ICC Jakarta – Hari ini, 10 Rajab bertepatan dengan hari kelahiran Imam Jawad As, Imam pengikut Syiah ke-9 yang lahir pada tahun 195 H di Madinah.
Ditentukannya Imam Jawad As semenjak kecil membuat sebagian orang meragukan keimamamahan belia. Namun keraguan itu bias dijawab dengan adanya keterangan dalam al-Quran bahwa:
يَا يَحْيَىٰ خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ ۖ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا
“Dan kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) selagi ia masih kanak-kanak” (QS Maryam: 12)
Jawaban lain adalah ucapan Nabi Isa As pada hari pertama kelahirannnya:
قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آَتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا
وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا
“Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS Maryam: 30-32)
Masa keimamahan beliau berbarengan dengan dua khalifah Abbasiah. Yang pertama adalah Ma’mun (193-218), dimana Imam menghabiskan 23 tahun umurnya di masa kekhilafahan Ma’mun. Kedua adalah Mu’tashim Abbasi (218-227), yang mana 2 tahun dari kepemerintahannya bertepatan dengan keimamahan Imam Jawad As. Tempat tinggal Imam adalah Madinah, namun atas permintaan dua khalifah tersebut beliau pergi ke Baghdad. Dia untuk pertama kalinya pergi ke Baghdad pada masa khilafah Ma’mun pada tahun 214 (atau 215) dan setelah menetap beberapa lama di sana dalam dialog ilmiah, beliau kembali ke Madinah bersama istrinya (putri Ma’mun) pada musim haji. Namun saat Imam pergi ke Baghdad pada masa kekhilafahan Mu’tasim, dia beberapa kali singgah di kota ini dan dia melakukan beberapa dialog dengan para ulama dan para fakih kerajaan dan lain-lainnya dalam pelbagai masalah. (Ibnu Syahr Asyub, Manaqib Ali bin Abi Thalib, jild. 4, hlm. 380).
Diantara dialog yang terkenal adalah pemotongan tangan pencuri. Pada masa Imam tinggal di Baghdad, terjadi beberapa peristiwa yang menyebabkan kedudukan imamahnya tersebar di kalangan masyarakat, contoh yang dapat diisyaratkan adalah fatwa Imam tentang seorang pencuri. Terdapat perselisihan di kalangan para fakih istana mengenai batas pemotongan tangan seorang pencuri, dari batasan tangan mana yang harus dipotong; sebagian mengatakan dipotong dari pergelangan tangan dan sebagian lagi mengatakan dipotong dari siku. Mu’tashim Abbasiah meminta Imam supaya menjelaskan pendapatnya. Setelah pemaksaan khalifah, Imam berkata, hanya jari-jari pencuri saja yang dipotong dan seluruh anggota tangan lainnya masih tetap utuh. Beliau menuturkan dalilnya dengan ayat,
وَ أَنَّ الْمَساجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah hanya milik Allah, maka janganlah kamu beribadah (menyembah) seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah” (QS. Al-Jin: 18).
Mu’tashim sangat memuji jawaban Imam dan memerintahkan supaya memotong jari-jari sang pencuri. (Ayasyi, Kitab al-Tafsir, jild. 1, hlm. 319 dan 320)
Teriring ucapan rasa bersuka cita dihari kelahiran beliau. []