ICC Jakarta – Dalam syariat Islam dikatakan bahwa salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap manusia adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat menjerumuskan dirinya kepada kehancuran. Terkecuali dalam beberapa perkara tertentu yang Allah Swt sendiri telah mengijinkan, misalnya seperti pergi berjihad fisabilillah (dijalan Allah).
Apabila kita mengkaji beberapa riwayat tentang keghaiban Imam Mahdi As, maka kita akan mendapatkan bahwa salah satu hikmah yang nampak dan yang disebutkan dalam beberapa riwayat tersebut adalah demi keamanan dan keselamatan diri Imam Mahdi As dari kaum yang dzalim.
Imam Shadiq As bersabda, “Sesungguhnya sebelum kemunculannya, Al-Qaim akan ghaib. Hal itu karena ia takut [kemudian Imam Shadiq As mengisyaratkan tangannya kebagian perutnya, artinya beliau ingin mengisyaratkan bahwa Imam Mahdi As takut dibunuh].[1]”
Syaikh Thusi dalam kitab Al-Ghaibah, tepatnya pada frase kelima, tanpa memperhatikan lagi akan hikmah-hikmah yang telah disebutkan sebelumnya, menulis: “Tidak ada sebab lain yang dapat merintangi kemunculan Imam Mahdi As selain pembunuhan yang akan menimpa dirinya. Sekiranya bukan karena itu, ghaib dan bersembunyi dibalik tabir baginya merupakan suatu hal yang tidak baik. Imam Mahdi As yang seluruh hati manusia cinta kepadanya, senantiasa menanggung berbagai gangguan dan kesusahan. Hal itu karena ketinggian makam dan martabat seorang Nabi dan Imam baru akan tercapai dengan menanggung berbagai cobaan dan ujian yang sangat susah.”
Ketakutan disini tentunya tidak berarti bahwa Imam Mahdi As takut kepada kematian di jalan Allah Swt. Akan tetapi arti dari ketakutan disini adalah karena ia adalah satu-satunya sosok hujjatullah yang hingga kini masih tersisa tersebut bumi, dan hanya ditangan beliaulah kekuasaan dan pemerintahan Ilahi dapat terwujud di muka bumi ini. Oleh karena itu, Allah Swt berkewajiban untuk menjaga satu-satunya hujjah-Nya tersebut hingga datangnya hari yang telah dijanjikan (‘Ashr Zhuhur), dengan cara meng-ghaibkannya.
Yang perlu diingat disini bahwa pada masa lalu, sebagian Anbiya’ Ilahi ketika merasakan bahwa dirinya dalam keadaan terancam, mereka akan berlindung diri dengan menjauh dan mengasingkan dirinya dari masyarakat. Sejatinya, kejadian tersebut tidaklah jauh berbeda dengan arti dari keghaiban itu sendiri. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw sendiri ketika beliau mengasingkan dirinya kedalam Gua Hira’, demikian juga ketika beliau berlindung dalam naungan Abu Thalib. Dalam peristiwa tersebut, tidak ada dalil yang lebih kuat yang dapat dijadikan alasan mengapa beliau melakukan kedua hal tersebut, selain dengan adanya ancaman yang mengancam dan membahayakan dirinya.
Melihat dari dua hikmah yang telah disebutkan sebelumnya, Syaikh Mufid menambahkan: “Sebab mengapa beliau ghaib, tidak lain karena jumlah musuh yang teramat banyak dengan jumlah penolong yang sedikit. Lebih penting dari itu, tentunya disana juga terdapat hikmah dan maslahat lainya yang Allah Swt sajalah yang mengetahuinya.[2]”
Dalam sebagian riwayat juga disebutkan bahwa sebab dan alasan mengapa Imam Mahdi As ghaib tidak lain hanya karena demi menjaga keselematan jiwanya. Sebagai contoh apa yang disampaikan oleh Imam Baqir As, “Ketika Al Qaim muncul, ia akan membacakan ayat ini: “Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul” (Qs, Al-Syu’ara’ [26]: 21).[3]” Perkataan tersebut pada dasarnya adalah perkataan Nabi Musa As yang dikisahkan oleh Al-Qur’an. Dalam beberapa riwayat juga disebutkan akan terdapatnya sisi-sisi persamaan antara keghaiban Nabi Musa as dengan keghaiban Imam Mahdi As. (Dars Nameh Mahdawiyat II, Khuda Murad Salimiyan)
Daftar Pustaka
[1]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Kâfi, Teheran, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1365 HS, jil. 1, hal. 340; Muhammad Hasan Thusi, Kitâb al-Ghaibah, Qum, Muassasah Ma’arif Islami, 1411 HS, hal. 329; Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih Shaduq, Kamâl al-DînwaTamâm al-Ni’mah, Qum, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1395 HS, jil. 2, hal. 342. [2]. ‘Ukbari, Muhammad bin Nu’man (Syaikh Mufid). [3]. Muhammad bin Ibrahim Nu’mani, Al-Ghaibah, Teheran, Maktabah Al-Shaduq, 1397 HS, hal. 174, hadis 11.