Oleh : Andito Suwignyo*
Dunia terbagi pada dua golongan, penindas dan tertindas, yang bertarung sepanjang zaman. Penindas menggenggam kuasa, modal dan senjata. Umumnya mereka dari penguasaha, senyawa penguasa dan pengusaha, atau oligarki. Sedangkan yang tertindas adalah mereka yang miskin (pengetahuan, modal, akses), yang gurem, yang terikat dalam kultur feodal atau relasi produksi dengan mereka. Sistem ini langgeng berkat dukungan orang jelata yang bermimpi menjadi penindas berikutnya.
Pada awalnya, para penindas, oligarki itu, baku rebut daerah-daerah kaya sumber daya alam dan manusia, untuk bahan baku, pasar, dan budak. Lelah bertikai, mereka mencapai titik kompromi untuk berkuasa bersama. Bumi dan segala isinya tidak habis dimakan sendirian.
Pasca Perang Dunia Kedua, negara-negara pemenang perang mendorong terciptanya badan-badan internasional untuk pemulihan ekonomi politik global. Negara-negara muda ikut bergabung. Semua pihak sepakat perlunya menciptakan perdamaian dan keamanan dunia dalam sebuah etika global. Meskipun pada praktiknya perang unilateral dan krisis ekonomi global tetap terjadi sebagai penyegaran kapital dan kocok ulang aset para oligarki dunia.
Globalisasi
Hubungan antar bangsa berujung pada ekspansi kapital. Apalagi kini dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi. Negara bangsa tidak lagi berbatas, menjelma sebagai kampung global. Menurut Sadegh Haghighat, profesor di Universitas Mofid, Iran, globalisasi membatasi dan merelatifkan kedaulatan negara dan membebaskan pasar kapitalis dan masyarakat sipil dari keterikatan teritorial-yuridisnya dalam negara dan bangsa (Western Globalisation and Islamic Globalism, 2004).
Ketika batas-batas dunia sudah lenyap oleh kemajuan teknologi informasi, maka dunia akan mengalami chaos atau malah menuju keselarasan global dalam satu pemerintahan tunggal (Tata Dunia Baru) sebagai puncak sejarah manusia. Setiap kelompok berusaha mencapai puncak kuasa. Sebagian kalangan menganggap penyatuan dunia ini adalah hasil konspirasi jahat. Yang lain berpandangan bahwa kesatuan dunia merupakan dampak alamiah dari aktualisasi nilai-nilai universal.
Secara de jure, negara bangsa masih berdiri. Tapi de facto kekuatannya sudah beralih ke korporasi. Saat kita bicara kedaulatan nasional, hakikatnya kita bicara aset dan ekspansi korporasi. Negara hanya satpam dan administratur korporasi. Tugas pokoknya membuka relasi diplomatik dengan negara lain untuk masuknya barang dan kapital, membuat perjanjian perdagangan, dan mengerahkan tentara sebagai pengawal aset korporasi. Setelah berhasil, negara memeroleh success fee berupa pajak. Faktanya, korporasi adalah institusi di luar negara yang paling banyak menikmati fasilitas dan keringanan pajak dibandingkan rakyat.
Kita tahu bagaimana kelanjutannya. Rakyat diperas untuk eksistensi korporasi. Rakyat mana saja. Bukan hanya rakyat di negara target pasar dan modal. Di negara tempat korporasi tersebut lahir, rakyatnya tidak kalah sengsara. Secara per kapita, mereka terlihat lebih makmur dibanding rakyat negara lain. Mereka terima bersih kebaikan kapitalisme yang limbahnya dibuang ke negara-negara lain. Itu pun tidak bisa mengatasi masalah sepenuhnya. Gelandangan di Amerika Serikat meningkat setiap tahun karena harga perumahan yang tinggi, upah yang stagnan, privatisasi sektor kesehatan, dan jaminan sosial yang tidak memadai.
Globalisasi hegemonik merupakan hasil intervensi (top down) negara-negara kapitalis yang ingin menjadikan dunia ini sebagai pasar dengan pola konsumsi tunggal.
Kebutuhan universal
Dunia adalah medan pertempuran antara penindas dengan kaum tertindas dalam makna yang universal. Kaum tertindas melawan penindas secara sporadis dan terfragmentasi dalam kelas sosial masing-masing. Tapi kesadaran kelas merebak seiring arus informasi dan penetrasi korporasi. Kalangan agamawan meyakini bahwa Tuhan mengutuk mereka yang melakukan ritus-ritus keagamaan namun tidak menghasilkan realisasi kebaikan dalam bentuk tindakan sosial (QS. Al-Maun/107).
Melawan oligarki ditempuh dengan dua cara. Dari bawah dengan demonstrasi dan pemogokan. Dari atas, dengan pembuatan regulasi yang berpihak pada rakyat banyak. Peran masyarakat sipil sangat penting dalam memberikan pendidikan politik rakyat dan menekan negara. Pematangan kondisi menciptakan kader warga yang militan, progresif revolusioner, dan politikus yang mulai bergeser ke rakyat.
Kaum tertindas punya pilihan, putus asa atau bangun harapan. Kaum materialis mudah putus asa, yang biasanya berakhir dengan bunuh diri, nihilis, atau alih sikap ke pragmatis, membelot ke rezim penindas. Sedangkan kaum tertindas yang lain punya teleologi, meyakini bahwa rangkaian perlawanan akan membuahkan kemenangan, entah bakal mereka jumpai atau tidak. Mereka mempunyai harapan akan munculnya sistem dan sosok yang ideal pembawa keselamatan dan kesejahteraan.
Sosok atau sistem
Pada masa lalu, idola kaum tertindas adalah tokoh sentral ajaran besar ketuhanan, seperti Musa, Isa, dan Muhammad. Bahkan kelahiran mereka sudah dinubuatkan. Mereka dari keluarga terpandang dari sisi intelektual dan spiritual, tapi sangat biasa dilihat dari strata ekonomi. Mereka tidak merebut alat produksi atau menyita harta benda, tapi mengubah sistem produksi dan membongkar kultur feodal.
Pada masa kini, sosok-sosok hebat tersebut sudah tiada. Sedangkan sistem kapitalisme lanjut semakin eksis mengeksploitasi sendi-sendi kehidupan manusia. Kita merindukan sistem alternatif yang berkeadilan, modern, rasional, dan terbuka. Sistem dilawan sistem. Sistem inilah yang akan memunculkan sosok yang bersih, berani dan bersahaja. Penjagaan atas sistem ini dilakukan secara kolektif.
Sistem Amerika Serikat yang liberal, misalnya, mensyaratkan keutamaan moral intelektual calon presidennya. Sosok ini harus bersih, bebas dari curang dan asusila. Padahal sistem dan kultur di AS yang hedonis materialistik menganggapnya sebagai hal yang lumrah. Sosok pemimpin tidak harus suci bersih. Sebab sistem yang rasional akan mengunci segala potensi jahat dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Mereka menganggap membangun sistem sempurna lebih utama daripada percaya begitu saja kepada sosok tertentu.
Dengan kata lain, Juru Selamat itu merupakan hasil desain sistem pendidikan yang komprehensif. Dari sisi ini, sosok ini pasti dari keluarga yang terpandang, bukan dari keturunan sembarangan. Rekam jejak masih berlaku, bahkan menjadi acuan utama, di era digital ini. Semacam sekolah raja filosof ala Plato.
Pendekatan aliran yang berbasis agama berbeda dengan aliran sekuler. Tapi keduanya bertemu pada kebutuhan yang sama. Ketika segala sesuatu semakin mudah, maka kemunculan Juru Selamat, atau apa pun namanya, akan terjadi secara alamiah. Keberadaan sosok ini menjadi objektif.
Manipulasi
Privatisasi sosok universal memang dilematis. Setiap golongan mengklaim sosok Juru Selamat dari mereka yang orisinal, yang lainnya palsu.
Di Indonesia, sosok Juru Selamat dikenal sebagai Ratu Adil, atau Satrio Piningit, umumnya merujuk ramalan terkenal dari Jayabaya, yang memerintah Kediri pada tahun 1135 hingga 1157. Ia yang meramalkan kedatangan Ratu Adil setelah masa zaman keemasan, kemerosotan dan kerusakan.
Jika dipadupadankan, Ratu Adil hadir setelah pudarnya kekuasaan keraton disubordinasi oleh kolonial Belanda, sistem pajak yang mencekik, dan kekuasaan yang sewenang-wenang membangun imaji tentang sosok ini. Tak kurang Pangeran Diponegoro dan H.O.S. Tjokroaminoto sempat dianggap sebagai Ratu Adil. Apalagi nama juru selamat dalam ramalan Jayabaya bernama Prabu Heru Tjokro, sangat mirip dengan Tjokroaminoto.
Gerakan Islam rebutan sosok Juru Selamat yang disebut Imam Mahdi. Mereka mensyaratkan baiat, sumpah setia, untuk memeroleh keselamatan. Hadisnya, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan pada pemimpin, maka ia pasti bertemu Allah pada hari kiamat dengan tanpa argumen yang membelanya. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak ada baiat di lehernya, maka ia mati dengan cara mati jahiliyah.” (HR. Muslim, No. 1851).
Sebagian besar gerakan Islam berpegang pada dalil ini. Dengan dalil yang sama tersebut, mereka saling bunuh. “Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya (HR. Muslim, No. 1853).
Subuh 20 November 1979, Juhayman al-Otaybi dan dua ratus pasukan bersenjata mengumumkan Mohammed Abdullah Al Qahtani sebagai Imam Mahdi di Masjidil Haram. Tentara Saudi dibantu pasukan khusus Prancis berhasil membebaskan masjid pada 4 Desember dengan ratusan orang tewas.
Gerakan Mutamahdi atau Pseudo-mahdi boleh disebut sebagai reaksi atas sistem yang tidak adil atau korup, bisa juga gangguan kejiwaan.
Zubir Amir bin Amir Abdullah mengaku sebagai Imam Mahdi dan bikin ulah di Masjidil Haram (18 Juli 2015). Pria lulusan Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara ini mendirikan Pasukan Akhir Zaman 313 sebagai wadah berkumpul para pengikutnya.
Winardi mengaku sebagai Imam Mahdi berdasarkan mimpi. Satpam yang tinggal di Sawangan, Depok, ini mendirikan Padepokan Trisula Weda sejak 2013. Aparat menggerebek tempat ini pada Mei 2019, setelah Winardi menyebarkan undangan Halal Bihalal atas nama Imam Mahdi.
Gerakan keagamaan yang lain juga tidak kalah heboh. Misalnya, Sergei Torop, berubah nama menjadi Vissarion, mengaku sebagai titisan Yesus selama tiga puluh tahun di Siberia, Rusia, sebelum akhirnya ditangkap aparat dengan delik pemerasan (23/9/2020). Sekte Gereja Tuhan Yang Maha Kuasa (Quannengshen) yang didirikan pada 1990an di China membuat ulah. Mereka meyakini Yesus akan turun ke bumi dalam wujud perempuan. Keyakinan itu sudah meminta korban jiwa, membunuh warga yang menolak ikut kelompok ini.
Segala klaim ini melahirkan sikap muak dan apatis. Klaim dengan dalil Kitab Suci dan pengalaman spiritual sepihak untuk melegalisasi pembunuhan atau aksi kriminal. Akhirnya muncul pernyataan, bahwa kita sendiri bertanggung jawab atas keselamatan diri kita sendiri. Tentu, jika kita kejar pernyataan sikap ini, tidak menemukan Juru Selamat bukan berarti sosok tersebut tidak ada.
Muncul alamiah
“Andai tidak tersisa dari dunia kecuali satu hari pasti Allah akan memanjangkan hari itu hingga Ia mengutus di dalamnya seorang laki-laki dariku atau dari keturunanku, namanya sama dengan namaku dan nama bapaknya sama dengan bapakku, ia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi kezaliman dan kekejian.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan yang lain).
Jika Allah SWT memiliki hak prerogatif mengirimkan Juru Selamat atau Al-Mahdi (orang yang mendapat petunjuk) jelang akhir zaman, maka karakternya tidak berbeda jauh dengan penyiapan nabi dan pembawa risalah Allah pada masa lalu.
Al-Mahdi muncul karena kemestian, bukan hasil desakan dari masyarakat atau ikut hasil polling. Seperti hujan yang niscaya turun ketika segala sebabnya sudah terkumpul, salah satunya ditandai dengan awan hitam pekat dan suhu udara menurun. Memang sudah saatnya. Dia yang memutuskan sendiri kapan deklarasi, berdasarkan perintah Tuhan, bukan karena permintaan umatnya. Sehingga pernyataan Imam Mahdi muncul setelah umat siap, tidak tepat.
Hakikatnya, Imam Mahdi sudah hadir di tengah-tengah kita. Wajar, jika kita tidak mengenalinya. Kapasitas spiritual kita tidak mencukupi. Di sisi lain, baginya, tidak penting mengenalkan diri kepada orang yang tidak membutuhkan, bahkan menolaknya. Penolakan kepadanya biasanya juga karena ego. Seperti pendeta Yahudi yang berharap bahwa Utusan Tuhan Yang Dijanjikan itu berasal dari rahim elite mereka. Ternyata sosok itu, Nabi Muhammad saw, muncul dari sulbi Bani Hasyim, keturunan Ismail pula.
Tidak heran, penentang Al-Mahdi berasal dari elite agamawan yang sudah terbiasa dengan ritus dan doa penantian. Kemunculan Al-Mahdi merusak tatanan yang sudah mereka bangun selama ini. Zona nyamannya tergusur. Mungkin karena sosok Al-Mahdi diluar ekspektasi mereka, seperti penolakan pendeta Yahudi terhadap kelahiran Muhammad bin Abdullah yang lahir di luar rahim bangsa Yahudi.
Mirip pula dengan kisah Nabi Musa yang mengadakan jamuan makan besar untuk Tuhan. Musa membayangkan Tuhan datang dengan segenap kebesaran-Nya yang bercahaya, megah, wangi, glowing. Tapi Tuhan datang dalam wujud seorang gembel, yang Musa usir karena menodai citra kenabiannya. Kini, bayangkanlah Al-Mahdi datang bersahaja di tengah majlis pengajian yang eksklusif, saat ulama itu sedang berbincang dengan oligarki. Alih-alih menghormati, mungkin ulama itu malah bermuka masam.
Al-Mahdi hanya mampu dilihat oleh ulama yang melihat orang-orang tertindas sebagai manifestasi Tuhan, yang berjuang bersama mereka sebagai bentuk pelayanan kepada Tuhan.
Pengikut Al-Mahdi, seperti pengikut Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad, Al-Husain, pun dari kalangan biasa, jelata, bukan elite yang banyak pertimbangan.
Sosok Muhammad bin Abdullah saw diyakini sebagai utusan Allah SWT, ada pula yang menganggapnya sebatas keturunan Bani Hasyim, atau pemimpin kabilah Arab, demikian pula dengan sosok Imam Mahdi ini. Dengan mencermati hadis Sunni yang banyak beredar tentang lamanya berkuasa tujuh atau sembilan tahun, mirip jabatan presiden dua periode. Artinya, sosok dan perbuatan Al-Mahdi tidak keluar dari konteks sosial dan kemodernan yang berlaku pada masa itu.
Sosok Al-Mahdi dikenalkan oleh 313 pemimpin lokal, angka yang sama dengan pasukan Badar, yang tersebar di seluruh dunia. Tentara Al-Mahdi adalah waliyullah yang menjadi jembatan pengenalan awam. Apakah Indonesia yang terdiri dari belasan ribu pulau, ratusan suku bangsa dan agama, teruji hidup rukun dan gotong royong, konon sebagai Atlantis, mirip surga dalam gambaran Alquran, kosong dari wakil Al-Mahdi?
Al-Mahdi muncul setelah semua orang melek teknologi informasi. Deklarasinya relatif mudah diterima semua orang secara bersamaan dalam waktu singkat. Tapi orang-orang tidak otomatis mengenalinya. Sebab algoritma tidak membuat pandangan pengguna gadget menjadi lebih luas dan bijak.
Kesimpulan
Pada masa lalu, sosok Juru Selamat, Ratu Adil, Imam Mahdi atau apa pun penamaannya, seringkali dibumbui dengan mitologi, buah dari psikologi kaum tertindas tentang oase di tengah gurun. Gerakan Ratu Adil selalu melawan kekuasaan yang ada yang dianggap zalim tapi tidak punya struktur permanen karena bergantung pada figur yang hadir vertikal dari kehendak Tuhan.
Konsep teologis ini ‘berseberangan’ dengan konteks sosiologis. Juru Selamat dipahami sebagai kemestian sistem keadilan global. Ia hadir untuk mengimplementasikan nilai-nilai universal. Sosok ini memiliki kapasitas untuk melawan sistem hegemonik global. Maka, Al-Mahdi dikenali dalam banyak status sosial politik, tidak didominasi oleh klaim teologis.
Pada akhirnya, semangat perlawanan terhadap oligarki demi membangun sistem yang adil dan beradab adalah tanggung jawab bersama. Kepercayaan kepada Imam Mahdi menguatkan dimensi spiritual. Ia juga memenuhi harapan kolektif kaum tertindas sedunia. Panjang umur perlawanan! Ya Mahdi, adrikna!
* ) Penulis adalah alumni HMI dan GMNI Cabang Bandung.