ICC Jakarta – Hak-hak manusia menurut Islam tidak hanya menyoroti masalah hak sosial dan kemanusiaan seorang insan, tapi juga mengangkat masalah kewajiban (taklif) dan tanggung jawab. Isu-isu ini termasuk masalah yang kurang mendapat perhatian dalam kajian hak asasi manusia produk Barat. Kemuliaan manusia menurut definisi Islam tidak hanya terletak pada kepemilikan hak-hak maksimal, tapi kebesaran manusia terletak pada penerimaan tanggung jawab dan pelaksanaan komitmen dan janji-janjinya. Sebab tanggung jawab dan tugas yang sesuai dengan kemampuan dan kapasitas manusia memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan dan kesempurnaan manusia itu sendiri.
Di era kekinian, para sosiolog dan pakar hukum telah banyak mengetengahkan masalah hak-hak manusia dalam berbagai kesempatan, namun kita sama sekali tidak menemukan kajian tentang hak untuk mengembangkan dan meningkatkan spiritual manusia dalam dokumen-dokumen Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal manusia yang memiliki kemampuan dalam bidang sains dan juga telah mencapai kemajuan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, dapat dan layak untuk mencapai puncak kesempurnaan dan keutamaan dalam bidang spiritual.
Imam Sajjad as ketika menjelaskan hak pertama yang ada pada pundak manusia, mengatakan, “Setelah hak Allah Swt sebagai hak yang paling besar, engkau adalah semata-mata hamba-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dalam menjalankan ibadah dan penghambaan. Saat engkau telah menjadi hamba yang ikhlas dan taat, maka Allah Swt akan mencukupkan dunia dan akhiratmu dan Dia akan menjaga hal-hal yang engkau cintai dari dunia dan akhirat ini untukmu.”
Jelas bahwa hak-hak Allah Swt atas hamba-Nya lebih besar dari yang kita gambarkan. Dalam perspektif al-Quran, nikmat Tuhan tidak dapat dikalkulasi dan juga manusia tidak akan mampu menunaikan karunia pemberian Allah Swt. Seorang penyair mengatakan, “Aku tidak mampu bertahan tanpa Engkau, Karunia-Mu tidak mampu aku hitung, Jika setiap helai bulu di tubuhku menjadi lisan, Aku tetap tidak mampu mensyukuri satu nikmat dari seribu nikmat yang Engkau anugerahkan.”
Karena itu, Imam Sajjad as menganggap sebagian hak-hak Allah Swt lebih utama dari seluruh hak lain dan kewajiban terbesar manusia terhadap Sang Pencipta adalah beribadah dan tidak menyekutukan-Nya. Syirik dan politeisme ibarat sarang laba-laba yang rapuh dan tidak memiliki pondasi dan orang-orang yang menyembah selain Allah Swt, pada dasarnya telah bersandar pada tumpuan yang rapuh dan keropos. Dalam pandangan al-Quran, barang siapa yang menyekutukan Allah Swt, maka ia telah kehilangan sandaran dan basis yang aman dan tengah melangkah cepat ke arah kehancuran.
Orang seperti ini seakan-akan tengah terjun bebas dari langit dan disambar oleh burung-burung di tengah perjalanan sebagai santapan mereka atau badai menerbangkannya ke tempat terasing. Dalam surat al-Haj ayat 31, Allah Swt berfirman, “Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”
Karena itu, orang musyrik akan menanggung kerugian yang besar. Akan tetapi tauhid dan penghambaan adalah pembersih hati dari kelalaian dan kebodohan. Tauhid mengajak kita memuji Sang Pencipta dengan lisan dan hati dan menyingkirkan jauh-jauh rasa cinta kepada selain Allah Swt dari lubuk hati kita. Jangan sampai kita lalai dari mengingat Allah Swt dan juga tidak mencari selain-Nya dalam bertindak dan beramal.
Hamba Allah Swt yang hakiki meyakini bahwa Sang Pencipta tidak ada sekutu dan serupa yang menyamai-Nya. Semua makhluk membutuhkan-Nya dan Dia tidak butuh terhadap segala sesuatu. Ia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ke arah manapun kita menatap, hanya wajah-Nya yang kita saksikan. Dunia adalah ciptaan-Nya dan berdiri kokoh atas kehendak-Nya.
Pada dasarnya Tuhan yang diperkenalkan oleh Islam adalah Sang Pencipta Yang Maha Pengatur dan Maha Bijaksana yang telah menciptakan cinta dan semangat dalam diri manusia. Keyakinan terhadap tauhid akan mengantarkan manusia ke puncak kesempurnaan dan derajat yang tinggi. Untuk itu, sangat layak Dia menjadi tumpuan dan harapan manusia. Oleh sebab itu, seruan pertama para Nabi terhadap umatnya adalah mengesakan Tuhan dan mengucap kalimat syahadat.
Pada masa sekarang, para ilmuan juga menyinggung poin tersebut, yaitu fitrah bertuhan dan kecenderungan kepada hal-hal yang sakral telah tertanam dalam naluri manusia. Jika manusia tidak menemukan Tuhan Yang Maha Esa, maka mereka akan mencari objek lain untuk disembah dan diangungkan. Imam Sajjad as mengingatkan bahwa rasa haus pengembaraan manusia mencari hakikat akan terobati ketika ia menemukan Tuhan dan melakukan penghambaan dengan tulus di hadapan-Nya. Saat itu, Sang Pencipta juga akan menjamin dunia dan akhirat hamba yang tulus tadi dan menjaganya dari kejelekan setan dan godaan hawa nafsu yang merusak.
Namun jika manusia lalai terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, pada dasarnya ia telah menghancurkan hakikat kemanusiaannya dan mendidik selain dirinya. Menyangkut masalah ini, Ustad Syahid Murtadha Muthahhari mengatakan, “Manusia yang mengira hakikat dirinya hanya terbatas pada jasad dan apa yang dikerjakan hanya untuk kepentingan raganya, maka ia telah melupakan dirinya sendiri dan menganggap orang lain sebagai dirinya.”
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Maulawi, “Ia ibarat seorang yang memiliki sepetak tanah dan dengan kerja keras, ia membangun rumah di atas tanah tersebut dan menghiasinya dengan permadani dan kain hias, namun pada saat ia ingin menempati rumah itu, tiba-tiba ia sadar telah membangun rumah di atas lahan milik orang lain, sementara tanah miliknya dibiarkan kosong dan tidak terawat.”