ICC Jakarta – Pada masa awal-awal Islam ada beberapa orang yang, demi mengikuti arus masyarakat, mengaku sebagai pemeluk Islam. Bilamana kalangan yang menonjol dan orang-orang yang termasyhur dalam masyarakat masuk Islam, kalangan pengikut arus ini pun mengikuti mereka memeluk Islam. Al-Qur’an, sambil menerima pengaku Islam lahiriah itu, dan tidak menolaknya, memperingatkan agar mereka tidak berpikir telah memiliki iman yang sesungguhnya. Apa yang telah mereka peroleh barulah Islam pada lahirnya, dan mereka harus berusaha sampai iman memasuki hati mereka,
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Hujurat: 14)
Orang Arab Badui penghuni gurun pasir mengatakan mereka telah beriman seperti orang mukmin lainnya. Allah Yang Mahakuasa menyuruh Nabi Saw supaya mengatakan kepada mereka bahwa mereka belum beriman, dan iman belum masuk ke hati mereka, sekalipun mereka telah menjadi Muslim.
Apabila mereka hendak menjadi mukmin yang sesungguhnya dan hendak menggunakan efek rohani dan abadi dari keimanan, mereka harus berusaha supaya iman memasuki hati mereka, dan supaya mereka mencapai keyakinan dan kepastian dalam iman dan mengabdikan hati mereka kepada Allah karena wawasan dan kesadaran. Pada saat itulah mereka akan tergolong mukmin sejati.
Bagaimanapun, salah satu arus yang gawat dan berbahaya di masa dini Islam ialah masalah nifaq (kemunafikan). Sejumlah orang pada lahirnya mengikrarkan Islam, tetapi hati mereka tidak beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad Saw. Tentu saja, syirik dan kufur mempunyai tahap-tahap sebagaimana halnya Islam dan iman. Sebagian munafik ini merupakan musuh yang paling sengit bagi Islam dan Nabi Muhammad Saw, namun sebagian yang lain tidak sedurhaka itu, walaupun mereka juga tak menyukai sistem Islam. Dalam menggambarkan sebagian munafik itu, Al Qur’an mengatakan,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. Nisa: 142)
Kaum munafik semacam itu turut serta mendirikan salat. Mereka pergi ke masjid dan menyertai salat jamaah. Tetapi, mereka melakukan itu tanpa semangat, malas-malasan, tanpa gairah, hanya untuk pamer kepada orang lain, dan supaya orang percaya bahwa mereka pun termasuk kalangan yang mendirikan salat. Tujuan mereka mengikuti pertemuan-pertemuan keagamaan pun seperti itu, sebagaimana dikatakan Al Qur’an, “… Mereka hanya bermaksud riya’ di hadapan manusia.” (QS. 4: 142)
Dalam hatinya, mereka hanya sedikit mengingat Allah. Dan, satu gaya Al Qur’an, apabila orang hanya menaruh sedikit perhatian dan ingatan kepada Allah, maka Allah mengecualikan mereka.
Dengan pernyataan-pernyataan di atas, kami bermaksud menunjukan bahwa Islam lahiriah dapat disertai kekafiran batin. Mungkin ada orang yang pada lahirnya Muslim dan bahkan menjalankan perbuatan kaum Muslim, tetapi tak ada iman dalam hatinya, karena iman adalah masalah lain. Ungkapan bahwa tubuh yang telah mengucapkan dua syahadat adalah suci dan darahnya haram, tak mesti berarti bahwa kebahagiaan abadi pun telah dicapainya. Kedua hal itu berbeda. Yang pertama (ikrar) mengyangkut fiqih, sedang yang kedua (iman) menyangkut keyakinan. MTM/YS/IslamIndonesia