ICC Jakarta – Setiap tanggal 1 Juni bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila. Peringatan tahun ini lebih istimewa karena bersamaan dengan pelaksanaan ibadah puasa Ramadan.
Eksistensi Pancasila adalah final bagi NKRI. Pancasila menempatkan nilai spiritual menjadi paling sentral. Konsekuensi logisnya adalah keharusan untuk menciptakan iklim politik pemerintahan yang berketuhanan, menghadirkan pemimpin yang spiritualis, serta hukum/aturan yang menghormati norma keagamaan.
Spiritualisme dapat diletakkan secara fundamental pada setiap sendi kehidupan politik bangsa. Dinamika politik Indonesia mesti terus dibangun secara demokratis dan bermartabat. Pembelajaran dapat dilakukan dari berbagai sumber.
Hal yang wajar sebagai bangsa mayoritas muslim belajar dan meneladani sejarah kejayaan Islam dalam mengelola peradaban. Istilah demokrasi memang tidak dihadirkan Islam, tapi substansi dalam batas kebaikan telah dibuktikan olehnya.
Piagam Madinah
Fakta keberhasilan politik Islam telah dicontohkan oleh masyarakat Madinah pada masa Rasulullah dan sahabat. Secara politis, muslim dan pemeluk agama lainnya hidup mandiri, berdaya, teratur dan egaliter sebagai warga negara.
Untuk mewujudkannya kembali ilmuwan politik Islam seperti Ibnu Aby Rabi, Al-Mawardi dan Al-Ghazali memaparkan pentingnya rasa aman, keadilan, dan supremasi hukum.
Mc. Donald menyebut Madinah sebagai negara Islam pertama yang memiliki dasar-dasar politik dan perundang-undangan. Muhammad SAW sebagai kepala negara kala itu telah menetapkan dasar-dasar dan sendi-sendi pemerintahan, dan berhasil menyatukan semua golongan (Ridha, 2003).
Resep rahasianya adalah implementasi spiritualisme Islam ke seluruh sendi kehidupan, termasuk politik.
Sejarah mencacat, di zaman Rasulullah telah dihasilkan konstitusi yang berkeadilan dan demokratis, yaitu Piagam Madinah. Pakar Barat seperti Julius Wilhausen, Leon Caetani, Hubert Grime, Montgomery Watt dan lainnya mengakuinya sebagai konstitusi pertama di dunia dan paling lengkap sepanjang sejarah manusia.
Hidayat (1995, dalam Soelhi, 2003) merangkum temuan penting dari Piagam Madinah. Pertama, piagam ini mampu menghapus tribalisme (kesukuan) menuju pembangunan negara baru.
Kedua, Piagam Madinah dinamis seiring dengan kondisi kebutuhan kekinian dan mengakomodasi seluruh elemen agama. Ketiga, semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hak dan kewajiban serta wajib melindungi yang lemah.
Dalam kebijakan ekonomi misalnya, bagi Muslim wajib membayar zakat, sedangkan non-muslim berupa jizyah dan kharaj. Negara mengakui, melindungi dan menjamin kebebasan warga menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.
Keempat, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dalam prinsip kebenaran dan keadilan. Kelima, hukum adat/tradisi dengan berpedoman pada keadilan dan kebenaran tetap dilakukan.
Keenam, negara menganut asas pacta sun servanda (perjanjian harus dihormati) selama perjanjian ini berlaku. Ketujuh, semua warga negara mempunyai kewajiban yang sama terhadap Negara.
Kedelapan, perdamaian adalah tujuan utama, tapi pencapaiannya tidak boleh mengorbankan kebenaran dan keadilan. Kesembilan, sistem pemerintahan adalah desentralisasi. Namun, pemerintah pusat adalah pemutus terakhir jika daerah buntu.
Piagam Madinah mengajarkan pelaksanaan politik pemerintahan yang tidak kaku. Efek positifnya terasa dengan dijunjungnya etika, moralitas, ikatan kepercayaan, dan rasa kasih sayang.
Piagam Madinah juga mampu melindungi dan mengatur perikehidupan bernegara yang multi-etnis dan berbeda-beda agama. Hal ini menjadi bukti telah terjalankannya iklim demokrastis dan keadilan.
Pembangunan Politik
Pembangunan politik membutuhkan harmoni sosial serta harmoni antara rakyat dan pemimpin. Harmonisasi tersebut merupakan kunci dalam optimalisasi penyelenggaraan program pemerintah.
Imam Al-Gazali menyatakan: “Dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan sempurna kecuali dengan adanya dunia. Kekuasaan dan agama tidak mungkin dipisahkan. Agama adalah tiang, penguasa adalah penjaga. Bangunan tanpa tiang akan roboh dan apa yang tidak dijaga akan hilang. Keteraturan dan keseimbangan akan terwujud kecuali dengan penguasa.”
Iklim demokrasi Indonesia pascareformasi telah terbuka lebar. Bahkan kadang terkesan berjalan tanpa kendali dan kebablasan. Atas nama demokrasi dan HAM semua kritik bahkan perbuatan bebas dilakukan. Apapun itu, poin positif berupa ruang partisipasi yang terbuka penting dioptimalkan.
Praktik politik yang memihak rakyat mesti terus diupayakan di tengah dominasi tingkah polah negatif oknum politisi dan pejabat. Hal ini tentu ini bukan karena politiknya yang kotor. Pendidikan politik guna memperbaiki kualitas demokrasi penting terus digalakkan bagi politisi, publik, dan lainnya. Substansi dan aplikasi Piagam Madinah dapat diadopsi konsepsinya guna membangun perpolitikan Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Ribut Lupiyanto Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)
Detiknews