjata” dan pelanggaran berat terhadap hukum internasional, yang semakin menjauhkan peluang perdamaian.
Dalam pernyataan resmi pada Kamis (6/3/2025), pakar independen PBB menyampaikan keprihatinan mendalam atas kebijakan Israel yang terus menghentikan suplai bantuan ke Jalur Gaza.
“Kami sangat prihatin dengan keputusan Israel yang kembali memblokir seluruh pasokan kebutuhan dasar dan bantuan kemanusiaan yang dapat menyelamatkan nyawa,” tegas mereka.
Sebagai kekuatan pendudukan, Israel berkewajiban memastikan akses pangan, obat-obatan, dan layanan darurat bagi warga Gaza. Namun, alih-alih menjalankan kewajiban tersebut, Israel justru secara sistematis memutus suplai kebutuhan penting—termasuk layanan kesehatan reproduksi dan alat bantu bagi penyandang disabilitas—dengan menjadikan bantuan sebagai alat perang.
PBB menegaskan bahwa blokade ini tidak hanya melanggar hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional, tetapi juga dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Statuta Roma.
“Seharusnya, kesepakatan gencatan senjata tiga tahap menjadi langkah menuju penghentian perang permanen dan pembebasan semua tahanan, baik Palestina maupun Israel. Namun, yang terjadi justru peningkatan kekerasan dan penderitaan yang lebih besar bagi rakyat Palestina. Ini tidak hanya ilegal, tetapi juga sangat tidak manusiawi.”
Menurut para pakar, pengepungan total terhadap Gaza—yang telah memaksa jutaan orang mengungsi berulang kali—hanya memperparah situasi kemanusiaan yang sudah berada di titik kritis. Saat ini, lebih dari 80 persen lahan pertanian dan infrastruktur sipil di Gaza telah hancur, memperburuk krisis pangan.
“Menciptakan kondisi yang tidak layak huni bagi rakyat Palestina tampaknya menjadi strategi utama Israel di seluruh wilayah pendudukan, dari Gaza yang luluh lantak hingga Tepi Barat yang terus ditekan.”
Meski gencatan senjata sempat membawa secercah harapan bagi warga Palestina dan Israel, kenyataannya serangan terhadap warga Palestina “tidak pernah benar-benar berhenti”. Sejak 19 Januari—tanggal resmi penghentian pertempuran—militer Israel berulang kali melanggar perjanjian dengan melancarkan serangan udara dan menembaki warga sipil.
Para pakar juga menyesalkan sikap beberapa negara dan organisasi regional yang langsung mendukung keputusan Israel untuk menghentikan bantuan dengan alasan bahwa Hamas melanggar gencatan senjata. Sementara itu, pelanggaran berulang yang dilakukan Israel justru hampir tidak mendapat sorotan internasional.
“Kami mendesak para mediator untuk bertindak tegas dan memastikan kesepakatan gencatan senjata ditegakkan. Komunitas internasional harus segera mengambil langkah nyata untuk menghentikan serangan brutal ini. Jika tidak, dunia akan terseret semakin dalam ke dalam pusaran pelanggaran hukum dan ketidakadilan.”
“Gerbang Neraka” untuk Gaza: Seruan Pejabat Israel
Pernyataan keras dari pakar HAM ini muncul setelah sejumlah pejabat Israel menyerukan peningkatan agresi di Gaza serta mendukung pemblokiran bantuan sebagai strategi perang. Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, bahkan menyebut kebijakan ini sebagai “langkah penting ke arah yang benar”.
“Langkah selanjutnya dalam perang ini adalah memutus listrik dan air, lalu membuka gerbang neraka di Gaza dengan serangan yang cepat, kuat, dan mematikan,” ujarnya.
Sementara itu, mantan Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben Gvir, secara terbuka menyerukan penghancuran total Gaza, termasuk pemboman gudang bantuan yang telah dikumpulkan selama dan sebelum gencatan senjata.
“Pemerintah harus memerintahkan pengeboman stok bantuan yang menumpuk dalam jumlah besar di Gaza, serta sepenuhnya memutus aliran listrik dan air,” tulis Ben Gvir di platform X (sebelumnya Twitter).
Ia juga menegaskan bahwa strategi ini bertujuan untuk “membiarkan Hamas kelaparan”, sehingga perang bisa dilanjutkan dan kelompok tersebut dapat dihancurkan dengan lebih mudah.
Pemadaman Listrik dan Krisis Air: Gaza Terancam Bencana Kemanusiaan
Di tengah blokade yang semakin ketat, Israel memutus aliran listrik ke dua pabrik desalinasi air di Deir al-Balah, yang selama ini menjadi sumber utama air bersih bagi warga sekitar.
Meski media Israel mengklaim bahwa pemadaman ini disebabkan oleh masalah teknis, pasukan Israel justru melarang perbaikan jaringan listrik tersebut. Akibatnya, lebih dari 20.000 meter kubik air bersih per hari—yang digunakan untuk minum dan irigasi—tidak lagi tersedia bagi warga Gaza.
Tanpa akses air bersih, warga Gaza terancam mengalami dehidrasi serta berbagai penyakit serius, seperti gangguan ginjal dan infeksi akibat sanitasi yang memburuk.
“Blokade total terhadap bantuan kemanusiaan ke Gaza adalah tindakan kejam yang tergolong hukuman kolektif. Ini adalah pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional,” tegas organisasi medis Médecins Sans Frontières (Doctors Without Borders) dalam unggahan mereka di X.
“Bantuan kemanusiaan tidak boleh dijadikan alat perang. Apa pun yang terjadi dalam negosiasi, warga Gaza tetap membutuhkan pasokan bantuan yang besar dan mendesak.”
Sejak Israel melancarkan serangannya terhadap Gaza pada 7 Oktober 2023, lebih dari 48.000 warga Palestina telah terbunuh, sementara lebih dari 1,8 juta lainnya terpaksa mengungsi.
Situasi di bagian selatan Gaza, seperti di Mawasi, Rafah, dan Khan Younis, semakin memburuk. Sistem kesehatan di wilayah ini runtuh, sementara limbah dan sampah terus menumpuk akibat hancurnya infrastruktur pengelolaan sampah.
Akibatnya, wabah penyakit mulai menyebar, termasuk infeksi saluran pernapasan yang sangat berbahaya bagi anak-anak dan lansia. Penyebaran serangga dan tikus semakin meningkatkan risiko kesehatan bagi warga yang sudah berada dalam kondisi rentan.
Sumber berita: https://www.middleeasteye.net/
Sumber gambar: https://www.telegraph.co.uk/