Pemantau Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR) menginformasikan melalui situs webnya bahwa kelompok bersenjata terus melakukan aksi kriminal terhadap warga sipil di pesisir Suriah, meskipun Kementerian Pertahanan sebelumnya telah mengumumkan berakhirnya operasi keamanan. Dalam keterangan tersebut, dinyatakan bahwa “kelompok bersenjata memasuki kota Harison di pedesaan Baniyas bersama pasukan Kementerian Pertahanan. Mereka mulai menjarah, membakar rumah, dan merusak properti warga.” Kota itu juga menjadi sasaran tembak dari berbagai jenis senjata.
Di sisi lain, berbagai organisasi hak asasi manusia, termasuk Amnesty International, mengecam kekejaman yang terjadi. Mereka menyatakan, “Gambar-gambar mengerikan yang muncul dari pesisir Suriah menunjukkan mayat-mayat tergeletak di jalanan dan keluarga yang kehilangan orang-orang tercinta.” Amnesty International mendesak pemerintah di Damaskus agar “mengizinkan penyelidik independen, baik nasional maupun internasional, masuk ke Suriah, termasuk ke wilayah pesisir, sehingga fakta dapat diungkap secara menyeluruh.”
Selanjutnya, diketahui bahwa penduduk di desa-desa Jableh, selatan Latakia, telah meminta intervensi pasukan keamanan guna melindungi mereka dari pembunuhan, penculikan, serta pembakaran rumah dan perusakan properti. Walaupun Kementerian Pertahanan mengklaim operasi keamanan telah berakhir, kekerasan dan pembantaian terus terjadi. Bahkan, kelompok bersenjata dikabarkan menuntut sejumlah besar uang dalam dolar AS sebagai “jaminan keselamatan” bagi penduduk setempat.
Selain itu, ancaman terhadap komunitas Alawi di sekitar Damaskus telah memaksa banyak di antara mereka melarikan diri ke Sweida di selatan. Saksi mata menggambarkan aksi kekerasan tersebut sebagai “kejahatan sistematis” dan mendesak adanya perlindungan internasional serta penyelidikan independen. Beberapa sumber menyatakan bahwa serangan itu memiliki pola pembersihan etnis dan telah didokumentasikan melalui bukti audio serta video. Banyak warga masih memilih bersembunyi, sementara sejumlah pengungsi di Pangkalan Udara Hmeimim (Rusia) menolak meninggalkan tempat tersebut tanpa jaminan keamanan.
Krisis semakin dalam dengan kelangkaan pangan, pemadaman listrik, dan gangguan operasional toko roti yang mempengaruhi kehidupan di Latakia, Jableh, dan sekitarnya. Meski operasi militer resmi telah dinyatakan selesai oleh Kementerian Pertahanan Suriah, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa institusi publik belum sepenuhnya dapat beroperasi kembali. Komunitas Alawi, sebagai sasaran utama, terpaksa melarikan diri ke pegunungan untuk menghindari pembunuhan massal.
Di tengah situasi tersebut, Ahmad al-Sharaa—yang mengaku sebagai Presiden Suriah—memperingatkan adanya upaya untuk mendestabilisasi negara dan menyerukan penyelidikan independen atas kekerasan di pesisir. Namun, kelompok hak asasi manusia menduga bahwa pemerintahannya turut terlibat dalam kekejaman tersebut, dengan perkiraan jumlah korban jiwa yang bisa mencapai ribuan.
Kecaman PBB dan Desakan Internasional
Dalam upaya menanggapi situasi tersebut, Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Volker Turk, mengecam peran pemerintah Suriah yang dianggap telah memperburuk pembantaian terhadap warga sipil. Ia mendesak pihak berwenang di Damaskus untuk segera menyelidiki insiden tersebut dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan.
“Kami menerima informasi yang sangat mengganggu tentang seluruh keluarga—termasuk perempuan, anak-anak, dan bahkan yang telah menyerah—dibantai tanpa ampun,” ujar Turk. Ia menegaskan bahwa kekerasan di wilayah pesisir barat laut Suriah harus segera dihentikan.
Turk juga menambahkan, “Harus ada penyelidikan yang cepat, transparan, dan tidak berpihak terhadap aksi pembunuhan serta pelanggaran lainnya. Mereka yang bertanggung jawab harus diadili sesuai dengan hukum internasional, dan kelompok-kelompok yang meneror warga sipil harus dimintai pertanggungjawaban.”
Serangan yang telah berlangsung selama empat hari terakhir menargetkan komunitas Alawi, menewaskan setidaknya 1.311 orang menurut data kelompok hak asasi manusia. Beberapa organisasi meyakini jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi, mengingat masih banyak warga yang hilang atau tidak dapat ditemukan. Gelombang kekerasan ini dikatakan sebagai yang paling mematikan sejak perang Suriah pecah pada tahun 2011. Selain itu, pasukan pemerintah juga dituduh menggunakan taktik genosida terhadap komunitas Alawi, yang mencakup sekitar 20% populasi Suriah. Turk melaporkan adanya eksekusi ringkas berbasis sektarian yang dilakukan oleh pelaku tak dikenal, termasuk anggota pasukan keamanan. Para ahli menuduh bahwa otoritas di Suriah gagal mengendalikan aksi mematikan kelompok bersenjata ekstremis atau bahkan mendukungnya secara diam-diam.
Kekacauan Menyebar
Pemantau Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR) juga mengungkapkan bahwa kota-kota seperti Latakia, Jableh, dan Baniyas mengalami serangan artileri dan drone yang intens. Direktur SOHR, Rami Abdulrahman, menyatakan kepada Reuters bahwa banyak korban dieksekusi dan rumah-rumah dijarah selama serangan tersebut. Informasi dari sumber lokal menyebutkan bahwa kekerasan telah merembet ke wilayah pedesaan di sekitar Hama dan Homs, dengan militan dilaporkan telah melakukan lebih dari sepuluh pembantaian sejak Sabtu lalu.
Turk menekankan pentingnya agar otoritas Suriah memenuhi janji mereka untuk menegakkan hukum dengan cepat. “Mereka harus melakukan segala upaya untuk mencegah pelanggaran lebih lanjut serta memastikan pertanggungjawaban bagi para pelaku kejahatan,” ujarnya.
Situasi yang terus berlangsung ini menimbulkan ketakutan di antara komunitas Alawi di pesisir Suriah. Meskipun secara historis mereka dikaitkan dengan mantan Presiden Bashar al-Assad, mayoritas Alawi saat ini tidak memiliki hubungan langsung dengan pemerintahannya.
Pada hari Minggu, warga di Latakia melaporkan pemadaman listrik dan air yang telah berlangsung lebih dari 24 jam. Mereka menggambarkan situasi mencekam, di mana militan berkeliaran di jalanan dan membunuh siapa saja yang mereka temui. Seorang warga berkata, “Tidak ada air, tidak ada listrik. Kami terjebak di rumah, ketakutan. Mayat-mayat berserakan di jalanan.”
Seruan Iran
Utusan Khusus Iran untuk Urusan Suriah, Mohammad Reza Raouf Sheybani, mengutuk meningkatnya kekerasan di pesisir Suriah, melabeli aksi tersebut sebagai “kekejaman yang mengejutkan” dan mendesak agar ada pertanggungjawaban internasional. Dalam serangkaian unggahan di akun resminya di platform X pada hari Selasa, ia menegaskan dukungan teguh Iran terhadap keutuhan Suriah sekaligus menyerukan tindakan tegas terhadap para pelaku.
“Intensitas dan skala besar kekerasan terhadap warga sipil tak berdosa di provinsi pesisir Suriah sangat mengkhawatirkan,” tulis Sheybani, merujuk pada pembantaian yang baru-baru ini terdokumentasi di Latakia dan Tartus. Ia juga memperingatkan bahwa ketidakstabilan berkepanjangan akan memberi keuntungan bagi kelompok ekstremis serta pihak asing yang berupaya melemahkan Suriah. “Kekacauan ini hanya menguntungkan para teroris dan mengancam perdamaian regional,” tegasnya.
Sumber berita: https://www.tehrantimes.com/
Sumber gambar: https://www.koha.net/