ICC Jakarta – Mereka [orang Burma] mengatakan, jika kamu menyebut diri Rohingya, kamu akan dilempar ke laut!” kata seorang pria Rohingya, seperti diceritakan jurnalis Emanuel Stoakes yang mengunjungi kamp pengungsi di Sittwe, Provinsi Rakhine, 2013.
Dalam pernyataan itu terkandung akar konflik Rohingya di Myanmar. Pemerintah Myanmar sejak deklarasi kemerdekaan 1948 menolak memberikan status warga negara kepada etnis Rohingya. Mereka selalu menyebut orang-orang Rohingya sebagai orang ‘Bengali’ yang seharusnya menjadi warga Bangladesh, bukan Myanmar. Hal ini bertentangan dengan fakta bahwa selama berabad-abad etnis Rohingya telah hidup di tanah yang kini bernama Myanmar itu.
Status stateless (tak punya negara) yang dialami 140.000 orang Rohingya membuat segala hak-hak kemanusiaan mereka terabaikan. Etnis Rohingya adalah salah satu dari beberapa suku minoritas di Myanmar yang menderita penindasan dan diskriminasi dari junta militer Myanmar yang didominasi suku Burma. Del Spiegel pada tahun 2007 melaporkan bagaimana kondisi salah satu suku minoritas yang mengalami penindasan itu, yaitu suku Karen yang mayoritas beragama Kristiani.
Dalam berbagai forum diplomasi internasional, pemerintah Myanmar secara terbuka menyatakan penolakannya atas sebutan ‘Rohingya’. Misalnya, menyusul terombang-ambingnya kapal berisi ratusan manusia perahu di perairan ASEAN pada Mei 2015, Menteri Luar Negeri Indonesia, Malaysia, Thailand berusaha mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Myanmar.
Awalnya, pihak Myanmar menolak. Namun tak lama setelah Wakil Menteri Luar Negeri AS, Antony J. Blinken, menemui Presiden Thein Sein dan Jenderal Min Aung Hlaing, Myanmar menyatakan siap hadir dalam pertemuan tersebut dengan syarat, istilah yang digunakan adalah “illegal migrant”, bukan “Rohingya.”
Stoakes dalam laporannya menyebutkan betapa buruknya kondisi para pengungsi itu. Beberapa pengungsi menyebutkan adanya pembunuhan dan pemerkosaan yang dialami komunitas mereka. Namun Stoakes menyimpulkan, “Sepertinya tidak terlihat adanya pembunuhan massal. Mereka lebih dibiarkan hidup dalam keadaan sekarat…”
Kesimpulan ini sejalan dengan pernyataan U Shwe Maung, seorang Muslim yang menjadi anggota Parlemen Myanmar, “Ketika tidak ada makanan atau tempat perlindungan, orang-orang akan mati.” Dengan kata lain, mereka dibiarkan mati pelan-pelan, melawan malnutrisi dan penyakit.
Kesimpulan ini sejalan dengan pernyataan U Shwe Maung, seorang Muslim yang menjadi anggota Parlemen Myanmar, “Ketika tidak ada makanan atau tempat perlindungan, orang-orang akan mati.” Dengan kata lain, mereka dibiarkan mati pelan-pelan, melawan malnutrisi dan penyakit.
Isu Rohingnya sebagai Komoditas Politik Domestik
Tragedi yang dialami etnis Rohingya, seperti juga penjajahan yang dialami warga Arab Palestina, seolah tak kunjung menemukan titik akhir. Baik junta militer Myanmar, maupun rezim Zionis, sama-sama mengaku tidak bersalah dan sama-sama blaming the victim (menyalahkan korban).
Untuk isu Palestina, pemerintah Indonesia sejak era Presiden Sukarno telah mengambil sikap frontal, yaitu menolak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Sementara untuk Myanmar, langkah diplomasi yang diambil Indonesia lebih lunak, meski tidak berarti melempem. Secara tradisional, negara-negara ASEAN memang cenderung menahan diri untuk berkonflik secara terbuka.
Dalam sebuah pertemuan informal yang diadakan Kementerian Luar Negeri bersama para jurnalis, akademisi, dan wakil ormas beberapa bulan lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia dalam menghadapi Myanmar memang sangat menghindari megaphone diplomacy(diplomasi yang ‘berisik’). Hal ini, selain memang tradisi di antara negara-negara ASEAN, juga demi menjaga agar pemerintah Myanmar terus membuka komunikasi dengan pemerintah Indonesia.
Di antara tujuan diplomasi yang ingin dicapai Indonesia adalah agar pemerintah Myanmar mau memberikan jaminan HAM bagi semua masyarakat di Rakhine State, termasuk minoritas Muslim (Rohingya) serta memperluas akses bagi masuknya bantuan kemanusiaan.
Namun, tak menggunakan megaphone diplomacy bukan tanpa risiko. Kurangnya pemahaman publik tentang apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia selama ini membuat isu Rohingya acapkali dimanfaatkan sebagai komoditas politik domestik oleh sebagian pihak. Pada Mei 2015, terdamparnya pengungsi Myanmar dan pencari suaka Bangladesh ke perairan Aceh, disambut dengan berbagai narasi yang menyudutkan pemerintah. Seolah pemerintah tak cukup melakukan upaya untuk menolong ‘saudara sesama Muslim’.
Di media sosial, postingan hoax yang mengelu-elukan Presiden Turki menjadi sangat viral dan dipenuhi komentar caci-maki kepada Presiden Joko Widodo. Ujaran kebencian, bahkan ancaman pembunuhan kepada kaum Buddha, merebak di media sosial. Tentu tak ketinggalan, lembaga-lembaga pencari donasi dengan sigap menangkap peluang mencari dana dengan menggunakan sentimen agama.
Beberapa hari terakhir ini, situasi yang sama terulang lagi setelah junta militer Myanmar kembali melakukan kekerasan terhadap etnis Rohingya.
Pendiri Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, dalam status Facebook-nya (1/9) merilis hasil penelitiannya terhadap percakapan Twitter di Indonesia dengan fitur Opinion Analysis. Opini-opini di Twitter dikelompokkan berdasarkan kategori tertentu dan hasilnya terlihat bahwa percakapan di media sosial lebih banyak mengaitkan isu Rohingya dengan pemerintah Indonesia (33%), dengan Jokowi (25%), dan dengan umat Buddha di Indonesia (19%), alih-alih menekan Aung San Suu Kyi (18%) atau Jenderal Min Aung Hlaing (6%).
Tokoh Buddha Indonesia, Suhu Biksu Dutavira Mahastavira, telah mengeluarkan pernyataan (3/9) bahwa biksu yang melakukan pembunuhan dan pengusiran seperti yang terjadi di Rohingya dapat dinyatakan telah gugur kebiksuannya. Hal ini menegaskan bahwa ekstremisme bisa muncul di berbagai agama dan sikap menggeneralisasi sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa.
Presiden Jokowi pun akhirnya secara khusus muncul di hadapan publik untuk menjelaskan apa saja yang sudah dilakukan pemerintah, antara lain upaya diplomasi yang sangat aktif, mengirim bantuan, termasuk 10 kontainer bahan makanan dan sebagainya (29/12/ 2016), membangun 4 sekolah dengan biaya US$1 juta (diresmikan Desember 2016), di Rakhine State.
Kondisi ini patut diwaspadai. Sampai kapan konflik di luar negeri dimanfaatkan sebagai komoditas politik oleh sebagian pihak yang ingin memunculkan kekisruhan di dalam negeri?
Dr. Dina Y. Sulaeman