ICC Jakarta – Konflik Suriah bermula dari Arab spring yang menginginkan adanya perubahan rezim. Basar Assad sebagai penerus ayahnyayang sangat otoriter dan berasal dari minoritas Alawi terus diguncang. Suriah juga harus dilihat dari geopolitiknya. Hampir semua konflik Timur Tengah tentu tidak terlepas dari sumber daya yang dikandungnya, yakni minyak dan lainnya.
“Hampir semua konflik di sana (Timur Tengah) berkaitan dengan itu (minyak),” kata pengamat Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Badrus Sholeh.
Suriah tidak saja bergolak karena dua kubu, yakni kubu Assad dan oposisinya. Tetapi setelah 2013, lahir Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) yang menjadi common enemy (musuh bersama) keduanya.
“ISIS seolah-olah menjadi common enemy,” ujarnya.
Meski Suriah terus bergejolak, Indonesia tetap kokoh mempertahankan duta besarnya di sana. Hal ini tentu saja bukan tanpa alasan. Indonesia ingin memisahkan agama dan negara karena yang berkembang saat ini seolah-olah hanya konflik Sunni dan Syiah.
Padahal menurut Badrus, konflik Suriah adalah murni ekonomi politik. “Ini murni ekonomi politik,” ujarnya.
Indonesia bahkan mempererat hubungan perdagangannya serta potensi wisata yang dimilikinya dengan mengadakan pameran-pameran. Indonesia juga berpandangan kalau apa pun yang ada di balik konflik ini, tentu yang rugi adalah masyarakat muslim secara umum, terutama warga Suriah. Jika semua orang mengisolasi Suriah pun orang Islam juga yang rugi.
Indonesia berupaya untuk mendukung proses demokrasi. Hal ini bukan berarti Indonesia mendukung Assad. Indonesia hanya tidak ingin kembali terjadi penggulingan ataupun pemaksaan dengan peperangan agar pemerintahan itu beralih dengan tanpa melalui proses demokrasi.
“Indonesia ingin proses demokratisasi berjalan dengan normal,” ungkap dosen lulusan Deakin University itu.
Dampak konflik Suriah terhadap Indonesia adalah meningkatnya angka terorisme. Ada sekitar 500-700 orang Indonesia yang berangkat ke Suriah. Ancaman terbesar adalah kembalinya mereka dari sana terhadap keamanan Indonesia. Hal ini persis seperti tahun ‘80-an dengan kembalinya alumni Afghanistan. Hal di atas telah terbukti dengan terjadinya bom pada awal tahun ini.
“Ketika mereka kembali adalah ancaman terbesar bagi keamanan Indonesia,” katanya.
Ormas Islam selalu siap untuk memperkuat posisi Islam moderat di dunia. Nahdlatul Ulama berkali-kali mengundang ulama Timur Tengah untuk bersinergi meningkatkan Islam moderat dan memperkuat politik Islam dunia. NU juga mengajak ulama Timur Tengah bersama-sama mengatasi bahaya radikal jihadis dan ancaman terorisme.
Pada tanggal 27-29 Juli lalu di Pekalongan, Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah mengundang ulama-ulama dunia untuk meningkatkan nasionalisme dengan tema Bela Negara : Konsep dan Urgensinya dalam Islam.
Begitupun Muhammadiyah yang pada awal November lalu menggelar World Peace Forum di Jakarta.
Forum yang bertemakan Ekstrimisme Global itu, menurut Badrus, merekomendasikan perlunya melihat kembali global justice dan ancaman terorisme dan radikalisme agar tercipta masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera.
Ormas Islam Indonesia akan bersama-sama ulama Timur Tengah untuk mengatasi konflik berkepanjangan ini. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berkomitmen menjaga keutuhan negara dan Islam moderat serta Islam dan kepentingan negara.
Isu Sunni-Syiah yang berembus hanya menjadi alat strategis bagi kaum radikal, terutama ISIS. Mereka melihat jihad mereka tidak saja melawan koalisi Internasional, tetapi juga melawan Syiah. Meningkatnya gerakan anti-Syiah di Indonesia juga cukup mengkhawatirkan. Hal ini mengingat jika kesamaan tujuan ini, maka tentu sangat berbahaya. Mereka memiliki persepsi yang sama terhadap Syiah. Namun di Indonesia sendiri, menurutnya, masih bisa diredam.
Konflik Suriah menurutnya masih panjang karena belum menemukan win-win solution. Konflik ini tidak bisa hanya memenangkan salah satu pihak. Oleh karena itu, duduk bersama adalah solusi untuk merumuskan win-win solution yang diharapkan.
Sumber: NU Online