ICC Jakarta – Satu hal yang masih menjadi pertanyaan umum bagi masyarakat kala itu adalah pengakuan Imam Mahdi As sebagai pengganti Imam Hasan Al-‘Askari As, sementara ia masih anak balita yang masih berusia lima tahun?
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya (yaitu sesuai dengan petunjuk dan hidayah dari Allah Swt, Rasulullah Saw, serta para Imam Suci Ahlulbait Nabi Saw), bahwa Allah Swt akan menganugerahkan makam dan kedudukan imamah serta wilayah itu hanya kepada seseorang yang telah memenuhi syarat dan kriterianya. Dan hanya Allah-lah yang berhak untuk memberikan makam tersebut. Maksudnya adalah hanya Allah Swt yang mengangkat seseorang sebagai Imam. Sehingga tiada lagi kata tidak mungkin jika Allah sudah mengangkat dan menentukan seseorang untuk menjadi hujjah-Nya, entah itu ia masih berusia balita atau sudah tua.
Satu hal yang menakjubkan adalah bahwa kepemimpinan Ilahiah tersebut tidak pernah terputus, semenjak diciptakan manusia pertama kalinya (pemimpin pada saat itu adalah Nabi Adam as yang kemudian sampai kepada para Nabi-nabi setelahnya diantaranya Nabi Muhammad Saw) hingga akhir zaman kelak (para pemimpin pasca wafatnya Nabi akhir adalah para Imam Suci Ahlulbait As hingga diangkatnya Imam Mahdi As).
Salah seorang ilmuwan kontemporer, dalam berdalih bahwa pengangkatan Imam Mahdi As dikala usianya yang masih balita adalah sebuah peristiwa yang hak dan benar, mengatakan, “Seorang Imam yang semenjak kecil sudah sampai pada taraf sehingga layak menjadi pemimpin bagi seluruh manusia, baik dari sisi rohani dan logika dan Kaum Muslimin senantiasa meminta perlindungan darinya serta merasa membutuhkannya, maka secara otomatis, ia harus memiliki ilmu yang luas, mengetahui secara mendalam tentang ilmu Fikih, Tafsir, Akidah dan berbagai macam disiplin ilmu lainnya. Karena apabila tidak demikian, ia tidak akan mampu mengajak manusia untuk taat dan patuh kepada-Nya…”
Sekarang apabila kita asumsikan bahwa masyarakat kala itu tidak dapat mengetahui hakikat ini, maka bagaimana mungkin para penguasa waktu itu mampu membuat berbagai kekalutan dan keributan untuk menentang Imam?. Diam membisunya mereka, demikian juga bungkamnya sejarah menjadi saksi bahwa keimamahan pada masa balita merupakan sebuah peristiwa hakiki dan realitas, bukan sebuah cerita fiksi dan peristiwa buatan belaka[1].
(Dars Nameh Mahdawiyat II, Khuda Murad Salimiyan)
[1]. Sayid Muhammad Shadr Baqir, Just-e ju wa guft-u gu pirâmûn-e Imâm-e Mahdi, hal. 47-48.