ICC Jakarta – Islam selain mengajak manusia supaya memberi perhatian besar pada spritual dan akhirat, namun juga harus memperhatikan nasib di dunia. Dengan ungkapan lain, Islam tidak menafikan kebahagiaan dunia dan akhirat. Menurut agama Islam, kebahagiaan dunia dan akhirat tidaklah bertentangan, sehingga keduanya harus seimbang. Al-Quran dalam surat Qishash ayat 77 menyebutkan,
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari kenikmatan duniawi…” Imam Jafar Shadiq as, salah satu cucu Rasulullah Saw, juga berkata, “Jika seseorang meninggalkan dunia untuk akherat dan melupakan akherat untuk dunia, maka ia bukanlah dari golonganku.”
Salah satu problema utama dunia saat ini adalah sikap berlebihan (ekstrim kanan dan kiri) dalam hubungan antarmanusia. Saat ini, hubungan seks bebas di Barat menimbulkan gelombang kekhawatiran luar biasa bagi para cendekiawan dan pemikir. Di masa lalu, hubungan seks antara laki-laki dan perempuan di Barat disikapi secara ekstrim kiri. Para penguasa gereja saat itu menilai hubungn seks antara laki-laki dan perempuan sebagai hal yang tabu dan perbuatan setan. Untuk itu, para pendeta tidak diperbolehkan menikah. Namun Islam mempunyai pandangan netral dalam hal ini. Islam menilai hubungan seks sebagai naluri alam pada diri manusia yang sangat dibutuhkan untuk menyambung generasi selanjutnya. Namun hubungan ini harus dikontrol dan diatur dalam bentuk pernikahan, sehingga tidak menimbulkan kerusakan di tengah masyarakat. Berlandaskan hal ini, Rasulullah Saw menyebut pernikahan sebagai sunah Rasulullah Saw dan senantiasa mendorong ummatnya untuk menikah sehingga tidak berimbas negatif pada tatanan sosial.
Salah satu masalah penting lainnya dalam sejarah manusia adalah perang dan konflik antarkelompok dan etnis. Sejumlah ideologi dan aliran filsafat menjustifikasi perang dan kekuasaan dalam kerangka analisa panjang. Pada saat yang sama, Nazisme, Zionisme dan Imprealisme telah melahirkan sederet tragedi kemanusiaan. Ada juga sejumlah agama yang menjadi pendukung perdamaian dan kasih sayang, bahkan tetap mendorong bersikap lembut di hadapan para penindas. Namun agama Islam sebagai agama tengah dan netral, mengajak manusia menyelesaikan berbagai masalah dengan cara damai.
Dalam al-Quran disebutkan bahwa semua agama ilahi mengajak perdamaian dan kemufakatan pada sisi-sisi yang sama. Meski demikian, Islam tidak dapat menerima kezaliman dan penindasan dan mengajak ummatnya untuk menghadapi segala bentuk penindasan dan kezaliman. Kalaupun harus berperang, Islam pun menentukan batasan-batasan sehingga dapat menekan perluasan konfrontasi. Dengan demikian, Islam tetap menghendaki keseimbangan dan netralitas meski dalam keadaan perang. Al-Quran dalam surat al-Baqarah, ayat 194 menyebutkan, “Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang harus dihormati berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu, barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadapmu, Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.“
Meski Islam pada prinsipnya merupakan agama yang rasional dan adil, tapi agama ini di Barat berupaya dikesankan setara dengan radikalisme. Hampir setiap hari, Barat dalam berbagai propagandanya berusaha mengesankan wajah ummat Islam yang radikal dan fanatis. Bahkan mereka mencontohkan kelompok-kelompok radikal Islam seperti al-Qaeda yang menggambarkan keangkeran agama Islam. Padahal kelompok-kelompok itu baik secara langsung maupun tidak langsung, merupakan buatan kekuatan-kekuatan Barat dan mendapat dukungan dari mereka. Selain itu, tindakan irasional sekelompok muslim tidak dapat dijadikan alasan menyebut Islam sebagai agama radikal. Tak diragukan lagi, fakta yang sebenarnya dapat digali dari sumber atau ajaran agama itu sendiri, bukan perilaku oknum.
Pada intinya, Islam berpandangan bahwa jalan kebahagiaan dan hidayah tidak dapat ditempuh manusia tanpa bersikap adil. Sebab, ketidakadilan dan ketidakseimbangan menyebabkan manusia keluar dari jalur utama. Umat tengah seperti yang disinggung al-Quran dapat terealisasi dengan sikap seimbang dan lembut. Sejarah menunjukkan bahwa umat Islam dapat mencapai peradaban yang cemerlang di saat ada keseimbangan antara teori dan praktik. Jika ummat Islam sadar dan jauh dari radikalisme, peradaban Islam akan mencapai titik kecemerlangan.[]