ICC Jakarat – Revolusi Islam Iran tampaknya bukan hanya masalah politik-kekuasaan tetapi juga adalah masalah kebudayaan yang berkembang dalam sejarah peradaban mereka yang panjang (7000 tahun). Secara kebudayaan, masyarakat Iran sudah hidup dalam cita rasa budaya yang berkualitas (musik, kaligrafi, sastra, bahasa) yang pengaruhnya menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk Asia Tenggara dan Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, kebudayaan adalah hasil atau produk berpikir manusia. Seberapa besar pengaruh kebudayaan Iran pada kualitas kehidupan masyarakatnya dapat dilacak pada kuatnya tradisi intelektual yang ada pada mereka, serta banyaknya karya-karya (terutama filsafat dan tasawuf) yang merujuk kepada pemikir-pemikir dari Iran/Persia.
Kualitas pemahaman menentukan kualitas dari sikap hidup yang dipilih manusia. Tradisi intelektual adalah disiplin imajinasi yang menuntut deskripsi dan analisa serta kesimpulan yang tidak gegabah dalam memaknai diri dan lingkungannya secara kritis. Dalam masyarakat Iran, kualitas ini ditunjang dengan tradisi lisan/bertutur dalam corak yang estetis/puitis dan tradisi tulisan yang menggambarkan tema yang luas (metafisika, musik, etika, politik, hingga rumah tangga) dalam bahasa yang tidak normatif, tetapi menggambarkan situasi batin manusia dengan dinamis. Tulisan dalam pemaknaan seperti ini, yaitu pemaknaan ekstensif tentang hubungan manusia-Tuhan-alam, masih jarang ditemukan dalam budaya masyarakat di luar Iran.
Poin-poin analisa tersebut di atas menjadi landasan saya dalam memahami sejarah panjang yang mempengaruhi lahirnya Revolusi Islam Iran. Independensi dan kepercayaan diri terbangun karena kuatnya tradisi intelektual masyarakat yang bertautan dengan kecenderungan mistis masyarakatnya. Kuatnya akar mistis (spiritualitas) yang ditransformasikan dengan tradisi intelektual, membuat masyarakat Iran berada dalam relasi tradisi yang hidup selaras dengan jiwa imajinasinya. Hal ini tentu saja berimplikasi pada kreativitas dalam membangun hubungan kehidupannya dengan lingkungan sosialnya.
Secara singkat, Revolusi Islam Iran bersandar pada evolusi kebudayaan yang berbasis pada tradisi intelektual dan spiritualitas. Hal inilah yang membangun kohesivitas budaya masyarakat Iran dan membangkitkan spirit masyarakat untuk senantiasa berkembang, kreatif, dan imajinatif. Spirit itulah yang menjadi faktor kemandirian masyarakat dalam menjawab permasalahan dan tantangan kehidupan mereka. Dengan kata lain, mereka menjadi masyarakat yang produktif karena ditunjang oleh kepercayaan kepada kemampuan manusia untuk merespon persoalan diri dan lingkungannya dalam tatanan kosmologi (Tuhan-Manusia-Alam).
Di sini terlihat, dalam masyarakat Iran budaya telah bersinggungan dengan intelektualitas dan ini menjadi sebuah living tradition (tradisi yang hidup). Faktor agama pun menjadi pengikat dari simpul intelektualitas dan spiritualitas ini sehingga melahirkan sebuah kekuatan yang besar. Kekuatan itulah yang menjadi faktor kemandirian masyarakat Iran dalam menjawab permasalahan dan tantangan kehidupan mereka. Menurut Ayatullah Muthahhari, bangsa Iran menciptakan karya-karya agung mereka dalam rangka berkhidmat kepada Islam. Selain kekuatan cinta dan iman, kekuatan lain tidak mampu menciptakan mahakarya seperti itu. Pada hakikatnya, Islamlah yang membangkitkan potensi bangsa Iran, meniupkan jiwa/semangat baru serta memberikan geloranya.
Revolusi Islam Iran pada akhirnya adalah hubungan timbal balik yang konstruktif dalam menjelaskan pengaruh Islam terhadap kebangkitan budaya. Imam Khumaini yang hadir dari living tradition tersebut adalah sosok par excellence yang menjadi simpul yang menggambarkan puncak kemajuan hubungan agama dan budaya. Inilah revolusi yang dievolusi oleh hubungan agama, budaya, serta kepemimpinan.
Uraian tersebut saya pandang penting dalam upaya menjadikan revolusi Islam Iran sebagai bahan dalam menjelaskan pentingnya living tradition kepada generasi baru. Mengajarkan kepada anak didik karakter independen dan teguh kepada kebenaran membutuhkan simpul, dan simpulnya itu adalah para pendidik itu sendiri, dengan keteladanan dan sikap hidupnya. Kita perlu menanamkan living tradition kepada generasi baru, yaitu bahwa sebuah pencapaian dan kemajuan menuntut pentingnya tradisi intelektual, kehidupan agama (etika dan moral yang bersandar kepada Tuhan) yang mampu mereka dialogkan dan kontruksikan. Dengan demikian, agama hidup sebagai living tradition, tidak tinggal di dalam teks belaka. Mendidik generasi baru dengan spirit revolusi Islam tidak bisa dicapai secara instan /cepat saji, butuh proses dan kedalaman. Pendidikan harusnya membangun kedalaman bukan pendangkalan (how to) kepada anak didik. Transformasinya bukan semata dengan pengetahuan ensiklopedis, tahu banyak hal tetapi sedikit-sedikit, tetapi yang lebih penting dan mendesak adalah tranformasi moral dan etika melalui pengajaran yang logis dan imajinatif.
Belajar dari Revolusi Islam Iran, kita mendapatkan sebuah ajaran moral yang penting untuk disampaikan kepada anak didik, yaitu bahwa perubahan besar tidak terjadi tiba-tiba; bahwa perubahan besar pasti akan terjadi jika kita memahami dengan baik dan dalam arti kemandirian. Revolusi Islam Iran adalah pelajaran moral dan etik bahwa membela kebenaran itu adalah prinsip yang imajinatif dan itu bukanlah hal yang enak. Hidup dengan kebenaran tidak setara dengan hidup enak, pergi ke mall, main Playstation, facebook, atau rekreasi. Semua yang enak tersebut tentulah bukan sesuatu yang haram, tetapi mencapai sesuatu nilainya setara dengan tingkat kesulitannya. Keinginan mendidik anak-anak yang mulia perlu dicapai dengan kesungguhan dan kemauan menjalani hidup yang sulit.
Wallahu’alam bi al shawab
A.M. Safwan, Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Madrasah Murtadha Muthahhari RausyanFikr Yogyakarta