ICC Jakarta- Tulisan ini diangkat dari diskusi ilmiah dalam format kelas kajian singkat (short course). Kegiatan yang digelar oleh sebuah tim di bawah Departemen Pendidikan dan Riset Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta tersebut diadakan dalam rangka Hari Raya Ghadir 1442 H.
Short Course (SC) Al-Ghadir dilaksanakan selama tiga hari, yakni 7-9 Agustus 2020. Bersama enam narasumber, kajian dalam jaringan (daring) ini membahas peristiwa Ghadir Khum 18 Dzulhijjah 10 H, dalam perspektif teologis, historis, sosiologis, gnosis, politik kontemporer, hingga telaah respon media sosial. Keenam narasumber tersebut adalah Abdullah Beik, MA., Sayyed Hafizh Alkaf, MA., Dr. Mortaza A. S. Hammada, Dr. Abdel Azis Abacci, dan Dr. Muhsin Labib, MA. Kajian intensif ini dikerjasamakan oleh ICC dengan Pusat Studi Syiah Indonesia.
SC Asyura atau SC Muharram dilaksanakan lebih lama, yakni sepuluh hari. Kegiatan ini berlangsung pada 19-28 Agustus 2020 bersama sepuluh narasumber. SC ini berlatar pendalaman atas tragedi 10 Muharram 61 H. Jika SC Al-Ghadir digelar untuk melakukan pendalaman atas peristiwa penobatan pelanjut kepemimpinan dan penjaga risalah kenabian Rasul Agung Muhammad saw., yakni Imam Ali bin Abi Thalib, maka SC Asyura justru untuk menyelami makna tragedi yang menimpa putra Sang Pelanjut Risalah Rasul Agung tadi. Dialah Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib. Forum kaji ilmiah ini juga menilik Asyura dalam berbagai perspektif, seperti; tren hijrah, dimensi keabadian, kebangkitan kelas terlemahkan, filsafat agama, dimensi ruhani, dimensi politik, ketahanan keluarga, gerakan perempuan, kaum milenial, dan falsafah kebangkitan. Tampil sebagai narasumber adalah Ust. Muhammad Rusli Malik, Habib Husain Shahab, MA., Dr. Mortaza A. S. Hammada, Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat, Ust. Miftah F. Rakhmat, Lc., Dr. Husain Heriyanto, Dr. Hakiemillahi, Ustadzah Euis Daryati, Lc., Sayyid Musa Kazhim Al-Habsyi, M.Si., dan Dr. Muhsin Labib, MA. SC Asyura ini dikoordinasikan oleh tim Belajar Islam Daring (Bidar) ICC yang sukses melaksanakan serangkaian SC sebelum, selama, dan usai Ramadhan lalu.
Tim penulis menurunkan catatan ini dalam bentuk refleksi konsepsional atas hasil dari kedua forum tersebut di atas. “Spirit Al-Ghadir Hingga Kebangkitan Asyura” diangkat sebagai topik tulisan yang mencoba mencari kesimpulan dari uraian yang mengemukan dalam kedua forum tersebut. SC Al-Ghadir sendiri bertemakan, “Suksesi Kenabian; Filosofi dan Relevansinya dalam Masyarakat Modern”, sedangkan SC Asyura bertema, “Teladan Abadi Imam Husain”. Kuatnya tema ini membuat seluruh kemasan dan perangkat publikasi acara ini justru seolah mengangkat nama kegiatan “SC Teladan Abadi Imam Husain as.” Berikut ini adalah catatan tentang spirit kedua kajian ilmiah virtual tersebut.
Peristiwa Ghadir Khum memang kejadian historis. Ia ada di dalam setting kesejarahan umat manusia yang saat itu tengah menjalani dinamika keyakinan dan memerankan fungsi-fungsi sosiologisnya masing-masing. Namun demikian, dimensi peristiwa ini (meminjam istilah Nurcholish Madjid) dapat dilihat dari aspek Islam sebagai doktrin serta peradaban, sekaligus.
Dr. Otong Sulaiman menguraikan betapa opini mengenai Al-Ghadir sebagai sebuah hari raya lebih pada ketidaktahuan dan kesalahpahaman. Frame yang dikembangkan jauh dari upaya mengangkat peristiwa sejarah ini sebagai suatu fakta yang layak diperbincangkan secara filosofis dan ilmiah.
Perbincangan justru muncul di media-media sosial yang tak mengenal kaidah jurnalistik secara benar. Masyarakat sulit untuk mendapatkan informasi yang berimbang. Alih-alih memberikan tawaran pencerahan dan pilihan bebas yang akan dipertimbangkan secara matang dan dipilih dengan kemandirian mutlak setiap individu, justru yang terjadi adalah penggiringan opini dengan berbagai informasi hoax, analisis yang keliru dari data yang sangat manipulatif, serta dengan kekasaran komunikasi melalui diksi yang tak ramah sama sekali.
Polarisasi sosial terbentuk. Kisruh menjadi pemandangan harian dalam teks-teks yang hadir di gawai orang perorang. Media sosial telah memberikan panggung perdebatan yang sama sekali jauh dari rukun-rukun ilmiah yang patut.
Ini semua karena literasi sejarah kita amat dangkal. Sisi historikal Al-Ghadir tak dilihat sebagai suatu konsekuensi logis dari tatanan kenabian. Rantai panjang kenabian yang terungkap dalam pembahasan dan diskusi bersama Habib Hafidh Alkaff, MA. memperlihatkan suatu rangkaian episode suksesi yang rapi dan adil. Tiap umat dikaruniai nabi dan umat berikutnya tidak pernah kosong dan dibiarkan menjalankan nalarnya sendiri atas doktrin kitab suci kecuali Tuhan telah mengutus pengemban wasiat para nabi tersebut.
Itu adalah fakta sejarah. Tak satu saatpun dalam proses alih kepemimpinan spiritual dan sosial tiap zaman catatannya dibiarkan hilang. Ia juga bukan suatu yang buram dan tak dikenali oleh nalar historis. Justru dari fakta itulah sangat terang benderang bahwa peristiwa di Ghadir Khum 10 Hijriah itu adalah satu-satunya peristiwa pidato Sang Rasul saw yang disaksikan oleh ratusan ribu sahabatnya.
Pengingkaran atas fakta historis ini menandakan rendahnya pengenalan batin atas peristiwa sakral ini. Dimensi spiritual yang menyeruak dalam pidato panjang Rasulullah Muhammad saw antara lain mengenai pentingnya seseorang memahami tujuan hidupnya secara ruhaniah. Keringnya pemaknaan hidup sebagai insan berdimensi ruhani akan menyebabkan tilikan terhadap suksesi kepemimpinan Nabi saw akan selalu dilihat dalam kaca mata politik yang profan semata.
Dr. Abdel Azis Abacci menekankan bahwa konsep kelanjutan dan penjagaan risalah merupakan bagian dari prinsip keyakinan akan Keesaan Allah Swt. Pengangkatan Imam Ali bin Abi Thalib ternyata menjadi tonggak spiritual untuk kesempurnaan agama, ketercukupan nikmat, dan keridhaan Allah atas Islam sebagai agama umat manusia hingga akhir zaman nanti.
Dengan demikian, pesan peristiwa Ghadir Khum memiliki dimensi teologis yang sangat kental. Keselamatan dunia akhirat bertumpu pada keyakinan akan hidup yang terbimbing di atas khittah wahyu Tuhan. Ust. Abdullah Beik, MA. yang menguraiakan aspek teologis peristiwa ini membenarkan bahwa kepemimpinan pasca nabi adalah bagian utuh dari keyakinan terhadap Tuhan, sebab posisinya persis sama dengan mengimani person suci penjaga risalah. Darinyalah umat manusia mengambil ajaran yang lurus untuk beroleh jalan keselamatan.
Ghadir Khum secara sosiologis membentangkan fakta bahwa upaya golongan aristokrat Makkah untuk mengembalikan sistem sosial kepada pelapisan kelas secara diskriminatif masih menggejala. Hadirnya pelanjut kepemimpinan Nabi saw, dengan demikian, justru akan memelihara sistem kesederajatan dan relasi sosial yang egaliter seperti dibangun dalam masyarakat Madinah. Itu diuraikan oleh Dr. Mortaza A. S. Hammada yang membahas topik “Nalar Sosiologis Peristiwa Ghadir Khum”.
Tampilnya konsep sistem sosial yang beradab dalam pemerintahan Islam di bawah konsep imamah Ahlulbait Nabi Muhammad saw. adalah cita tamadduni global. Kehidupan egaliter yang adil bersumbukan prinsip Keesaan Tuhan dalam harmoni penghambaan manusia secara individual dan sosial itu sebenarnya ada dalam catatan ideal berbagai bangsa, suku, dan ras.
Konsep ini menjadi rumusan besar yang tengah didorong umat manusia di era mutakhir. Declaration of Human Right yang dicetuskan pada pertengahan abad kedua puluh sesungguhnya menjadi penggambaran relevansi konsep kepemimpinan yang diawali oleh Imam Ali bin Abi Thalib tersebut.
Saat dunia sedang mencari format pemerintahan yang seadil-adilnya banyak pihak yang mempertimbangkan ajaran keadilan yang disuarakan Imam Ali bin Abi Thalib. Ghadir Khum seolah berteriak untuk mengingatkan bahwa sesungguhnya Nabi saw telah jauh hari menyiapkan sistem itu berikut person tepercaya untuk menjaganya. Dr. Muhsin Labib dalam kegiatan SC Ghadir ini turut mengafirmasi bahwa inspirasi Ghadir Khum atas proses kehendak pelibatan warga dalam kebijakan publik menjadi sangat kontekstual. Rasulullah telah sedemikian rupa membangun pusat peradaban dengan bangunan keadilan antar struktur dan kelas sosial, interaksi egaliter, dan komunikasi yang produktif, bernama Madinah. Negeri yang menjamin kesejahteraan tiap penduduk, penghargaan atas hak-hak individu dan kesetaraan dalam pemerolehan segala akses kebaikan dan kesempurnaan. Ia adalah cetak biru masa depan dunia.
Sayangnya, sejarah berkata lain. Belum lama setelah Rasulullah wafat menyeruak di tengah masyarakat beriman suatu sistem pemerintahan berbasis dinasti. Kerajaan muslim pertama muncul bernama Dinasti Umayyah.
Episode inilah yang merupakan awal paling mengerikan dalam sejarah pertentangan warisan Qabil dan Habil, Namruz dan Ibrahim, atau Firaun dan Musa. Dinasti Islam telah menampakkan watak aslinya sejak hari pertama berkuasanya.
Materi penting sesuai momentum.
Ghadir diuraikan dari berbagai sudut pandang, sehingga para peserta bisa leluasa bertanya kepada para pemateri menggunakan media Zoom atau melalui jejaring medsos YouTube dan FaceBook.
Kajian ini juga bisa di review ulang melalui akun medos ICC Jakarta
Silakan melihat langsung di Chanel Youtube ICC Jakarta TV atau Group FB ICC Jakarta untuk mengikuti Short COurse yang sudah terselenggara
(Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Riset ICC Jakarta)