ICC Jakarta – Salah satu tema penting yang berhubungan dengan Imam Mahdi As adalah masalah kehidupan pribadi beliau, apakah ia memiliki keluarga (istri dan anak) layaknya manusia lainnya ataukah tidak?
Beberapa pertanyaan tentang; “apakah Imam Mahdi As menikah ataukah tidak, apakah beliau memiliki anak ataukah tidak, dan apabila beliau memiliki anak, dimanakah anak tersebut hidup?” merupakan beberapa pertanyaan yang akan kita bahas dalam bab ini, sekalipun jawaban yang ada tentunya juga tidak akan sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa keghaiban Imam As merupakan sebab utama akan kurangnya riwayat-riwayat yang membahas tentang sisi-sisi kehidupan pribadi Imam Mahdi As.
Karena terbatasnya riwayat yang membahas tentang kehidupan pribadi Imam Mahdi As tersebut, maka kita hanya dapat sedikit membahas riwayat-riwayat yang ada tentang kehidupan pribadi Imam Mahdi As. Sekalipun riwayat-riwayat yang ada juga tidak lepas dari perselisihan antara yang satu dengan lainnya.
Terkait dengan hal ini, ulama’ syiah memiliki dua pendapat yang berbeda;
- Pandangan Pertama; Pembuktian tentang Istri dan Anak-anak
- Imam Mahdi As tidak menikah.[1]
Pandangan kedua; Imam Mahdi tidak Menikah
Pendapat ini juga bersandar kepada dua dalil utama;
- Menikah akan berkontradiksi dengan falsafah keghaiban.
- Adanya riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Mahdi As tidak menikah.
Dalil Pertama
Sesuai dengan pendapat penganut dali ini, apabila Imam Mahdi As menikah (bahkan keinginan untuk menikah saja), maka akan berkontradiksi dengan falsafah keghaiban. Karena salah satu falsafah keghaiban Imam As adalah demi menjaga keselamatan dirinya. Oleh karenanya, beliau harus jauh dan tidak nampak dari pandangan masyarakat dan tentunya tidak pantas bagi Imam Mahdi As untuk melakukan hal-hal yang berlawanan dengan falsafah keghaibannya. Sehingga, karena menikah adalah perkara yang bertolak belakang dengan falsafah keghaiban Imam, maka tidak mungkin bagi Imam As untuk menikah pada masa-masa keghaibannya.
Sekalipun pernikahan adalah satu perkara penting dan sangat dianjurkan (mustahab) , akan tetapi menjaga diri untuk senantiasa berada dalam keghaiban adalah lebih penting. Oleh karena itu, apabila terdapat dua hal yang jika dilihat dari satu adalah perkara penting (muhim) dan pada sisi lainnya adalah perkara lebih penting (aham), maka akal akan menyuruh kepada kita untuk memilih perkara yang lebih penting.
Dengan kata lain, maslahat yang ada pada keghaiban itu jauh lebih banyak ketimbang maslahat yang ada dalam pernikahan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa filsafat keghaibanlah yang menyebabkan Imam Mahdi As tidak menikah. Yang lebih penting dari itu semua adalah bahwa tidak menikahnya Imam Mahdi As tidak berlawanan dengan sunnah karena beliau tidak mengingkari akan sunnahnya pernikahan. Imam Mahdi As tidak berkesempatan untuk menikah karena harus memilih dan mengerjakan perkara yang lebih penting daripada pernikahan.
Dalil Kedua
Kelompok ini, selain memiliki dalil-dalil di atas juga memiliki dalil lainyang berasal dari riwayat. Beberapa riwayat itu diantaranya adalah;
- Dalam kitab Itsbât al-washiyah, Mas’udi mengatakan, “‘Ali bin Hamzah, Ibnu Siraj, dan Ibnu Abi Sa’id datang menemui Imam Ridha As. ‘Ali bin Hamzah kemudian mengangkat pembicaraan dengan mengatakan, “Kami mendengar dari ayah dan datukmu yang mengatakan bahwa ketika salah seorang Imam Suci As meninggal, maka seluruh kewajiban-kewajiban yang ada pada dirinya akan dialihkan kepada seorang Imam yang sama seperti dirinya.” Mendengar hal itu, Imam Ridha As menjawab, “Katakan kepadaku, apakah Husain bin Ali adalah seorang Imam ataukah bukan?” Ali bin Hamzah kemudian menjawab, “Ya, ia adalah seorang Imam.” Imam Ridha As lalu bertanya kepadanya, “Lalu siapakah yang menjadi pengganti dirinya?” Ali bin Hamzah menjawab, “Ali bin Husain.”
Dialog ini terus berlanjut hingga Ibnu Abi Hamzah berkata, “Kami mendengar sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Imam tidak akan meninggal sebelum ia melihat pengganti dan keturunannya.” Kemudian Imam Ridha As bersabda, “Apakah engkau tidak pernah mendengar riwayat lain selain riwayat itu?” Ia menjawab, “Tidak.” Imam Ridha As pun kemudian bersabda, “Ya, demi Allah! Hal itu benar adanya kecuali bagi Al-Qaim.” Mendengar hal itu, dengan sedikit tanda tanya, Ibnu Abi Hamzah kembali bertanya, “Apakah penggalan terakhir itu termasuk dalam kategori hadis (hal itu benar adanya kecuali bagi Al-Qaim)?” Imam Ridha As menjawab, “Celaka bagimu! Begaimana mungkin engkau berani melawanku atas apa yang engkau sendiri tidak mengetahuinya?[1]“
Selain Mas’udi, Al-Kasyi juga meriwayatkan hadis tersebut dalam kitabnya, Rijâl kasy[2]i.
Tentunya, riwayat itu tidak hanya menjelaskan bahwa Imam Mahdi As tidak memiliki anak dan istri terbatas pada masa-masa keghaiban Imam As saja. Akan tetapi, riwayat tersebut menunjukkan bahwa Imam Mahdi As selamanya juga tidak akan memiliki anak dan keturunan.
- Dalam kitab Al-Ghaibah, Syaikh Thusi juga menulis riwayat yang serupa dengan riwayat itu. Redaksi riwayat tersebut adalah: “Hasan bin Ali Al-Khazaz berkata, “Ali bin Abi Hamzah datang menemui Imam Ridha As seraya bertaya, “Apakah engkau adalah Imam?” Imam menjawab, “Ya.” Ali bin Abi Hamzah kemudian berkata, “Aku mendengar dari kakekmu, Ja’far bin Muhammad yang mengatakan bahwa tidak ada seorang Imam pun yang tidak memiliki anak.” Mendengar hal itu, Imam Ridha As berkata, “Engkau lupa ataukah pura-pura lupa? Sungguh, beliau tidak mengatakan sebagaimana yang engkau katakan tadi. Akan tetapi, beliau berkata, “Lâ yakûnu al-imâmu illâ wa lahû ‘aqibun illâ al-imâm alladzi yakhruju ‘alaihi al-Husain ibnu ‘Ali. Fa innahû lâ ‘aqiba lah[3] (Tidak ada seorang Imam pun yang tidak memiliki anak kecuali seorang Imam yang Husain bin ‘Ali akan keluar (raj’at) pada masanya. Sesungguhnya ia tidak akan memiliki anak).” Mendengar hal itu Ali bin Abi Hamzah kemudian berkata, “Ya, engkau berkata benar. Begitulah kakekmu berkata!”
Pada dasarnya kedua riwayat itu sudah dapat dijadikan dalil bahwa Imam Mahdi As tidak menikah dan tidak memiliki keturunan.
- Ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa keberadaan Nabi Khidhir membuat rasa kesendirian Imam Mahdi As menjadi hilang. Sementara itu, sekalipun misalnya Imam Mahdi As memiliki anak dan istri, maka tentunya beliau tidak akan membutuhkan kepada merekak arena beliau tidak akan membutuhkan seseorang sebagai pengawal yang senantiasa mendampinginya kemana saja ia pergi.
Imam Ridha As bersabda, “Sesungguhnya Khidhir mampu hidup lama karena ia meminum air kehidupan (syariba min mâ’ al-hayah). Lantaran Khidhir-lah, Allah Swt akan melipur hati Al-Qaim pada masa-masa keghaibannya dan karena keberadaannya, menjadikan Al-Qaim tidak merasa sendiri lagi.
- Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa diantara laqab atau gelar yang diberikan untuk Imam Mahdi As adalah Al-Farîd (sendiri) dan Al-Wahîd (seorang). Dimana, kedua gelar tersebut akan sangat berlawanan apabila kita katakan bahwa Imam Mahdi As memiliki anak dan istri[4].
- Dalam sebagian riwayat juga disebutkan bahwa jumlah duta dan pembantu Imam Mahdi As di masa-masa keghaibannya itu hanyalah terdiri dari 30 orang. Dan mereka semua adalah para pengikut setia Imam As.
Terkait dengan hal ini, Imam Shadiq As bersabda, “Lâbudda li shâhib-i hâdza al-amr-I min ghaibat-in wa lâbudda lahû fi ghaibatihi min ‘uzlat-in wa ni’ma al-manzil-u thaibat-un wa mâ bi tsalatsîn min wwahsyat-in[5] (Imam Mahdi As haruslah ghaib. Pada masa-masa keghaiban, ia juga terpaksa harus menjauh dari masyarakat. Sebaik-baik rumah adalah Taibah (Madinah). Ketika ia bersama dengan tiga puluh orang, maka ketakutannya akan hilang).”
Terkait tentang apakah mungkin Imam Mahdi As memiliki seorang anak dan istri, Al-‘Allamah Muhammad Taqi Syusytari mengatakan, “Kita harus katakan bahwa tidak ada satu riwayat pun yang menyatakan bahwa sebelum masa zhuhur, Imam Mahdi As memiliki anak. Adapun setelah masa zhuhur, terdapat perbedaan apakah beliau memiliki anak ataukah tidak.[6]”
Dengan memperhatikan syarat-syarat yang ada pada masa keghaiban shughra, yang hanya berlangsung selama 70 tahun saja kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Imam Mahdi As tidak menikah, lalu bagaimana mungkin beliau akan menikah pada masa ghaibah kubra yang tentunya memiliki syarat-syarat yang lebih berat daripada syarat-syarat yang ada pada masa ghaibah shughra. Selain itu, para duta khusus Imam As juga tidak pernah menyinggung sedikit pun tentang hal itu (pernikahan Imam As). Oleh karena itu, maka pandangan yang mengatakan bahwa Imam Mahdi As tidak memiliki anak dan istri merupakan pandangan yang lebih benar adanya. Wallahu a’lam-u bi al-shawwâb.
Berkaitan dengan pendapat seseorang yang mengatakan bahwa tidak seharusnya bagi kita membahas pembahasan-pembahasan tersebut, maka hal ini disebabkan karena pembahasan seperti ini selamanya tidak akan pernah tuntas. Mereka beranggapan bahwa Imam Mahdi As mau menikah ataukah tidak, maka sama saja bagi mereka, tidak akan mempengaruhi keyakinan mereka terhadap keimamahannya. Hal itu karena tema-tema semacam ini, disamping merupakan perkara-perkara pribadi Imam Mahdi As juga tidak akan banyak disebutkan dalam riwayat-riwayat. Bahkan, Imam Hasan ‘Askari As juga tidak pernah berbicara tentang pernikahan anaknya (Imam Mahdi As), apakah ia menikah dan memiliki anak ataukah tidak.
Sebagai jawaban dari pendapat tersebut, kita dapat katakan bahwa sekalipun perkara-perkara tersebut itu menyangkut kepada pribadi Imam Mahdi As itu sendiri, dimana mengetahui atau tidak mengetahuinya itu tidak akan mempengaruhi kehidupan kita sama sekali, akan tetapi kita yakin bahwa para Imam Suci Ahlulbait bukanlah orang-orang biasa seperti kita. Maka tidak ada salahnya apabila kita sedikit membahas tentang sisi-sisi kehidupan pribadi beliau ini (terutama masalah nikah).
Oleh karena itu, tidak ada larangan untuk mempelajari kehidupan pribadi Imam Mahdi As. Tentunya, dengan kondisi yang dialami oleh Imam Mahdi As (yaitu beliau harus ghaib) tersebut, maka secara otomatis kita juga tidak akan dapat mengetahui sisi-sisi kehidupan beliau secara lengkap. Sehingga, kitapun hanya menyukupkan pembahasan itu sebatas kepada riwayat-riwayat dari ulama’ yang telah menyinggung tentang sisi-sisi kehidupan pribadi beliau.[] Dars Nameh Mahdawiyat II, Khuda Murad Salimiyan)
Daftar Pustaka
[1]. Ali bin Husain Mas’udi, Itsbât al-Washiyah, Qum, Muassasah Anshariyan, 1417 HQ, hal. 208.
[2]. Muhammad bin Umar Kasyi, Rijâl Kasyi, Masyhad, Danesygah Masyhad, 1348 HS, hal. 465.
[3]. Muhammad Hasan Thusi, Kitâb al-Ghaibah, Qum, Muassasah Ma’arif Islami, 1411 HQ, hal. 224.
[4]. Ibid, bab 26, hadis 13.
[5]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Kâfi, Teheran, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1365 HS, jil. 1, hal. 340, hadis 16; Muhammad Hasan Thusi, Kitâb al-Ghaibah, Qum, Muassasah Ma’arif Islami, 1411 HQ, hal. 162; Muhammad bin Ibrahim Nu’mani, Al-Ghaibah, Teheran, Maktabah Al-Shaduq, 1397 HQ, hal. 188.
[6]. Muhammad Taqi Syusytari dkk, Jazîreh-ye Khadhra’ Ajfaneh ya Waqe’eyat?, Terjemah wa Taiq Abul Fadhl, Tariqeh Dar, Bustan-e Kitab, 1380 HS, hal. 226.