ICC Jakarta – Fanatisme yang dimaksud ialah sikap atau tindakan berupa ajakan seseorang untuk membantu kerabatnya agar berkomplot melawan pihak yang memusuhi mereka, baik itu sebagai pihak penindas maupun tertindas. Seorang yang fanatik itu yang membantu kelompoknya dalam penindasan, marah kepada pihak lain karena membela kerabatnya dan mempertahankan mereka. (Ibnu Manzhur, Lisān al-‘Arab, j. 9, h. 232-233.)
Imam Ali bin Husein as-Sajjad a.s. ditanya tentang sikap fanatik dan menjawabnya, “Fanatik yang menimbulkan dosa itu bila seseorang memandang kejahatan kelompoknya lebih baik dari kebaikan kelompok lain. Bukanlah fanatik bila seseorang mencintai kelompoknya. Tetapi fanatik itu menolong kelompoknya dalam penindasan.” (Syekh al-Kulayni, al-Kāfī, j. 2, h. 308.)
Inilah sikap permusuhan paling berbahaya dan paling membunuh dalam perpecahan dan perselisihan umat Islam serta melemahkan kekuatan mereka, baik moril maupun materil. Sungguh Islam memerangi sikap fanatik dan mewanti-wanti kaum Muslimin atas akibat buruk dan efek negatif bagi semua. Imam Ja’far as-Sadiq a.s. telah memperingatkan kita, “Sesiapa bersikap fanatik, niscaya Allah membelenggunya dengan pengikat neraka.” (Syekh al-Kulayni, al-Kāfī, j. 2, h. 308.)
A. Pemimpin Kaum Fanatik
Fanatisme berakar pada kesombongan Iblis terhadap asal penciptaan datuk kita Adam a.s.
Al-Quran menyampaikan ungkapan Iblis,
قَالَ أَنَا۠ خَيۡرٞ مِّنۡهُ خَلَقۡتَنِي مِن نَّارٖ وَخَلَقۡتَهُۥ مِن طِينٖ.
(Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api sementara Engkau ciptakan dia dari tanah.” (Q.S. al-A’rāf [7]:12)
Iblis merupakan pemimpin kaum fanatik. Sikap fanatik itu salah satu prajurit Iblis yang mendorong menuju kehancuran. Sebab fanatik menuntun kawannya ke jalan kesesatan dan kebodohan serta menjauhkannya dari jalan kebenaran dan petunjuk.
Amirul Mukminin a.s. melecehkan Iblis dalam khotbahnya, “… dia merasa sombong atas Adam karena asal penciptaannya, dan membanggakan diri kepada Adam karena asal kejadiannya. Maka musuh Allah itu adalah pemimpin orang-orang yang menyombongkan diri, dan pelopor kesombongan. Dialah yang meletakkan pondasi pengelompokan, bertengkar dengan Allah tentang jubah kebesaran, menggunakan busana takabur dan menanggalkan baju kesederhanaan.” (Nahj al-Balāghah, Khotbah 192)
Ungkapan Amirul Mukminin pada khotbah lainnya, “Kesombongan mencegah dia dan keburukan mengalahkannya. Maka ia membangga-banggakan penciptaannya sendiri (yang) dari api dan bersikap menghina ciptaan dari lempung.” (Nahj al-Balāghah, Khotbah ke-1)
B. Fanatik pada Kebenaran
Tidak dapat diragukan bahwa sikap fanatik tercela yang dilarang Islam itu ialah tolong-menolong dalam kebatilan, bahu-membahu dalam kezaliman dan berbangga diri atas nilai-nilai jahiliah.
Baca: Memperdalam Ilmu Agama, Manajemen Kehidupan Dunia, dan Bersikap Sabar
Sementara fanatik yang terpuji itu ialah fanatik pada kebenaran, mempertahankannya, bahu-membahu dalam mewujudkan pelbagai kepentingan publik Islam, seperti membela agama, melestarikan Tanah Air, menjaga kemuliaan kaum Muslimin, beserta jiwa dan harta mereka. Inilah fanatik yang akan membangkitkan persatuan tujuan dan perjuangan serta mewujudkan kemuliaan dan ketahanan kaum Muslimin.
Imam Ali as-Sajjad a.s. berkata, “Tidaklah memasukkan surga sikap fanatisme selain fanatisme Hamzah bin Abdul Mutthalib yang ketika beliau memeluk Islam, amarahnya demi Nabi -salawat Allah atasnya dan keluarganya.” (Syekh al-Kulayni, al-Kāfī, j. 2, h.308.)
Amirul Mukminin a.s. menyingkap jiwa fanatik yang terpuji dalam khotbah al-Qāshi’ah, “Kalau memang fanatisme itu diperlukan, hendaklah fanatisme kalian itu pada perangai yang unggul, amal perbuatan yang terpuji dan hal-hal terbaik yang diperjuangkan para dermawan dan kesatria dari keluarga Arab dan para pemimpin kabilah.. Mereka fanatik pada kebiasaan yang terpuji, seperti perlindungan kepada tetangga, pemenuhan janji, ketaatan kepada yang baik, perlawanan kepada yang sombong, kedermawanan kepada orang lain, berpantang dari kedurhakaan, menjauh dari pertumpahan darah, berlaku adil kepada manusia, menekan kemarahan, dan menghindari berbuat kekacauan di bumi.”
(Nahj al-Balāghah, Khotbah ke-192, al-Qāshi’ah)
C. Akibat Fanatisme
- Keluar dari Keimanan
Iman itu pembenaran dengan hati, dan bertindak atas dasar kebenaran dan keadilan.
Fanatisme itu bertentangan dengan prinsip kebenaran dan keadilan. Sebab itu, ia bertentangan dengan keimanan yang menuntut kita untuk melaksanakan segala tindakan berdasarkan kebenaran dan keadilan.
Fanatisme tercela yang tumbuh di hati seseorang akan menegasikan prinsip kebenaran dan keimanan. Seorang yang fanatik lebih mendahulukan aspek kecenderungannya pada sesuatu dan mendukungnya sekalipun ia tidak benar.
Imam Ja’far as-Sadiq a.s. dalam hal ini mengungkapkan, “Sesiapa bersikap fanatik atau dikuasai fanatisme, berarti dia telah melepaskan kalung keimanan dari lehernya.” (Syekh al-Kulayni, al-Kāfī, j. 2, h. 307.)
Allah juga menyifati fanatisme sebagai karakteristik hati orang-orang kafir,
إِذۡ جَعَلَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلۡحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ.
Ketika orang-orang yang kafir menanamkan kesombongan dalam hati mereka (yaitu) kesombongan jahiliah (Q.S. al-Fath [48]:26)
- Dibangkitkan bersama kaum jahiliah
Rasulullah Saw bersabda, “Sesiapa di hatinya ada benih fanatisme, niscaya Allah membangkitkannya bersama orang-orang jahiliah pada hari Kiamat.” (Syekh al-Kulayni, al-Kāfī, j. 2, h. 307.)
- Pantas meraih neraka
Imam Ja’far as-Sadiq a.s. telah memperingatkan kita, “Sesiapa bersikap fanatik, niscaya Allah membelenggunya dengan pengikat neraka.” (Syekh al-Kulayni, al-Kāfī, j. 2, h. 308.)
D. Islam Agama Konsolidasi
Islam datang saat manusia berserakan dalam kelompok, kabilah dan partai. Lalu Allah mempersatukan dan melunakkan hati mereka dengan Islam. Allah Swt berfirman,
وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءٗ فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦٓ إِخۡوَٰنٗا
dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara (Q.S. Āli ‘Imrān [3]:103)
Imam Muhammad al-Baqir a.s. berkata, “Rasulullah Saw naik mimbar pada hari pembebasan Mekah seraya berkhotbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah menghilangkan keangkuhan jahiliah dan kebanggaan pada nenek moyang mereka. Ketahuilah sesungguhnya kalian berasal dari Adam a.s. dan beliau berasal dari tanah. Ketahuilah bahwa hamba Allah terbaik itu hamba yang bertakwa kepada-Nya.
Sejatinya kearaban bukanlah soal ayah (kebanggaan nasab), tetapi kefasihan lisan (syahadat dan agama yang benar). Sesiapa minus amalnya, maka faktor keturunan tidaklah dapat menyempurnakannya. Ketahuilah bahwa setiap darah pada masa jahiliah atau dendam kesumat, niscaya di bawah kakiku ini sampai hari Kiamat.’” (Syekh al-Kulayni, al-Kāfī, j. 8, h. 246.)
Islam mendidik putra-putrinya agar memiliki kesadaran sebagai individu dalam khalayak. Kesadaran bahwa mereka bagian dari kelompok yang besar. Seorang Muslim yang memiliki kesadaran ini niscaya akan mencintai bagian lain seperti mencintai dirinya sendiri.
Afiliasi seorang Muslim terhadap kelompoknya melahirkan hak-hak dan kewajiban baginya. Kewajiban yang terbesar baginya ialah bahu-membahu di antara kaum Muslimin.
Amirul Mukminin a.s. berpesan kepada dua putranya, al-Hasan dan al-Husain a.s., “Jadilah kalian berdua sebagai musuh penindasan dan penolong yang tertindas.” (Nahj al-Balāghah, pesan ke-47) Lalu beliau juga berpesan, “Sebaik-baik keadilan itu menolong yang tertindas.” (al-Laytsi al-Wasithi, ‘Uyūn al-Hikam wa al-Mawā’izh, h. 113)
Sebagai penutup ialah doa pemimpin ahli ibadah, Imam Ali as-Sajjad a.s., “Ya Allah, aku memohon ampun kepada-Mu karena menyaksikan orang yang tertindas, namun aku tidak menolongnya.” (as-Sahīfah as-Sajjādiyah, Doa ke-100)
Rujukan:
al-Insān wa al-Mujtama’
Sumber Safinah online