Allah swt akan memberikan tiga perkara kepada orang yang sudah meraih maqam ridha: Barangsiapa beramal dengan keridhaan-Ku, Aku akan berikan mereka tiga perkara: Aku akan ajari bagaimana bersyukur yang tidak bersamaan dengan kejahilan.
Maka hal pertama adalah syukur kepada Allah swt bersamaan dengan ilmu dan kesadaran. Watak manusia adalah tidak bersyukur; ia tenggelam dalam kenikmatan Allah swt yang tak terhitung namun tidak peduli terhadap Sang Pemberi. Tatkala kenikmatan itu diambil darinya, barulah ia akan sadar dan berteriak dengan kencang.
Manusia menikmati jutaan kenikmatan, tetapi tidak mau menjalankan kewajibannya. Akan halnya ketika sedikit saja dari kenikmatannya dikurangi, ia spontan mengeluh, berteriak, memohon, menangis, dan berdoa khusyuk! Ya, dalam keadaan demikian, seorang yang beragama dan percaya Tuhan akan berdoa dan bertawasul. Sementara orang yang tidak beriman, dia akan menghadapi situasi buruknya dengan muka masam dan hati putus asa.
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah ia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” [QS. Huud: 9]
Dalam ayat lain, Allah swt berfirman: “…dan jika mereka ditimpa malapetaka ia menjadi putus asa lagi putus harapan.” [QS. Fushilat: 49]
“Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)” [QS. Ibrahim: 34]
Sebagai lawan dari kelompok ini, Allah swt. akan memberikan maqam bersyukur kepada hamba-Nya yang mencari keridaan-Nya. Yaitu, syukur yang tidak bercampur dengan kejahilan. Ia mengetahui kenikmatan Allah swt. dan mensyukurinya. Lantaran kita tidak mengenal semua kenikmatan Allah swt., maka syukur kita akan terbatas sepanjang syukur kita. Selain itu, puluhan kebodohan menyertai kita. Ketika kita mengenal sebagian kenikmatan dan mensyukurinya, kita lupa akan kenikmatan yang lain. Oleh karenanya, syukur kita selalu diiringi dengan kebodohan.
Dan dzikir yang tidak bercampur dengan kelupaan dan kecintaan, dimana kecintaan kepada makhluk tidak mempengaruhi kecintaan-Ku. Bagi kita sangatlah sulit untuk selalu mengingat Allah swt. Setiap hari, ketika kita berdiri beberapa menit saja untuk melakukan shalat, walaupun secara lahiriah kita sedang melakukan ibadah, tetapi hati kita tidak bersama Allah swt. dan lalai dari-Nya. Namun, mukmin yang sudah dianugrahi karunia dan inayah Allah swt hatinya penuh dengan kecintaan kepada Allah swt. dan tidak akan melupakan-Nya.
Allah swt menjadikannya selalu ingat, sadar dan tidak pernah melupkan-Nya. Ia mencintai Allah swt, pecinta tidak akan pernah melupakan kekasihnya. Ini semua adalah karunia Allah swt.
Hal ketiga, Allah swt. akan memberikan karunia-Nya kepada hamba-hamba yang ridha kepada kehendak-Nya. Dia menjadikan hati mereka selalu mencintai-Nya, dimana tidak ada satu pun kecintaan lain yang bisa menggantikannya. Ketika manusia mencintai sesuatu di alam ini, suatu hari ia akan mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang dicintainya, sehingga kecintaannya kepada yang pertama akan hilang sirna. Kecintaan kita kepada sesuatu atau seseorang akan selalu berlangsung seperti ini. Hari ini kita mencintai buku ini, besok kita akan lebih cinta kepada buku itu; buku yang lebih bagus. Hari ini kita memiliki teman yang baik, besok kita menemukan teman yang lebih baik, sehingga teman yang pertama terlupakan. Ini akan selalu berlaku di dunia. Namun bagi orang yang hatinya hanya terpaut kepada Allah swt tidak ada kecintaan yang bisa menandingi kecintaannya kepada-Nya, sebab tidak ada yang lebih tinggi dan agung dari-Nya.
Dan jika ia mencintai-Ku, maka Aku akan mencintainya dan akan Aku buka mata hatinya kepada keagungan-Ku, tidak ada yang tersembunyi darinya khusus dari makhluk-Ku.
Tidaklah mudah bagi kita untuk menggambarkan kecintaan hamba kepada Allah swt dan kecintaan Allah swt kepada hamba; lidah kita akan lemah untuk mengungkapkan hakikat ini. Pemberian dan maqam tinggi ini hanya dimiliki oleh para wali dan pecinta Allah swt. Ihwal makhluk mencintai Allah swt. merupakan maqam yang sangat berharga, karena dengan demikian seorang hamba ditunjang oleh pengetahuannya kepada Allah swt. bahwa ia hanya mencintai-Nya dan melupakan yang lain. Maqam ini tentunya sangat penting dan, yang lebih penting lagi, Allah swt mencintai mereka.
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” [QS. Al-Maidah: 54]
Selain kecintaan dari dua pihak, yaitu pecinta dan kekasih, Tuhan dan hamba, Allah swt. akan menjadikan orang yang dicintai-Nya juga dicintai oleh makhluk. Memang, kecintaan makhluk baginya tidak berarti, tetapi itu merupakan karunia Allah yang ditanamkan dalam hati makhluk. Sementara hati para pecinta dan wali Allah swt hanya tertambat kokoh pada kekasih hakiki mereka dan tidak peduli kepada yang lain.
Bagi mereka tidak beda: apakah semua orang mencintai atau membenci mereka. Bagaimanapun, ini merupakan kemuliaan dari Allah swt yang telah menjadikan orang lain mencintai mereka. Tentang hal ini, Allah swt berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan
dalam (hati) mereka rasa kasih saying” [QS. Maryam: 96]
Contoh paling menonjol dari seorang mukmin sejati yang shaleh dan suci adalah sosok Imam Khomeini (ra). Ia dicintai tidak hanya oleh teman, tetapi juga dihormati musuh karena kebersihan hatinya. Jika mereka memusuhinya, itu karena kepentingan mereka terancam. Seperti halnya musuh terbesar Imam Ali as, yaitu Muawiyah: ketika salah satu dari sahabat beliau pergi mengadapnya, dia meminta, “Sebutkan kepadaku keutamaan Ali!” Ini menunjukkan bahwa fitrah Muawiyah mencari sesuatu yang mulia, tetapi hati terpaut kepada dunia sehingga dia lupa kepada Allah swt. Bahkan untuk mencapai hasrat dan hawa nafsunya, dia memusuhi Imam Ali as dan keluarganya.
Aku bermunajat kepadanya di kegelapan malam dan terangnya siang sehingga ucapannya terputus dari semua makhluk dan menghindar dari berkumpul dengan mereka.
Sampai di sini, pecinta Allah swt mencari kesempatan untuk bermunajat kepada Nya. Kini, mereka sudah sampai maqam dimana Allah swt berbicara dengan mereka. Seorang pecinta yang merana selalu mencari saat-saat untuk bisa berjumpa dengan sang kekasih dan bermunajat khusus dengannya. Tentunya, ini merupakan kebahagiaan yang paling besar dan keagungan tiada tara. Lebih tinggi dari itu, ia bisa berdua dengan Allah swt dalam keadaan terjaga maupun tidur.
Dikutip dari buku Menjadi Manusia Ilahi, karya Ayatullah Taqi Misbah Yazdi
Sumber: ahlulbaitindonesia