ICC Jakarta – Apabila seseorang sedang menghadapi suatu penyakit, maka tidak ada salahnya ia mencoba untuk menggabungkan antara memanfaatkan pengobatan-pengobatan seorang dokter, menggunakan turbah Imam Husain As, ber-tawassul kepada para wali Allah, dan berdoa. Hal ini dikarenakan disamping ketiga faktor ini dapat dilakukan secara terpisah, dengan kehendak Ilahi dapat terbukti mujarab, dan dengan memanfaatkan salah satu dari pendekatan tersebut, kita tidak perlu lagi memanfaatkan dua pendekatan lainnya, juga dapat digabungkan secara bersamaan sehingga terdiri dari tiga pendekatan (sebagai sebab sempurna berangkap) menjadi sebab kesembuhan seorang pasien. Artinya doa menjadi sebab diterimanya syafâ’at Imam As, pengaruh yang diberikan oleh turbahnya. Pengaruh syafâ’at Imam Husain As pada turbahnya, menjadi sebab adanya hasil mujarab dari operasi-operasi seorang dokter. Dengan demikian tingkatan-tingkatan pengobatan dapat dilalui dengan mudah.
Akan tetapi harus diperhatikan, bahwa pengaruh obat, praktik-praktik dokter dan bahkan syafâ’at Imam As serta pengaruh turbahnya adalah mengikut kepada izin Allah Swt. Dalam memanfaatkan operasi-operasi seorang dokter, dan turbah Imam Husain As berikut pengaruhnya, doa memiliki prioritas. Karena doa adalah hubungan langsung dengan Allah Swt dan perhatian terhadap tiadanya kemandirian segala sesuatu selain-Nya, dalam memberikan pengaruh (dengan memperhatikan tauhid perbuatan). Dengan demikian, dalam setiap memulai perbuatan, bahkan ber-tawassul dan memohon syafâ’at para imam, harus memperhatikan poin ini bahwa segala sesuatunya berjalan sesuai dengan kehendak dan izin-Nya. Doa artinya meminta pertolongan kepada Allah Swt dan memohon kesuksesan dari sisi-Nya dan juga memohon diterimanya syafâ’at mereka merupakan hal-hal yang sangat dianjurkan.
Khususnya mendapatkan dokter yang pantas yang dapat mengdiagnosa secara tepat penyakit serta menentukan obat mujarab kemudian menjalani proses valid pengobatan memiliki pelbagai kerumitan tipikalnya masing-masing. Dan memohon pertolongan kepada Allah Swt dalam masalah ini merupakan sesuatu yang mesti dilakukan. Di samping itu, pengaruh mujarab turbah Imam Husain As juga memiliki syarat-syarat berikut ini dimana untuk memperolehnya di masa kini sangatlah sulit:
- Tanah itu diambil dari hâir Imam Husain[1] dan warnahnya adalah merah.
- Setelah keluar dari hâir, tanah[2] itu dipindahkan dengan diam-diam dan berpakaian pantas.
- Tanah itu sangat jarang dipakai.
- Menggunakannya dengan niat tulus tanpa syak dan ragu dalam menerima pengaruhnya.
- Menggunakan turbah tersebut disertai dengan doa dan sumpah kepada Allah Swt demi kebenaran Imam Husain As.[3]
Namun perkara ini merupakan perkara tak diragukan lagi bahwa perhatian dan berperantara (bertawassul) kepada Imam Husain As dan juga kepada para wali Allah lainnya demikian juga bertabarruk kepada turbah yang disandarkan kepada Sayid al-Syuhada itu dengan niat yang tulus bukannya tanpa faidah dan pengaruh dari turbah tersebut telah terbukti dalam banyak perkara. Namun terkabulkannya doa dan bahkan diterimanya syafâ’at melalui wali-wali Tuhan dan ridha serta izin Allah Swt pada syafâ’at mereka memiliki syarat-syarat sebagaimana berikut ini:
- Berdoa dengan ikhlas dan penuh perhatian. Disertai shalawat dan istighfâr serta tobat yang sebenarnya.
- Menunaikan hak-hak Ilahi dalam masalah ibadah dan muamalah (misalnya menyerahkan zakat dan khumus).
- Tidak menentang sunnah Nabi Saw dan para Imam Maksum As
- Orang yang berdoa adalah orang yang mengamalkan al-Qur’an
- Bersyukur kepada Allah Swt pada setiap keadaan.
- Melakukan kewajiban amar makruf dan nahi mungkar.
- Disertai dengan pemanfaatan media-media pengobatan natural atau maknawi (tidak bermalas-malas dan berharap tanpa usaha)
- Tiada hak-hak manusia pada harta bendanya
- Menunaikan janji dan ikrarnya.[4]
Namun terkadang boleh jadi tidak tersedianya seluruh syarat-syarat di atas ternyata doa atau tawassul berpengaruh sehingga menjadi faktor untuk menarik perhatian orang-orang yang bertawassul dan berdoa; atau dengan tuntasnya hujjah bagi mereka sehingga tiada dalih bagi mereka untuk kembali kepada perbuatan-perbuatan tidak senonoh mereka di masa lalu.
Karena dalam kondisi genting dan pelik sebab-sebab normal tidak berlaku, maka perhatian dan kelembutan Tuhan atau para Imam Maksum semakin besar dan jalan bagi orang-orang yang sangsi menjadi tertutup. Dan boleh jadi adanya pengaruh ini hal itu bermakna bahwa ganjaran dan pahala mereka telah diberikan, artinya seseorang pada masa hidupnya terkadang melakukan perbuatan baik atau penghormatan bagi para wali Allah, dimana terkabulkannya doa dan terselesaikanyna masalah yang dihadapinya, adalah untuk menebus perbuatan baik tersebut sehingga ia tidak lagi layak menuntut untuk mendapatkan perhatian dan syafâ’at di akhirat kelak.
Poin penting lainnya adalah bahwa tawassul kepada para wali Allah atau berdoa, tidak bermakna menarik diri dari segala media-media normal, memilih bermalas-malasan dan sambil berpangku tangan menyerahkan segala urusan kepapa Allah! Karena Imam Shadiq As bersabda: “Allah Swt merasa malu untuk melakukan pekerjaan tanpa menggunakan sebab-sebab.”[5]
Melainkan di samping harus memberdayakan media-media normal, kita juga harus ber-tawassul dan berdoa untuk mendapatkan taufik dan sampainya pada hasil. Memanfaatkan doa dan tawassul tidak boleh hanya kala harapan kita terputus dari media-media normal misalnya pengobatan-pengobatan dokter umum. Dan seluruh sebab-sebab umum tidak mampu menyelesaikannya, dan seluruh jalan kita pandang tertutup dan saat itu kita ber-tawassul kepada sebab-sebab ini! Dan setelah kesulitan yang dihadapi telah selesai seluruhnya kita lupakan begitu saja. Karena kondisi dan mental seperti ini telah banyak dicela pada banyak ayat-ayat al-Qur’an demikian juga riwayat-riwayat terkait masalah ini.[6] Di sinilah turunnya syafâ’at dan terkabulkannya doa, menjadi sebab tuntasnya hujjah bagi seseorang dan siksaan pedih di akhirat akan menantinya!
Namun kita tidak boleh berputus asa dari syafâ’at dan terkabulkannya doa kita dari Allah Swt. Karena kendati mekanisme yang berlaku di alam semesta ini adalah mekanisme sebab-akibat namun Allah Swt adalah Sebab segala sebab dan memberikan sebab-sebab kepada segala sebab. Dia lebih dekat dari segala sebab yang ada. Dan karena Dia adalah qayyum (membuat sebab dan memenuhi segala urusan melalui sebab-sebab naturalnya). Juga terkadang Dia adalah pembakar sebab. Artinya boleh jadi dalam masalah tertentu sebab-sebab umum tidak berlaku, seperti peristiwa penyembelihan Nabi Ismail As atau kejadian dibakarnya Nabi Ibrahim As. Terkadang tanpa ada campur tangan sebab-sebab lahir, secara langsung melalui jalan ghaib menyampaikan sebuah anugerah atau dengan sebab yang tidak dikenal, dan tanpa terpenuhinya sebab-sebab umum dan telah dikenal, Dia menciptakan akibat-akibat.[7]
Misalnya pada kisah lembu nabi Shaleh atau tongkat Musa yang menjadi ular dan sebagainya dimana pada seluruh perbuatan kita di samping memanfaatkan media-media umum, juga tidak melupakan hubungan dengan Tuhan (berdoa) dan dengan para maksum. Kemudian tidak berputus asa ketika didera pelbagai kesulitan hidup dan senantiasa menambatkan hati kepada para Imam Maksum dan kekuasaan Allah Swt. [Islam Quest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan Anda merujuk kepada buku-buku di bawah ini:
Marâhil-e Akhlâq dar Qur’ân, Abdullah Jawadi Amuli, Nasyr-e Isra’, Qum
Jami az Zalal-e Kautsar, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Muassasah Amuzesy-e wa Pazuhesy Imam Khomeini Qs, Qum
Angizhe-ye Paidâyesy Madzhâib, Nasir Makarim Syirazi, Mathbuati Hadaf, Qum
Kâmil al-Ziyârat, Ibnu Qulube Qummi, terjemahan Muhammad Jawad Dzihni, Payam-e Haq, Tehran
Asyk-e Rawân bar Amir-e Karâvân, Syaikh Ja’far Syusytari, terjemahan Mirza Muhammad Husain Syahrestani, Dar al-Kitab Jazairi, Qum
[1]. Dalam terma fiqih dan ibadah, Hâir Imam Husain adalah yang termasuk dalam haram Imam Husain dan sekelilingnya, kubur suci, graha, beranda dan museum, baik bagian kunonya atau barunya. Sebagian memandang bahwa batasan hair adalah haram saja, tidak lebih.
[2]. Tanah yang tidak diusap oleh jin dan setan yang merupakan musuh Syiah dan menanti untuk menyentuh tanah tersebut.
[3]. Muhammad Jawad Dzahani Tehrani, terjemahan Kamil al-Ziyarat, bab 91-95, hal. 832-867, Nasyr-e Payam-e Haq, jil. 98, hal. 128-132.
[4]. Makarim Syirazi, Angize Paidâyesy Mazhâib, hal. 90 dan 112
[5]. Kâfi, jil. 1, hal. 183
[6]. Qs.Rum (21):32, Qs. Luqman ():32, Qs. Al-Ankabut (29):65, Qs. Yunus (11):12, 22&23.
[7]. Jawadi Amuli, Marâhil-e Akhlâq dar Qur’ân, hal. 63)