ICC Jakarta – Kalau Islam itu agama rahmatan lil alamin, itu pasti. Tapi, orang Muslim belum tentu jadi manusia yang rahmatan lil alamin. Banyak sultan diktator dan pejabat koruptor yang mengaku muslim; bukan hanya tidak rahmatan lil alamin, justru bencana bagi bangsa dan negara. Lalu, bagaimana menjadi muslim yang rahmatan lil alamin? Ada, setidaknya, dua syarat mutlak menjadi muslim sebagai bagian dari model Islam cinta dan kasih sayang.
“Sungguh orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan-kebaikan kelak Yang Maha Pengasih akan menanamkan kasih sayang untuk mereka.” (QS. Maryam [19]: 96)
Dalam catatan Abdurrahman bin Auf, ayat ini turun berkenaan dengan dirinya: “Ketika aku hijrah ke Madinah, aku merasa sedih karena berpisah dengan sabahat-sahabatku di Makkah, di antaranya Syaibah dan Utbah—dua putra Rabi’ah—dan Umayyah bin Khalaf. Ketiga orang ini tokoh kafir Quraisy” (Tafsir Ibnu Katsir, jld. 3, hlm. 199).
Sementara Imam Suyuthi mencatat beberapa riwayat yang menyebutkan sebab turunnya ayat ini mengenai Ali bin Abi Thalib, di antaranya riwayat Barra’ bahwa Rasulullah SAW berkata kepada Ali, “Katakanlah, ‘Ya Allah, jadikanlah janji untukku di sisi-Mu, kasih sayang untukku di sisi-Mu, dan cinta untukku di dada orang-orang beriman.’” Lalu turunlah ayat ini (Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsur, jld. 10, hlm. 144).
[1]
Cinta dan kasih sayang yang Allah tebarkan di hati masyarakat adalah untuk orang yang memenuhi dua kriteria: beriman dan berbuat baik atas dasar keimanan tersebut. Dengan kata lain, muslim yang beriman pada kebenaran agama Allah dan hidup atas dasar keimanan agama-Nya pasti dicintai masyarakat.
[2]
Kecintaan masyarakat bukanlah ukuran penentu kebenaran iman dan kesalehan pribadi seseorang. Kecintaan masyarakat hanyalah salah satu indikasi, bukan satu-satunya indikasi, benar dan salehnya seorang muslim. Kebenaran dan kesalehan muslim ditentukan oleh komitmen dia menempatkan kehendak dan hukum Allah di atas segala sesuatu. kriteria penentu ini merupakan implikasi dari iman kepada Allah.
[3]
Dengan mengikuti ajaran Nabi, ia telah membuktikan iman dan cintanya pada Allah. Maka, mengikuti Nabi adalah bukti satu-satunya komitmen imannya pada Allah, “Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, pasti Allah mencintai kamu” (QS. Al Imran [3]: 31).
[4]
Mengikuti nabi yaitu berusaha memastikan pikiran (pengetahuan dan gagasan), hati (motivasi, niat, keyakinan dan keputusan) serta perilaku dan usahanya sesuai atau tidak bertentangan dengan kehendak Allah, yaitu ajaran Nabi dan hukum-hukum agama-Nya.
[5]
Karena itu, muslim rahmatan lil alamin adalah muslim yang beriman ‘percaya’ dan cinta pada Allah dan Nabi serta membuktikan iman dan cintanya dengan mengikuti dan meleburkan segenap kehendak dan keinginannya dalam kehendak dan cinta Nabi.
Ibnu Abbas dalam tafsir atas ayat di atas mengatakan, “Jika kamu benar-benar mencintai agama Allah, maka ikutilah agamaku, dan akan bertambah cintamu” (Majma al-Bayan, jld. 2, hlm. 733).
[6]
Muslim rahmah pasti bukanlah muslim marah, muslim garang, muslim kekerasan dan penindasan. Muslim rahmah juga tidak berarti muslim ramah, serbasenyum, ekstrem dalam torleransi dan membenarkan semua pemahaman dan sikap. Muslim rahmah muslim yang bisa marah juga bisa marah. Rahmah dan kasih sayang muslim adalah universal yang tampak dalam marah dan ramahnya. “Seorang mukmin akan marah karena Allah dan cinta karena Allah.”
[7]
Muslim rahmah adalah muslim moderat, berada di poros tengah di antara dua titik ekstremisme. Muslim rahmah akan berdiri adil; mengambil posisi, sikap dan pendirian sesuai porsi masalah dan kasus. Muslim adil adakalanya menyamaratakan, adakalanya juga membeda-bedakan.
[8]
Muslim rahmah adalah muslim yang hanya berpijak pada nilai cinta yaitu kebenaran, kebijaksanaan dan kebaikan. “Mengajaklah ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan nasihat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang itulah terbaik” (QS. Al-Nahl [16]: 125).
[9]
Muslim rahmah akan memandang dan memposisikan orang lain dan semua makhluk sebagai keluarga Allah (‘iyal-Allah). Dalam hadis qudsi, Allah berfirman, “Ciptaanku adalah keluarga-Ku. Maka, orang yang paling aku cintai adalah orang yang paling peduli terhadap urusan mereka, paling lurus mengurusi mereka, dan berusaha paling keras dalam memenuhi kebutuhan mereka” (Mushadafat Al-Ikhwan, hlm. 70).
[10]
Karena itu, muslim dengan cinta Islamnya akan mencerminkan rahmah dan kasih sayangnya bahkan dalam marahnya. Ketegasan, kekecewaan dan reaksinya adalah dalam kerangka cinta, maka cara-cara pengungkapan marah harus tidak bertentangan dengan kecintaan hingga malah menjauhkan dan memberatkan mereka untuk berbuat baik.
Demikian pula, pelaksanaan amar maruf dan nahi munkar tidak merusak nilai-nilai maruf (kebaikan), tidak malah jadi kendala orang terdorong dan termotivasi untuk insaf dan berbuat baik.