Seorang diplomat senior dari Uni Emirat Arab tiba di Teheran pada hari Rabu (12/3/2025) untuk menyampaikan surat dari Presiden AS kepada Ayatollah Sayyid Ali Khamenei, Pemimpin Revolusi Islam Iran. Dalam pernyataan ketiganya dalam beberapa minggu terakhir, Ayatollah Sayyid Ali Khamenei menegaskan bahwa Iran tidak akan membuka negosiasi dengan Washington. Beliau kembali menyoroti bahwa AS belum memenuhi komitmen-komitmen yang telah disepakati di bawah Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) mengenai program nuklir Iran, sehingga menurutnya tidak ada dasar bagi Iran untuk duduk bersama pihak Amerika.
JCPOA, yang ditandatangani pada tahun 2015, membatasi program nuklir Iran sebagai imbalan atas pencabutan sanksi ekonomi. Pada masa jabatan pertamanya sebagai Presiden AS di tahun 2018, Donald Trump menarik diri dari perjanjian tersebut, kemudian memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran dan semakin memperketatnya. Selain itu, Trump menganggap perlu merancang perjanjian nuklir baru dengan Iran—suatu visi yang belum terwujud hingga masa jabatan keduanya di bulan Februari tahun ini, ketika ia menandatangani pembaruan kampanye tersebut.
Ayatollah Sayyid Ali Khamenei menyatakan,
“Fakta bahwa Presiden Amerika Serikat mengumumkan telah berupaya membuka negosiasi dengan Iran melalui pengiriman surat — bahkan sebelum surat itu sampai — merupakan upaya untuk menipu opini publik di seluruh dunia. Ini menyiratkan bahwa pihak kita (AS) ingin berdialog dan mencari perdamaian, sedangkan Iran tidak berminat.”
Beliau juga menanggapi sejumlah pejabat dalam negeri yang berpendapat bahwa membuka negosiasi dengan AS dapat meredakan tekanan ekonomi melalui pencabutan sanksi. “Beberapa pihak di dalam negeri terus mendesak agar kita mengadakan negosiasi: ‘Mengapa kita tidak merespon? Mengapa kita tidak bernegosiasi dengan AS?’” ujarnya. Menurutnya, seruan Washington untuk membuka pembicaraan itu semata-mata bertujuan agar mereka tampak sebagai pihak yang masuk akal, sementara secara tidak langsung menggambarkan Tehran sebagai pihak yang tidak masuk akal karena menolak untuk berdialog.
Lebih lanjut, beliau menegaskan, “Kita telah menghabiskan bertahun-tahun untuk berunding, namun presiden yang sama, Trump, kemudian membatalkan perjanjian yang telah disepakati, bahkan merobeknya. Bagaimana mungkin kita berunding dengan orang seperti ini? Dalam negosiasi, harus dipastikan bahwa pihak lain memenuhi komitmen mereka. Jika kita tahu bahwa mereka tidak akan menepati janji, apa gunanya?”
Ia juga menekankan bahwa berurusan dengan pemerintahan AS saat ini tidak akan mengurangi sanksi. “Jika tujuan negosiasi adalah untuk menghapus sanksi, berurusan dengan pemerintahan AS ini tidak akan mewujudkannya. Sebaliknya, hal tersebut justru akan mempersulit persoalan sanksi dan meningkatkan tekanan pada kita. Berunding dengan pemerintahan AS hanya akan menambah beban.”
Dalam pertemuan terbarunya dengan pejabat Iran, beliau sudah memperingatkan bahwa pembicaraan baru dengan Washington hanya akan menimbulkan tuntutan tambahan. “Isu-isu baru akan muncul, ekspektasi yang tidak realistis akan ditetapkan, dan tuntutan yang tidak masuk akal pun akan bermunculan. Hal ini hanya akan memperburuk keadaan dibandingkan hari ini. Dengan demikian, negosiasi pada dasarnya tidak menyelesaikan masalah; ia tidak mampu mengurai kompleksitas yang kita hadapi.”
Sambil mengakui dampak sanksi AS, Ayatollah Sayyid Ali Khamenei juga menyatakan bahwa faktor internal turut berkontribusi terhadap kesulitan ekonomi Iran. “Sanksi tidak sepenuhnya tidak efektif, namun penting untuk diakui bahwa permasalahan ekonomi kita tidak semata-mata disebabkan oleh sanksi. Seringkali, sebagian besar masalah muncul dari kelalaian kita sendiri. Walaupun sanksi memainkan peran, banyak masalah bersumber dari dalam negeri. Seiring waktu, efektivitas sanksi pun dapat menurun, dan itu perlu kita ingat.”
Di sisi lain, Trump—yang kembali ke Gedung Putih pada bulan Januari—menyatakan bahwa ia akan memberlakukan kembali kebijakan sanksi “tekanan maksimum” terhadap Iran, meskipun dengan enggan. Sejak itu, ia telah menyingkirkan beberapa pejabat dari masa jabatan pertamanya yang terkait dengan kebijakan Iran, sambil menuduh bahwa kalangan pembuat kebijakan luar negeri di Washington mendorong terjadinya perang.
Pada hari Jumat (7/3/2025), Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan bahwa ia telah menulis surat kepada Iran, mendesak agar dilakukan pembicaraan guna mencegah pengembangan senjata nuklir, serta memperingatkan bahwa Iran menghadapi kemungkinan tindakan militer jika tidak tercapai kesepakatan. Utusan Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, mengunjungi Abu Dhabi pada hari Selasa (11/3/2025) dan bertemu dengan Presiden UEA. Dalam kunjungan tersebut, Witkoff menyerahkan surat itu kepada pejabat Emirati untuk diteruskan ke Iran.
Trump menyatakan bahwa ia telah menulis surat kepada Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, dengan menyebut bahwa solusi melalui negosiasi “akan jauh lebih baik bagi Iran.” Dalam sebuah klip yang disiarkan pada hari Jumat di Fox Business, ia menyampaikan, “Saya telah menulis surat kepada mereka dan menyampaikan harapan agar Iran mau bernegosiasi, karena jika kita harus turun tangan secara militer, itu akan menjadi bencana bagi Iran. Kita tidak boleh membiarkan Iran memiliki senjata nuklir.”
Ayatollah Sayyid Ali Khamenei Bantah Iran Miliki Senjata Nuklir
Dalam pernyataannya yang lain, Ayatollah Sayyid Ali Khamenei menegaskan bahwa keputusan untuk tidak memiliki dan tidak mengembangkan senjata nuklir merupakan pilihan. “Ada berbagai alasan untuk keputusan ini, yang telah kita bahas sebelumnya. Jika kita ingin mengembangkan senjata nuklir, tidak ada kekuatan eksternal yang dapat menghentikan kita,” ujarnya, sambil menambahkan, “Jika Iran benar-benar ingin mengembangkannya, AS tidak akan mampu menghentikan kita.”
Tak hanya itu, Ayatollah Khamenei juga memberikan peringatan tegas terkait ancaman yang semakin meningkat dari Amerika Serikat. Ia menyatakan, “Iran tidak mencari perang, namun jika pihak Amerika dan agennya mengambil langkah yang salah, respons Iran akan tegas dan pasti, dan yang paling menderita adalah Amerika Serikat.”
Trump telah menyatakan bahwa ia akan menggunakan tindakan militer jika Iran tidak mau membuka pembicaraan dan menyetujui syarat-syarat perjanjian baru. Dalam konteks ini, Ayatollah Sayyid Ali Khamenei menggambarkan ancaman militer AS sebagai tindakan yang tidak rasional dan memperingatkan bahwa provokasi semacam itu dapat menimbulkan konsekuensi yang signifikan. “AS mengancam dengan aksi militer. Menurut saya, ancaman tersebut tidak bijaksana,” ujarnya, lalu menambahkan, “Iran mampu membalas dan pasti akan menghantam balik.”
Sumber berita: https://www.tehrantimes.com/
Sumber gambar: https://www.middleeastmonitor.com/