Dalam hal ini, terdapat riwayat-riwayat untuk berpuasa mustahab pada hari Senin dan Kamis pada bulan Sya’ban. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Allah Swt akan mengabulkan hajat-hajat orang yang berpuasa pada hari Senin dan Kamis pada bulan Sya’ban, 20 hajat dari hajat-hajat di dunia dan 20 hajat dari hajat-hajatnya di akhirat.”[1]
Terdapat juga riwayat-riwayat lain tentang dianjurkannya puasa pada hari Senin dan Kamis.[2]
Namun terkait dengan puasa mustahab pada hari Senin dan Kamis selama satu tahun terdapat perbedaan pendapat.
Ahlussunah berkeyakinan tentang puasa mustahab pada hari Senin dan Kamis dengan menyandarkan riwayat pada Nabi Muhammad Saw bahwa beliau berpuasa pada hari-hari Senin dan Kamis.[3] Nabi Muhammad Saw bersabda, “Pada dua hari ini: Senin dan Kamis amalan manusia akan disetor kepada Allah Swt dan aku suka jika hari dimana amalan ini disetor, aku sedang berpuasa.[4]
Fukaha Ahlussunah berdasarkan hadis yang ada dalam literatur-literatur mereka, memberikan fatwa terhadap kemustahaban puasa secara mutlak pada setiap hari Senin dan Kamis.[5] Beberapa fukaha Syiah juga menggunakan riwayat ini sebagai dalil untuk menyatakan bahwa puasa hari Senin dan Kamis itu mustahab.[6]
Terdapat riwayat dari Imam Shadiq As yang menegaskan bahwa kejadian ini untuk jangka waktu yang terbatas.
Nabi Muhammad Saw selalu berpuasa sehingga sebagian orang berkata, beliau selalu berpuasa. Kemudian beliau berpuasa selang sehari, lalu untuk beberapa lama berpuasa pada hari Senin dan Kamis setiap pekannya. Kemudian beliau kembali ke cara sebelumnya dan setiap bulannya, beliau berpuasa selama tiga hari yaitu pada hari Kamis pertama setiap bulannya, hari Rabu pada pertengahannya dan hari Kamis terakhir pada setiap bulannya.[7]
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa riwayat tentang berpuasanya Nabi pada hari Senin dan Kamis dijadikan dalil bagi sebagian fuqaha Syiah untuk menfatwakan puasa mustahab pada hari Senin dan Kamis.[8] Namun meskipun begitu, riwayat ini tidak dapat dijadikan dalil bagi mustahabnya puasa pada hari Senin dan Kamis.
Pertama: Boleh jadi riwayat yang berasal dari Imam Ja’far ini merupakan riwayat yang mengandung unsur taqiyah.[9]
Kedua, bahkan jika dalam masa Nabi, beliau berpuasa pada hari Senin dan Kamis, namun pada masa-masa selanjutnya cara ini telah diangkat/ditiadakan. Oleh itu, tidak dapat dijadikan dalil bagi kemustahaban puasa pada hari Senin dan Kamis pada masa-masa selanjutnya.[10]
Selain riwayat yang telah disebutkan, terdapat pula riwayat-riwayat lain yang sekiranya layak untuk diperhatikan:
Zuhra pergi ke hadapan Imam Sajad As. Imam bertanya, ‘Dari mana Anda?’ Aku menjawab: ‘Dari masjid.’ Imam: ‘Mereka membicarakan tentang hal-hal apa saja?’ Aku menjawab: ‘Tentang puasa, kemudian aku dan sahabat-sahabatku semuanya berkesimpulan bahwa tidak ada puasa wajib selain puasa pada bulan Ramadhan.’ Imam bersabda: ‘Wahai Zuhra! Tidaklah begitu. Kita memiliki 40 macam puasa dimana 10 darinya seperti puasa bulan Ramadhan, yaitu wajib. 10 macam puasa haram, dan 14 macam puasa: boleh berpuasa dan boleh berbuka seperti pada hari-hari: Jumat, Kamis, Senin, hari-hari baidh (hari-hari ke 13, 14 dan 15 dalam setiap bulannya) dan (seterusnya)….”[11]
Nampaknya riwayat ini menerangkan tentang mubahnya puasa pada kedua hari itu, yaitu dengan menempatkan kedua hari itu di samping hari-hari lain yang diyakini secara penuh kemustahabannya. Kemungkinan ini diperkuat bahwa puasa pada kedua hari itu juga mustahab. Berdasarkan dalil ini, sebagian fukaha menggunakan dalil ini bagi kemustahaban puasa pada kedua hari itu.[12]
Ja’far bin Isa menukil dari Imam Ridha tentang puasa hari Asyura. Beliau bersabda: Anda menanyakan tentang puasa yang dilakukan oleh anaknya Marjanah? (Kemudian Imam mengisyaratkan terhadap puasa hari Senin dan bersabda): “Hari Senin adalah hari naas karena hari itu merupakan hari dicabutnya nyawa Nabi oleh Allah Swt. Pada hari Senin, keluarga Muhamad ditimpa musibah yang sangat berat. Oleh itu, kami menilai hari itu sebagai hari yang sial. Namun para musuh mengambil berkah pada hari itu. Sesiapa yang berpuasa pada kedua hari itu (Senin dan Kamis) dan mengambil berkah kepada kedua hari itu, maka Allah akan menemuinya dengan pandangan yang buruk dan ia akan dibangkitkan bersama dengan orang-orang yang menilai bahwa berpuasa pada hari Senin dan Kamis itu merupakan anjuran.”[13] Sebagian fukaha dengan bersandar kepada riwayat ini berpendapat bahwa puasa pada hari Senin adalah makruh.[14]
Pada akhirnya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hukum makruh yang disebutkan berlawanan dengan pendapat masyhur dan kebanyakan fukaha tidak menerima hal itu.[15]
Riwayat terakhir –dengan asumsi diterima- berkaitan dengan pelaksanaan puasa jika disertai dengan niat bertabaruk. Hukum mustahab berpuasa pada kedua hari itu tidak disertai dengan dalil-dalil yang kuat. Jadi, puasa-puasa pada kedua hari itu termasuk dalam hari-hari yang dimustahabkan untuk berpuasa secara mutlak dan berpuasa pada hari-hari itu dari sisi kemutlakannya dapat dikatakan sebagai puasa mustahab. [iQuest]