ICC Jakarta – Sebagai menteri agama RI yang baru, Gus Yaqut membuat sejumlah pernyataan yang sensasional. Salah satunya adalah soal afirmasi atau pengakuan hak beragama Syiah dan Ahmadiyah. Pernyataan ini lalu menuai protes keras dari sejumlah pihak.
Polemik tentang afirmasi suatu aliran, apakah termasuk ke dalam Islam atau bukan, sebenarnya bukan kasus baru. Sejak berabad-abad yang lalu, kaum Muslimin tak pernah berhenti berpolemik dalam hal ini. Faktanya, ajaran agama dan juga aliran-aliran yang ada di dalam ajaran agama tertentu memang sangat banyak. Setiap penganut aliran tersebut pasti akan berhadapan dengan pertanyaan tentang bagaimana menyikapi kelompok-kelompok di luar alirannya.
Dalam bukunya yang berjudul al-Milal wa al-Nihal, al-Syahristânî (wafat 549) mencoba menghitung jumlah agama dan keyakinan yang ada di dunia ini, baik di tengah kaum Muslimin sendiri maupun di luar kaum Muslimin. Tetapi usahanya ini tidak memberikan kepastian akan jumlah keyakinan dan agama yang sesungguhnya. Selain itu, al-Syahristânî juga tidak luput dari penilaian yang subyektif ketika ia sedang membahas aliran lain. Misalnya, dalam menyebut golongan-golongan yang bukan agama, dia menyebutkan mereka sebagai Ahlu al-Ahwâ (pengikut hawa nafsu).
Dalam keterangan lain, al-Syahristânî juga mendeskripsikan ajaran kelompok lain dengan akurasi yang buruk. Misalnya, dia menyebutkan bahwa ciri-ciri Syiah adalah meyakini tanasukh (reinkarnasi), hulûl (penyatuan dengan Zat Tuhan) dan tasybîh (penyerupaan Tuhan). Ia juga menulis bahwa Imam al-Hâdi, Imam Syiah yang kesepuluh, wafat dan dikubur di Qom. Penjelasan al-Syahristânî tentang Syiah seperti itu sangat tidak akurat, karena faktanya tidaklah seperti itu.
Selain al-Syahristânî, tokoh besar lain semisal Abu al-Hasan al-Asy’ari (wafat 330) dan Abu Manshûr Abdul Qâhir al-Baghdâdi (wafat 429) juga melakukan kekeliruan yang sama di saat mendeskripsikan aliran-aliran yang berbeda dengan apa yang mereka yakini. Ketidakakuratan seperti itu tentu saja punya andil dalam menciptakan kecurigaan di antara kaum Muslimin dan berujung pada permusuhan satu sama lain. Penilaian yang sangat subyektif dan cenderung mengarah kepada kebohongan itulah yang membuat masing-masing pihak dan kelompok cenderung untuk menolak afirmasi kelompok-kelompok lain.
Hadis Tujuh Puluh Tiga Firqah
Penolakan atas keberadaan kelompok lain juga terkait dengan adanya sebuah riwayat yang santa populer yang menyebutkan bahwa umat Islam akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan; yang tujuh puluh dua celaka dan yang satu selamat (al-Firqah al-Nâjiyah). Ini adalah riwayat dengan tingkat sensitivitas sangat tinggi. Setiap golongan dari umat Islam merasa golongannyalah yang selamat dan akan masuk ke surga, sedangkan golongan yang lain celaka dan akan masuk ke neraka. Untuk itu, pada hampir setiap hadis ini, ada tambahan keterangan yang menerangkan tentang golongan yang selamat.
Syamsuddîn Muhammad bin Ahmad al-Sayyâh (wafat 380) dalam bukunya, Ahsanu al-Taqâsîm fi Marifati al-Aqâlîm, justru meriwayatkan hadis lain yang isinya berkebalikan dengan hadis ini. Dia mengatakan bahwa hadis tujuh puluh dua (golongan) di surga dan satu (golongan) di neraka lebih shahih sanadnya dibandingkan dengan hadis tujuh puluh dua di neraka. Pendapat Syamsuddin ini cukup melegakan, meskipun tetap saja meninggalkan kecurigaan di tengah umat Islam tentang satu golongan yang celaka itu. Pendapat ini tetap membuka peluang perpecahan dan intimidasi terhadap kelompok minoritas yang dianggap sesat.
Faktanya, permusuhan memang kerap terjadi di antara ummat beragama. Di Indonesia, kelompok-kelompok minoritas seperti Ahmadiyyah dan Syiah sudah lama menjadi korbannya. Upaya mengafirmasi malah dianggap sebagai bentuk penodaan terhadap ajaran agama. Itulah yang dialami oleh Menag Gus Yaqut saat menerima protes bertubi-tubi dari sejumlah kalangan.
Dalam skala yang lebih luas, persengketaan dengan mengusung isu agama juga terjadi di antara umat beragama (interfaith). Perang Salib yang berlangsung selama lebih dari 150 tahun merupakan contoh yang nyata dari sebuah kecurigaan dan kebencian antara ummat beragama (Islam dan Kristen). Seperti dalam kasus-kasus lainnya, dalam kasus Perang Salib itu, faktor politik (kekuasaan dan ekspansi teritorial) menjadi faktor utama, sedangkan simbol-simbol agama hanya dipakai sebagai alat saja. Selain itu, orang-orang Kristen juga saat itu diprovokasi oleh fitnah dan deskripsi palsu tentang ummat Islam.
Karen Amstrong dalam buku yang berjudul “Perang Suci” mengutip khutbah Paus Urbanus II di hadapan Umat Kristiani saat mengobarkan Perang Salib sebagai berikut.
“Orang Turki (Muslim) adalah ras terkutuk, ras yang sungguh-sungguh jauh dari Tuhan, orang-orang yang hatinya sungguh tidak mendapat petunjuk dan jiwanya tidak diurus Tuhan. Membunuh para monster tak bertuhan ini adalah tindakan suci: orang Kristen wajib memusnahkan ras keji ini dari negeri kita”.
Perang atas nama agama, baik sesama agama maupun antara pemeluk agama, telah terjadi dan sangat mungkin akan terjadi lagi. Kebencian dan kecurigaan laksana bara api dalam sekam, yang kapanpun bisa tersulut. Agama alih-alih menciptakan kedamaian dan ketentraman bagi para penganutnya, justru menjadi penyulut kebencian dan permusuhan. Itulah fakta yang tidak dapat dipungkiri. Seorang wartawan dan novelis dari Inggris, bernama A.N Wilson dalam bukunya yang berjudul “Against Religion: Why We Should Try to Live Without It” menulis:
“Dalam Al-Kitab (Bibel) dikatakan bahwa cinta uang adalah akar segala kejahatan. Mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa cinta Tuhan adalah akar kejahatan. Agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani, dan penindasan kebenaran. Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat; tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama tidak membuat orang tertidur. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri pemilikan kebenaran .
Sangat miris membaca tulisan Wilson di atas. Betapa sangat menganganya jurang antara idealitas agama (khususnya Islam) dengan realitas yang kita saksikan sepanjang sejarah hingga kini. Idealnya, Islam diturunkan untuk menebar kasih sayang di atas muka bumi. Sedangkan realitasnya agama (Islam) telah menjadi instrumen kekerasan, kerakusan, dan kehancuran.
Tentu saja kita sebagai ummat Islam meyakini bahwa faktor terjadinya kesenjangan itu bukanlah berasal dari substansi ajaran agama Islam, melainkan berasal dari penyelewengan ajaran agama. Sehebat apapun ajarannya, ia tetap punya potensi untuk diselewengkan dan disalahgunakan.
Sejarah menunjukkan bahwa ada dua model penyelewengan. Pertama adalah faktor penyalahgunaan isu agama dalam rangka mengejar tujuan politik-kekuasaan. Faktor kedua adalah pemahaman yang tidak akurat menjurus fitnah terhadap ajaran kelompok lain. Karena itu, ketika muncul polemik terkait dengan afirmasi Syiah dan Ahmadiyah, kita mungkin bisa melacak akar polemiknya pada dua hal tersebut: adanya motif politik dan juga adanya kesalahpahaman dan fitnah saat memahami Syiah dan Ahmadiyah. Wallahu a’lam.
by Ust Husein Alkaf Dosen di STFI Sadra
source: Liputanislam