“Neraka di Bumi”
Ketua Komite Palang Merah Internasional (ICRC), Mirjana Spoljaric Egger, menggambarkan situasi kemanusiaan di Jalur Gaza sebagai “neraka di bumi”, seraya memperingatkan bahwa stok persediaan di rumah sakit lapangan milik organisasinya akan habis dalam dua pekan ke depan.
“Kami kini berada dalam situasi yang harus saya sebut sebagai neraka di bumi,” ungkap Spoljaric kepada Reuters dari markas besar ICRC di Jenewa. “Masyarakat tidak lagi memiliki akses ke air bersih, listrik, atau bahkan makanan di banyak wilayah.”
Ia menambahkan, persediaan di lapangan sudah berada pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. “Selama enam pekan terakhir, tak ada apa pun yang masuk ke Gaza. Jika terus begini, dalam dua pekan kami akan kehabisan seluruh persediaan yang dibutuhkan untuk menjaga rumah sakit tetap beroperasi.”
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memperingatkan bahwa stok antibiotik dan kantong darah semakin menipis. Richard Peeperkorn, perwakilan WHO untuk wilayah Palestina, menyampaikan kepada para wartawan di Jenewa melalui sambungan video dari Yerusalem, bahwa hanya 22 dari 36 rumah sakit di Gaza yang masih beroperasi, dan itupun dalam kapasitas minimum.
Presiden ICRC turut menyuarakan kekhawatiran atas keselamatan para pekerja kemanusiaan.
“Memindahkan orang-orang dalam situasi ini sangatlah berbahaya, terlebih bagi operasi kemanusiaan kami,” jelas Spoljaric.
Jeritan di Balik Reruntuhan
Sementara itu, Pertahanan Sipil Gaza mengecam rezim penjajah Israel karena terus menghalangi masuknya alat berat penyelamat nyawa ke wilayah tersebut, sehingga mengakibatkan banyak warga terluka terjebak dan meninggal di bawah reruntuhan rumah-rumah yang hancur dibombardir.
Dalam pernyataan yang dipublikasikan melalui Telegram pada Ahad (13/4/2025), lembaga itu menyatakan, “Banyak korban luka meninggal di bawah reruntuhan rumah mereka, yang dihancurkan oleh penjajah tanpa peringatan terlebih dahulu.”
“Kru penyelamat kami tak mampu menyelamatkan nyawa mereka, karena penjajah dengan sengaja menghalangi masuknya alat-alat penyelamat dan mesin berat ke Jalur Gaza,” tegas pernyataan tersebut.
Tim penyelamat melaporkan pemandangan memilukan di kawasan seperti Shujaiya, Abasan, Rafah, dan Deir el-Balah, di mana korban terdengar memohon pertolongan dari balik puing-puing bangunan yang runtuh. Namun, keterbatasan alat membuat mereka tak bisa diselamatkan tepat waktu.
“Kini mereka hanyalah jasad yang hilang,” tambah Pertahanan Sipil Gaza.
Lembaga tersebut, yang juga telah kehilangan banyak anggotanya akibat serangan Israel, menuntut pertanggungjawaban atas kejahatan yang terjadi. “Sampai kapan kematian di Jalur Gaza ini akan terus berlangsung? Sampai kapan kegagalan komunitas internasional ini akan dibiarkan?”
Kecaman tersebut muncul di tengah kehancuran masif di Gaza, ketika rumah sakit, sekolah, dan tempat-tempat penampungan turut menjadi sasaran, membuat ratusan ribu warga sipil kehilangan akses terhadap layanan medis dan bantuan darurat.
Pasukan Israel terus menghalangi masuknya peralatan vital ke Gaza, termasuk alat hidrolik untuk membersihkan puing, derek berat, dan perangkat medis yang sangat diperlukan untuk menemukan dan menyelamatkan korban yang terperangkap di bawah reruntuhan.
Anak-Anak Jadi Sasaran
Pertahanan Sipil Gaza melaporkan bahwa lebih dari 500 anak telah menjadi korban serangan militer Israel sejak rezim penjajah tersebut secara sepihak melanggar kesepakatan gencatan senjata dan kembali menggencarkan agresinya atas Gaza yang telah lama diblokade, pada 18 Maret lalu.
Juru bicara Pertahanan Sipil Palestina di Gaza, Mahmoud Basal, menyampaikan bahwa pada Sabtu lalu saja (12/4/2025), sedikitnya enam warga sipil, termasuk seorang anak-anak, gugur dalam serangan udara Israel yang menyasar wilayah Gaza, sehingga jumlah korban jiwa dalam 24 jam terakhir telah melampaui 20 orang.
Dua orang meninggal dalam serangan udara di kawasan Tuffah, Gaza, sementara dua lainnya terbunuh dalam serangan di distrik al-Atatra, Beit Lahiya, Gaza utara.
Serangan drone Israel di wilayah Qizan an-Najjar, selatan Khan Younis, juga menewaskan seorang warga Palestina lainnya.
Seorang bayi baru lahir pun mengalami luka parah setelah keluarganya menjadi sasaran serangan Israel di kota Deir el-Balah, Gaza tengah. Bayi tersebut akhirnya meninggal beberapa jam kemudian akibat luka yang dideritanya, sehingga total korban tewas pada Sabtu pagi mencapai enam orang.
Beberapa korban lainnya juga dilaporkan dalam serangan udara Israel yang menghantam tenda-tenda pengungsi di wilayah al-Mawasi, Khan Younis, Gaza selatan.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 1.500 orang telah gugur sejak Israel kembali menggempur wilayah yang terkepung itu.
Dalam perkembangan lain pada Sabtu (12/4/2025), juru bicara badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA), Juliette Touma, memperingatkan bahwa semua persediaan dasar di Gaza “hampir habis.”
“Artinya, bayi-bayi dan anak-anak tidur dalam keadaan lapar,” tulisnya di platform X.
Kepala UNRWA, Philippe Lazzarini, juga menggambarkan situasi di Gaza sebagai zona pembantaian pasca-kiamat, seraya mendesak masyarakat internasional untuk segera bertindak atas agresi Israel yang terus berlangsung.
Sehari sebelumnya, juru bicara Komisioner Tinggi HAM PBB, Ravina Shamdasani, melaporkan bahwa dari 224 serangan Israel yang terdokumentasi di Gaza antara 18 Maret hingga 9 April, 36 di antaranya hanya menewaskan perempuan dan anak-anak.
Organisasi hak asasi Palestina, al-Haq, yang memantau dan mendokumentasikan pelanggaran rezim penjajah, menegaskan bahwa temuan PBB tersebut semakin menguatkan pola kekerasan yang sebelumnya telah mereka identifikasi, dengan menyatakan bahwa “Upaya sistematis untuk memusnahkan perempuan, anak laki-laki, anak perempuan, bahkan bayi, belum pernah disaksikan dalam konflik modern mana pun.”
Menurut pembaruan dari Kantor Media Pemerintah di Gaza, sejak Oktober 2023, korban tewas telah melampaui angka 61.700 jiwa, sementara ribuan lainnya yang terkubur di bawah reruntuhan rumah-rumah diperkirakan telah meninggal dunia.
Entitas penjajah Israel sebelumnya telah menyetujui syarat-syarat perundingan yang diajukan oleh kelompok perlawanan Hamas dalam gencatan senjata Gaza yang dimulai 19 Januari. Namun, pada 18 Maret, Israel secara sepihak mengkhianati kesepakatan tersebut dan kembali melancarkan serangan brutal ke Gaza.
Bayang-Bayang Kelaparan
Koordinator kemanusiaan dan rekonstruksi PBB untuk Gaza, Sigrid Kaag, menyatakan bahwa lebih dari 60.000 anak di bawah usia lima tahun di Gaza kini mengalami malnutrisi.
“Setiap angka dalam statistik ini mewakili satu kehidupan manusia dan perjuangan untuk bertahan hidup,” tegasnya.
Berbicara pada Sabtu kepada kantor berita Anadolu dalam Forum Diplomasi Antalya di Belek, Turki, Kaag menyoroti runtuhnya akses kemanusiaan di Gaza.
Ia menjelaskan bahwa selama masa gencatan senjata, pengiriman bantuan yang dikoordinasikan PBB sempat berjalan tanpa hambatan. Namun, sejak paruh kedua bulan Maret, Israel kembali memblokade aliran bantuan tersebut.
Ia juga menambahkan, operasi kemanusiaan di lapangan kini terhambat parah akibat kekurangan peralatan dan bahan bakar, membuat rumah sakit kesulitan beroperasi dan distribusi bantuan kian terhambat.
Kaag menyuarakan keprihatinan mendalam atas memburuknya kondisi kesehatan anak-anak Gaza. “Lebih dari 60.000 anak di bawah lima tahun kini mengalami malnutrisi. Setiap dari mereka adalah jiwa yang tengah berjuang untuk bertahan.”
Kaag menekankan bahwa berdasarkan hukum internasional, Israel berkewajiban membuka akses kemanusiaan, dan menegaskan bahwa bantuan harus segera dikirimkan ke Gaza.
Ia juga menyampaikan keprihatinan atas keselamatan para pekerja kemanusiaan di Gaza, yang sebagian besar adalah warga sipil Palestina. “Serangan Israel atas Gaza sangat mengerikan, bukan hanya bagi warga sipil, tetapi juga bagi pekerja kemanusiaan internasional,” pungkasnya.
Sumber berita: https://en.abna24.com/
Sumber gambar: https://www.bbc.com/