ICC Jakarta – Pada 19 Juli 2017 lalu, pemerintah secara resmi telah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui Perppu No 2 tahun 2017 tentang Ormas dan mencabut badan hukumnya karena terbukti berupaya merongrong dasar negara dan anti-Pancasila. Khilafah sebagai sistem politik yang diusung HTI menjadi polemik, ada yang pro, tidak sedikit pula yang kontra.
Muhammad Sofi Mubarok mengurai tiga hal kerapuhan konsep khilafah pada diskusi yang digelar pada Rabu (9/8), di aula Gedung Joang, Menteng, Jakarta. Pertama, konstruk normatifnya.
Al-Qur’an dan hadis mengurai banyak varian sistem, tidak hanya satu. Jika dilihat dari maqashid-nya, Indonesia sudah sangat sesuai. Indonesia mengatur urusan keagamaan, semisal haji dan zakat. Agama tidak pernah mengkritik sistem, tetapi implikasinya.
“Kalau berbicara implikasi, berarti berbicara orangnya. Kenapa kita tidak mengkritik orangnya?” tegasnya. Kedua, sosio-kultural. Dalil khilafah sudah tidak inheren dengan kondisi Indonesia sekarang.
“Konteks dalil-dalil khilafah yang sudah dijelaskan oleh HTI sesungguhnya tidak inheren dengan Indonesia saat ini,” ujar penulis buku Kontroversi Dalil-dalil Khilafah itu.
Ketiga, sejarah. Yang dipraktikkan oleh orang masa lalu itu sangat dinamis. Sofi mencontohkan bahwa Nabi pernah kedatangan orang tua yang melaporkan bahwa dirinya melakukan hubungan suami istri di siang hari saat bulan puasa. Nabi pun memintanya untuk berpuasa dua bulan berturut-turut.
Tetapi orang tua itu pun menjawab, bahwa dirinya sudah tidak lagi kuat berpuasa. Kemudian Nabi memintanya untuk bersedekah ke 60 orang miskin. Ia pun menjawab lagi, bagaimana mau sedekah, sementara ia sendiri juga miskin.
Akhirnya Nabi memberinya makanan yang harus ia bagikan ke 60 orang miskin tersebut di daerahnya. Ia masih juga menjawab, bahwa ia adalah orang paling miskin di daerahnya. Tetangganya adalah orang-orang kaya. Nabi pun meminta pada orang tua tersebut untuk membagi makanan tersebut ke anak dan istrinya.
Hal tersebut menunjukkan betapa dinamisnya Rasulullah SAW dalam menetapkan hukum. Tidak bisa terbayangkan bagaimana sistem syariat itu dibakukan.
“Bagaimana jika Indonesia menetapkan Alquran dan hadis sebagai konstitusi? Kekhawatirannya, mengutip Arroisuni, bahwa orang yang bukan mukallaf jadi terkena taklif,” kata kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Sementara itu, penulis buku Khilafah dalam Timbangan, Ainur Rofiq Al-Amin mengatakan, bahwa khilafah merupakan hasil ijtihad. Hal tersebut menunjukkan bahwa, khilafah tidak bisa dianggap sebagai suatu hal yang paling benar.
Sebab ijtihad bisa benar, bisa salah. terlebih dalam kitab al-Asybah wa al-Nadhair, Ainur Rofiq mengutip, terdapat kaidah al-ijtihad laa yunqadlu bi al-ijtihad, bahwa ijtihad tidak dapat membatalkan ijtihad lainnya.
“NKRI sebagai ijtihad para ulama tidak bisa digugurkan dengan ide dar al-Islam Kartosurwiryo ataupun ide khilafah,” ujar dosen UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut. (Syakirnf/Fathoni)
NU Online