ICC Jakarta – Riset sosiologi terbaru menunjukkan, polarisasi agama di AS meningkat seiring perubahan politik yang terjadi di sana.
Dari riset dengan menelaah data survei 30 tahun terakhir di AS yang dilakukan dua sosiolog dari Indiana University Bloomington Landon Schanbel dan Harvard University Sean Bock menemukan, bentuk agama intensif seperti Kristen Evangelikan tetap populer di AS. Sementara bentuk agama yang moderat seperti Protestan makin berkurang peminatnya.
Riset yang dipublikasikan di Sociological Science pada akhir November 2017 lalu itu menduga ada kaitan agama dengan konservatisme politik. Mereka yang secara politik beraliran liberal dan moderat yang telah merasakan agama dari orang tua mereka diidentifikasi tidak memiliki sikap reliji yang teratur. Meski begitu, masih banyak warga AS yang mengaku percaya Tuhan dan beribadah.
Schnabel menyatakan, populasi juga turut membentuk agama. Pada 1972, populasi penganut Protestan di AS mencapai 73,5 juta jiwa atau 35 persen total populasi. Jumlah itu turun menjadi 12 persen total populasi pada 2016 seiring menurunnya fertilitas para penganut Protestan dan kurangnya penganut baru.
”Agama yanng moderat dipandang makin tidak relevan di AS,” kata Schnabel seperti dikutip Science News, Kamis (14/12).
Temuan akademik lainnya adalah soal masa depan agama dalam masyarakat moderen. Beberapa saintis berpendapat, di negara-negara kaya, agama makin kurang dipedulikan. Namun dari survei yang dilakukan di 13 negara Barat, terjadi peningkatan kesadaran beragama sejak 1991.
Schnabel dan Bock sendiri termasuk yang berpandangan AS sebagai pengecualian sebab penganut agama di sana tidak berubah. Mereka yang meninggalkan gereja tetap menjaga keyakinan mereka.
Dalam General Social Survey (GSS) yang digarap National Opinion Research Center University of Chicago sepanjang 1989 hingga 2016 menemukan, populasi warga AS yang mengaku beragama relatif stabil di kisaran 36 persen. Sementara mereka yang mengaku tidak beragama naik dari sembilan persen menjadi 20 persen.
Meskipun yang mengaku tetap datang ke tempat ibadah naik dari 14 persen menjadi 25 persen. Sementara yang mengaku tidak pernah beribadah tetap stabil di kisaran 24 persen.
Peningkatan polarisasi agama di AS juga dibenarkan sosiolog dari New York University Michael Hout dan Claude Fischer dari the University of California. Menurut mereka, sebagian besar politisi liberal dan politisi moderat yang mengenal agama dari orang tua mereka tidak memiliki kecenderungan pada satu agama tertentu.
Hout menemukan, generasi milenial yang kurang terikat pada satu agama tertentu justru punya ikatan lebih kuat terhadap politik. Generasi milenial AS bersikap skeptis terhadap lembaga yang masih percaya pada Tuhan. ”Milenial sekarang lebih nyaman dengan agama yang ritualnya mereka lakukan senyaman mereka dari pada tidak beragama sama sekali,” kata Hout.
Hal itu dibantah sosiolog David Voas dari University College London dan Mark Chaves of Duke University. Keduanya menyebut generasi milenial justru kurang intensif terhadap agama. (Republika)