ICC Jakarta – Sebuah video adzan tiba-tiba menjadi viral di media sosial, lantaran muadzin mengubah lafadz “Hayya Ala al-Shalat (Mari dirikan Shalat)” menjadi “Hayya Ala al-Jihad (Mari Berjihad)”. Mayoritas media menyebut lokasi pengambilan video terjadi di Pondok Pesantren Tajul Alawiyyin pimpinan Habib Bahar bin Smith dan viral pada Senin, 30 November 2020. Setelah itu, video-video lain yang menyuarakan hal serupa bermunculan.
Ajakan jihad yang disampaikan lewat azan banyak berkumandang, dan sepertinya memang sengaja diunggah ke media sosial. Klaim azan jihad datang dari Petamburan, Jakarta, dari Kalimantan, Tegal, dan sejumlah tempat lain.
Namun, ajakan jihad ini melahirkan tanda tanya besar. Karena tidak jelas, jihad seperti apa yang dimaksud dan jihad melawan siapa? Azan Jihad seperti bola liar yang sengaja dilempar ke publik, sehingga melahirkan dugaan-dugaan yang tak kalah liarnya.
Diskursus tentang jihad dalam Islam sampai sekarang masih menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi tanah air. Seperti Kiai Hussein Muhammad (Cirebon) dalam unggahan facebooknya tentang jihad pada Kamis (03/12/2020), masih mempertanyakan bagaimana sesungguhnya tafsir jihad dalam teks-teks Islam.
Jika kita berasumsi bahwa jihad itu terbagi menjadi dua jenis, yaitu jihad fisik (perang) dan jihad melawan hawa nafsu, maka narasi yang bisa ditangkap dari video-video adzan jihad yang tersebar itu masuk dalam kategori pertama. Karena, sejumlah orang yang terekam dalam video azan tersebut membawa senjata tajam dan mengangkatnya sambil berseru “Hayya ala al-Jihad” .
Jika ini adalah jihad fisik (perang), maka peperangan ini siapa melawan siapa? Subjek dan objeknya masih belum jelas. Apakah subjek yang akan berjihad (mujahid) adalah umat Muslim Indonesia? Tentu tidak. Sebab, mayoritas tokoh-tokoh umat Muslim Indonesia menolak seruan itu, bahkan Kiai Ahmad Bahaudin (Gus Baha) menyebut jihad di saat negara damai itu hanyalah kelakuan pengangguran.
Pada akhirnya, para mujahid yang dimaksud dalam video itu adalah orang-orang FPI (Front Pembela Islam), merekalah para pengikut Habib Rizieq Shihab (HRS). Dugaan ini diperkuat dengan konteks kemunculan video pasca mangkirnya HRS dari panggilan polisi. Perlu diketahui bahwa HRS diduga telah melanggar aturan protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah di masa pandemi Corona. Jelasnya, HRS telah memicu lahirnya keramaian di saat keramaian itu dilarang.
Jika seruan jihad dilakukan oleh simpatisan FPI dengan maksud membela HRS, maka sudah jelas, objek dari seruan jihad ini adalah pemerintah. Sebab pemerintah adalah pelaksana hukum yang akan mengadili HRS atas pelanggaran hukum yang telah ia lakukan. Ada pesan tak tertulis yang bisa kita tangkap dari seruan azan jihad itu yang kira-kira berbunyi, “Ayo perangi pemerintah”, “Perangi polisi”.
Jika kita sepakat dengan asumsi di atas, maka FPI cukup bernyali mendeklarasikan perang melawan pemerintah. Jika perang antara FPI melawan pemerintah benar-benar terjadi, maka sudah bisa dibayangkan FPI akan hancur dalam hitungan menit. Imam Besar FPI, HRS, akan dijebloskan ke penjara atas tuduhan makar atau melawan pemerintah. HRS, seberapa banyak pun laskar FPI yang berjaga di depan rumahnya, akan tetap K.O jika pemerintah sudah benar-benar serius menangkapnya.
Sumber: Liputan Islam