ICC Jakarta – Pentingnya persatuan umat Islam semakin menjadi perhatian, disaat maraknya upaya pemecahbelah dengan memperuncing perbedaan Prof. Nazaruddin Umar berkata: “Sudah saatnya kita menyatu sesama umat Islam, tidak perlu ada lagi aktivitas memperbesar suatu perbedaan. Itu tidak pernah dicontohkan ulama besar di masa lampau. Bagaimana seorang Imam Malik terhadap muridnya, meskipun terjadi dialektika, namun tidak terjadi keretakan. Sebagaimana ulama-ulama terdahulu kita juga di Indonesia.”
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A. dalam penyampaiannya di Webinar “Pendekatan antar Mazhab; Urat Nadi Kemajuan Umat Islam Masa Depan (In Memoriam of Ayatullah Ali Taskhiri)” yang diadakan ICC Jakarta dan PUSKABI Selasa (29/9) mengucapkan belasungkawa atas wafatnya Ayatullah Ali Taskhiri.
Ayatullah Ali Taskhiri adalah seorang ulama Iran yang sepanjang hidupnya melalui Forum Internasional Pendekatan antar Mazhab Islam yang didirikan dan dipimpinnya, aktif mengkampanyekan persatuan umat Islam. “Atas kepergian seorang yang benar-benar ulama ini, saya turut berduka dan merasa kita dan dunia telah kehilangan figur panutan yang sabar dan santun.” Ungkap Kyai Nazaruddin.
Wakil Menteri Agama RI 2011-2014 ini lebih lanjut mengatakan, “Saya bersyukur termasuk yang telah berkali-kali berinteraksi langsung dengan beliau, dan entah berapa kali diundang oleh PB NU, dan telah dua kali berkunjung ke kediaman pribadi saya.”
“Saya lebih kerap bertemu di luar negeri, seperti di Arab Saudi, di Yordania, di Amerika Serikat termasuk di Iran sendiri dalam sebuah pertemuan yang mengundang saya sebagai pembicara mewakili ulama Sunni dari Indonesia membahas kitab tafsir al-Mizan Allamah Thabathabai. Di pertemuan tersebut, saya dimita menjelaskan perspektif sunni di Indonesia membaca tafsir al-Mizan. Dan saya sampaikan, bahwa mungkin kitab-kitab yang ditulis Syiah yang paling laris di pondok pesantren adalah kitab tafsir Al-Mizan. Hampir semua ulama-ulama besar NU memiliki tafsir al-Mizan. Saya sering mendapatkan pesan nanti kalau ke Mesir terutama ke Lebanon, pesanan dari kyai-kyai NU minta dibelikan tafsir Al-Mizan.” Tambahnya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah tersebut menambahkan, “Pertemuan yang paling berkesan adalah saat beliau berdialog di Jordan dengan Syaikh Ali Ash-Shabuni, pengajar Universitas Malik Abdul Aziz Mekah dan penulis kitab Tafsir Ayat al-Ahkam. Saat itu keduanya membahas satu persoalan yang sama namun dengan penjelasan menurut perspektif masing-masing. Syaikh Taskhiri mewakili pandangan ulama Syiah memberikan jawaban yang berbeda dengan Syaikh Ali Ash-Shabuni namun dengan cara yang santun. Dari situ saya belajar banyak, menjadi ulama besar itu, kalau masih bisa mengungkapkan bahasa yang santun, mengapa harus menggunakan bahasa yang vokal. Syaikh Ali Ash-Shabuni juga menyampaikan pandanganya dengan santun padahal beliau saya kenal sebagai ulama yang sangat vokal dan tegas di Arab Saudi dalam mempertahankan kesunniannya.”
“Saya belajar dari keduanya, bahwa ternyata yang paling menyenangkan itu adalah mana kala kita bisa menyampaikan sesuatu tanpa menimbulkan ketegangan. Keduanya tampil sebagai dua sosok figur yang penuh kearifan. Sehingga saya sering mengatakan, kelembutan diatas segala-galanya, bukanlah yang hebat itu yang keras. Artinya, lebih sering kelembutan lebih menyelesaikan persoalan daripada kekerasan.” Tambahnya.
Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an ini lebih lanjut menyampaikan bahwa umat Islam Indonesia juga bisa belajar kearifan dari ulama dan ilmuan-ilmuan Islam terdahulu. Ia berkata, “Ada 27 tokoh ilmuan terkemuka di dalam abad pertengahan antara tahun 700 sampai 1100, jika ada penerimaan nobel saat itu, 100% peraih nobel adalah orang Islam.”
“Saya baca biografinya satu persatu, diantaranya Jabir Ibnu Hayyan, al Khwarizmi, Nashiruddin al-Thusi, Ibnu Rusyd dan lain-lain yang mungkin 80% diantara 27 tokoh tersebut kelahiran di kawasan yang sekarang daratan Iran. Ada bio intelektual yang sangat mengesankan saya. Dialektika perdebatan keilmuan antar mereka sangat luar biasa. Bagaimana santunnya Ibnu Rusyd mengkritik karya Imam Al-Ghazali yang berjudul Tahafut Al Falasifah dengan menulis buku Tahafutul Tahafut. Kedua karya besar ini, saling memenuhi satu sama lain. Jadi tidak perlu mempertentangkan sesuatu yang berbeda sebab itu bisa menjadi kekayaan dan modal buat kita.” Jelasnya.
“Ibnu Rusyd juga menulis buku mengenai perbandingan mazhab yang sangat komprehensif, berjudul Bidayatul Mujtahid. Bukunya kecil tapi sepertinya tidak ada satu tema yang tidak terungkap dari buku tersebut. Padahal dia seorang dokter sekaligus filosof. Ibnu Rusyd di pagi hari dia dokter, agak siang dia filosof, sore hari dia fukaha bahkan mufti dan malam hari dia sufi. Dari sini kita belajar, bahwa menjadi ulama harus memiliki ilmu yang komprehensif, harus punya kekuatan baca buku secara teliti dan mendalam, sehingga bisa mengkritisi atau menilai pandangan lain dengan adil. Bukan hanya di permukaan-permukaannya saja.” Jelas ulama kelahiran Sulawesi Selatan 23 Juni 1959 ini yang menurutnya tidak sedikit yang kerap memberikan penilaian terhadap Syiah tapi dengan modal ilmu dan bacaan yang belum memadai, sehingga cenderung memberi vonis yang tidak bijak.
Melanjutkan kenangannya dengan Ayatullah Taskhiri, Mustasyar Pengurus PBNU 2015-2020 ini mengatakan, “Dalam kesempatan itu saya diundang ke Iran, di kota Qom saat itu. Satu pertanyaan dalam forum tersebut, mengapa Syaikh Thabathabai diterima di Indonesia, oleh ulama-ulama Sunni. Saya katakan, mungkin salah satu karakter yang saya baca dalam Al-Mizan itu, penulisnya juga menukil riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat selain Ali termasuk dari Abu Hurairah. Jadi saya kira bukan hanya Syaikh Thabathabai yang seperti itu dari kalangan ulama kontemporer Syiah. Dari Syaikh Taskhiri sendiri kita melihat makalahnya banyak mengutip ulama-ulama Sunni.”
Ia mengingatkan, bahwa di Indonesia kerap ulama atau komunitas Syiah diperkenalkan secara salah, yang menurutnya itu bersumber dari pihak yang memiliki kepentingan tertentu atau dari pihak yang belum mengenal Syiah secara baik.
“Sudah saatnya kita menyatu sesama umat Islam, tidak perlu ada lagi aktivitas memperbesar suatu perbedaan. Itu tidak pernah dicontohkan ulama besar di masa lampau. Bagaimana seorang Imam Malik terhadap muridnya, meskipun terjadi dialektika, namun tidak terjadi keretakan. Sebagaimana ulama-ulama terdahulu kita juga di Indonesia.” Pesannya.
“Kita lihat, bagaimana ulama kita itu saling menghormati sama lain, meski mazhabnya berbeda. Sementara kita saat ini, karena mazhab kita berbeda, kitapun merasa perlu berjarak secara fisik. Dalam Islam ada pesan, akrim al-dhaif walau kana kafiran, muliakanlah tamu walaupun ia seorang kafir. Nah bagaimana kalau itu saudara-saudara semuslim kita sendiri. Mengapa kita tidak bisa saling menghormati dan saling menghargai?” Tanyanya.
Di bagian akhir penyampaiannya, Prof. Dr. KH. Nazaruddin Umar membacakan doa, agar umat Islam di Indonesia bisa saling terbuka dan saling memahami satu sama lain. “Ya Allah Kami tidak meminta untuk disatukan, tapi kami mohon kepadamu berikanlah saling pengertian antar kami satu sama lain, sehingga kami menjadi seorang muslim dan menjadi bangsa muslim yang besar di muka bumi ini.” Pungkasnya.
Disebutkan, Ayatullah Ali Taskhiri Ketua Dewan Tinggi Forum Pendekatan Antarmazhab Islam dan Penasihat Pemimpin Tertinggi Iran dalam urusan Dunia Islam wafat dalam usia 76 tahun pada Selasa (18/8) di Tehran akibat penyakit jantung yang dideritanya. Turut menjadi pembicara dalam Webinar yang secara khusus diadakan untuk mengenang kepribadian dan sepak terjangnya semasa hidup dalam mengkampanyekan moderasi beragama dan pendekatan antar mazhab tersebut, Prof. Dr. K.H. Din Syamsuddin, M.A (Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat), Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, M.Pd. (Guru Besar UIN Malang) dan Dr. Hakimelahi (Direktur ICC Jakarta) dengan moderator Akmal Kamil, M.A (Direktur PUSKABI).
Penulis berita : Ismail Amin, MA