ICC Jakarta – Bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri atau Lebaran juga menjadi bagian dari sejarah politik Soekarno sejak zaman penjajahan Belanda sampai Indonesia merdeka.
Oleh :Eko Sulistyo*
Meski Soekarno sendiri lahir dan besar bukan dari lingkungan agama Islam yang ketat. Ayahnya seorang priyayi kecil penganut teosofi dan abangan. Sementara ibunya berasal dari Bali yang Hindu. Soekarno sendiri tumbuh dalam budaya Jawa abangan yang sinkretis dan penggemar wayang, yang oleh Cliford Geertz disebut sebagai agama Jawa.
Ketika bersekolah di Surabaya dan menjadi anak didik HOS Tjokoroaminoto, ketua Serikat Islam, Soekarno muda lebih tertarik dengan politik dan kemampuan orasi Tjokro yang memukau, yang kelak memengaruhi gaya orasinya. Soekarno sendiri mulai membaca dan menulis berbagai pemikiran Islam secara serius saat pembuangannya di Ende dan Bengkulu sampai dibebaskan oleh pemerintah pendudukan Jepang (1933-1942).
Menurut data yang dikumpulkan oleh M Ridwan Lubis, Soekarno & Modernisme Islam (2010), selama 1926 – 1966 Soekarno membuat 46 tulisan bertemakan Islam, lebih banyak dari tulisan bertema Marxis yang hanya 27. Namun, semuanya masih jauh di bawah tema besarnya tentang nasionalisme dan marhaenisme yang mencapai 355 tulisan. Pada zaman penjajahan Belanda, salat Idul Fitri berjamaah terbuka di dekat istana pertama kali diperbolehkan pada 1929 di lapangan terbuka Koningsplein (Gambir).
Ketika Jepang menduduki Indonesia, salat Idul Fitri masih di tempat yang sama, namun namanya sudah diganti oleh pemerintahan pendudukan Jepang menjadi Lapangan Ikatan Atletik Djakarta (Ikada). Di zaman pergerakan Soekarno beberapa kali melakukan perdebatan di hari raya Idul Fitri. Dalam Lebaran 1933 Soekarno terlibat perdebatan dengan Mohamad Hatta yang mengkritik taktik nonkoperatif Soekarno. Di koran Fikiran Rakjat, Soekarno membalas kritik Hatta dengan kalimat ”hari Lebaran adalah hari perdamaian”.
Kehebohan saat Idul Fitri juga diciptakan Soekarno di Bengkulu ketika dalam salat Idul Fitri di Lapangan Tapak Paderi, dia menyaksikan ada tabir pemisah antara jamaah laki-laki dan perempuan. Soekarno menyatakan menolak sembahyang karena ada pemisahan tabir tersebut. Kemudian Soekarno menulis di koran Pandji Islam (1939) sebagai protes dengan judul cukup provokatif, ”Tabir adalah Lambang Perbudakan.” Tulisan ini melahirkan perdebatan dengan para tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.
Di zaman Jepang, Soekarno dan Hatta mengambil jalan politik kolaborasi dengan pemerintahan pendudukan Jepang. Soekarno menerima tawaran Jenderal Imamura, penguasa militer Jepang untuk duduk sebagai penasihat dalam Departemen Urusan dalam Negeri. Posisi ini memberikan ruang dan kesempatan bagi Soekarno untuk kembali bicara di hadapan ribuan rakyat, ”tempat ia selalu mendapatkan ilham kekuatan” setelah sembilan tahun diasingkan.
Pada 8 Desember 1942 Soekarno mengumumkan berdirinya Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Pada zaman Jepang, salat Idul Fitri diadakan pada pagi buta setelah selesai subuh karena sebelum matahari terbit Jepang harus upacara Sekerei (Sembah Dewa Matahari) di lapangan tempat salat Idul Fitri. Dalam zaman sulit dan penderitaan rakyat yang berat di bawah pendudukan militer Jepang, Soekarno mengucapkan selamat Lebaran di zaman peperangan.
Dikatakan oleh Soekarno bahwa tiada satu bangsa yang tidak menderita di masa perang, dan bahwa tiada bangsa dapat mencapai kemenangan kalau tiada tahan menderita. ”Inna maal usri yusro ” – kebahagiaan sesudah kesusahan! ”Bulan puasa dianggap sebagai medan latihan diri untuk tahan menderita. ”Marilah kita hadapi tahun yang baru ini sebagai satu bangsa, yang benar-benar telah terlatih tahan menderita di dalam bulan Ramadan.”
Ramadan yang Bersejarah
Ramadan yang paling bersejarah dilalui Soekarno pada zaman Jepang adalah hari-hari menjelang proklamasi 17 Agustus 1945. Pada Mei 1945, Mayjen Yamamoto Moichiro mulai berbicara tentang membangun Indonesia merdeka.
Badan untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan mengadakan sidang 1 Juni 1945 untuk bersama-sama mencari dasar filosofis bersama. Dalam sidang ini Soekarno merumuskan konsepnya yang kemudian dikenal dengan Pancasila. Pada 16 Agustus 1945 para pemuda membawa Soekarno- Hatta ke Rengasdengklok untuk mendiskusikan mempercepat kemerdekaan.
Para pemuda beserta Soekarno dan Hatta tetap berpuasa, bahkan naskah proklamasi disiapkan sampai mendekati waktu subuh dan hampir kelupaan makan sahur. Proklamasi Kemerdekaan RI dilakukan 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan 9 Ramadan 1364 H. Pembacaan proklamasi dan upacara dilaksanakan dengan sederhana dan penuh khidmat dalam suasana Ramadan. Menurut Soekarno, proklamasi saat itu adalah tepat karena ”kita sedang berada dalam bulan suci Ramadan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci”.
Namun, angka 17 juga dipilih oleh Soekarno karena pertimbangan lain. ”Tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Alquran diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat. Karena itu, kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia.” Setelah proklamasi kemerdekaan, Soekarno dihadapkan dengan revolusi sosial dan struktur negara baru yang lemah, mewarisi birokrasi buatan Jepang. Perpecahan politik, ideologi, dan konflik antarkelompok meruncing di mana-mana.
Soekarno yang sangat memperhatikan persatuan bangsanya cemas dengan situasi yang berkembang. Ide untuk mempertemukan para pimpinan politik muncul pada bulan Ramadan 1946. Menurut sejarawan JJ Rizal, sejumlah tokoh pada bulan puasa 1946 menghubungi Soekarno meminta mengadakan perayaan Lebaran pada Agustus dengan mengundang seluruh komponen revolusi yang berbeda dalam pendirian politik maupun kedudukannya dalam masyarakat.
Lebaran menjadi ajang untuk saling memaafkan dan memaklumi serta menerima keragaman dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa. Pertemuan para tokoh tersebut lalu diberi istilah oleh Soekarno dengan ”halalbihalal” yang diartikan sebagai silaturahmi dan saling memaafkan. Sejak itu istilah halalbihalal populer sebagai ucapan di hari raya Idul Fitri (Tempo,5/11/2006).
Minal Aidin Wal Faidzin
Presiden Soekarno juga dianggap sebagai sosok yang memopulerkan ungkapan ”Minal Aidin Wal Faidzin ” pada hari raya Idul Fitri. Kalimat ”Minal Aidin Wal Faidzin ” dalam menyambut Idul Fitri adalah kata yang diucapkan Soekarno pada 1958.
Kalimat itu adalah penggalan sebuah doa yang lebih panjang yang diucapkan ketika kita selesai menunaikan ibadah puasa yang berarti ”Semoga Allah menerima (amalan-amalan) yang telah aku dan kalian lakukan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) kemenangan.” Dalam menyambut Idul Fitri, Soekarno juga pernah dihadapkan pada perbedaan dua ormas Islam terbesar, Muhammadiyah dan NU pada 1962.
Muhammadiyah sepakat menetapkan Idul Fitri 1381 Hijriah jatuh pada 7 Maret 1962. Sedangkan NU bersama pemerintah menetapkan 8 Maret. Menyikapi perbedaan tersebut, Presiden Soekarno di hadapan rakyatnya mengingatkan bahwa persatuan merupakan unsur penting untuk Indonesia. Pimpinan Muhammadiyah H Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) juga menyatakan bahwa ada dua hari raya Idul Fitri bukanlah sebagai perpecahan di kalangan umat Islam karena semua bernaung di bawah bendera Merah Putih dan bersemboyankan satu kalimat syahadat.
Soekarno pernah menolak hadir dalam salat Idul Fitri di halaman Istana pada 1963. Soekarno menolak dengan alasan keamanan karena diduga ratusan kartu undangan telah disalahgunakan. Ketidakhadiran Soekarno berdasarkan masukan dari Komandan Pasukan Pengawal Presiden, Resimen Cakrabirawa, Kolonel Sabur agar presiden tidak menghadiri salat tersebut. Saat itu Soekarno memang beberapa kali mengalami upaya pembunuhan yang gagal.
Seperti diketahui pada salat Idul Adha di depan Istana, 14 Mei 1962, seorang pria berusaha membunuh Soekarno dengan pistol. Tapi, upaya pembunuhan berhasil digagalkan oleh pasukan pengawal presiden. Pada 1950-an salat Idul Fitri dipindahkan ke Lapangan Banteng. Namun, setelah berdiri monumen pembebasan Irian Barat salat id terpencar di lapangan dan mesjid yang ada di Jakarta.
Salat Idul Fitri kembali di sekitaran Istana ketika Masjid Istiqlal berdiri sebagai masjid terbesar di Asia Tenggara. Setelah Orde Baru berkuasa, hari raya Idul Fitri menjadi murni kegiatan agama untuk menyerukan seruan moral dan etika kepada umat Islam dan bangsa Indonesia. Dan, pada era Presiden Jokowi, Presiden salat id tidak di Masjid Istiqlal, melainkan di masjid di wilayah Indonesia lain dan memanfaatkan momentum Lebaran untuk menyapa rakyatnya di luar Ibu Kota. (Koran Sindo/PH)
*Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden
Sumber : parstoday