ICC Jakarta – Dalam studi pengantar hadis dikenal dengan istilah kriteria-kriteria hadis lemah untuk membedakannya dengan hadis-hadis yang sahih. Sebagian hal-hal yang menyebabkan hadis menjadi lemah adalah: 1. lemahnya sanad atau tidak adanya sanad. 2. Terputusnya rantai sanad 3. Bertentangan dengan al-Quran 4. Bertentangan dengan akal 5. Bertentangan dengan riwayat-riwayat mutawatir 6. Bertentangan dengan fakta-fakta sejarah 7. Mengalami distorsi. Pada kesempatan ini kita akan mengkaji ketiga kriteria tersebut.
1. Perawi tidak dikenal
Sebagian Apabila sebagian perawi atau bahkan jika hanya salah seorang perawi yang ada pada silsilah sanad tidak kita kenal atau menurut seorang peneliti dan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah diterima, tidak dapat dipercaya[1] maka, keseluruhan sanad tersebut pada dasarnya telah cacat dan tidak dapat dipercaya karena adanya kecacatan yang berkembang. Dengan menggunaan kaedah-kaedah yang ada pada ilmu Rijal, pengenalan nama-nama perawi yang sama dapat diselesaikan.
Dikatakan bahwa kadang-kadang nama perawi dipaparkan sedemikian sehingga dalam pandangan pertama ia tidak dapat dikenali. Dalam keadaan ini, apabila kita dapat mengenali nama perawi, baik nama asli maupun nama masyhurnya, maka kita akan dapat menentukan perawinya dan jika tidak, maka hadis itu akan menjadi hadis yang lemah. Sebagai contoh: Abu Ahmad Izadi dalam sanad sangat sedikit digunakan, padahal nama itu adalah julukan bagi Muhammad bin Abi Umair yang merupakan perawi paling terkenal dan paling dipercaya dalam Syiah.[2]
Kadang-kadang juga perawi secara sengaja menggambarkan seseorang sebagai perawi yang tidak dikenal sehingga sanad yang lemah dinilai menjadi kuat dan sebaliknya. Para ulama Dirayah dalam pembahasan tadlis (kekurangan dan kelemahan sanad hadis yang disembunyikan) telah mengisyaratkan tentang pembahasan ini dan juga menjelaskan akibat-akibat dan ahkam-ahkamnya.[3]
2. Sanad yang terputus
Dalam pengetahuan tentang hadis, sanad yang terputus atau disebut dengan munqathi’ dibagi menjadi dua bagian: Am (umum) dan hash (khusus). Dalam tingkatan umum, terputusnya sanad sangat mungkin dalam bentuk yang bermacam-macam, boleh jadi pada awalnya sanad tidak ada namun pada akhirnya ada, atau boleh jadi satu atau beberapa orang secara berurutan tidak ada sanadnya. Untuk sebagian bentuk, ada nama khusunya tersendiri, namun bentuk umum yang meliputi berbagai bentuk, yang hanya meliputi hanya adanya terputusnya sanad tanpa memperhatikan bagaimana dan tempatnya dimana. Jika hal ini terjadi, semua jenis hadis dalam silsilah sanad maka akan terputus, apakah mereka disebut dengan nama-nama khusus seperti mu’allaq ataukah mereka tidak memiliki nama khusus, dan hanya disebut bahwa sanadnya telah terputus.[4]
Dikatakan bahwa sanad dapat terputus melalui dua bentuk:
- Perawi terhapus dari silsilah sanad. Seperti sanad: Ali bin Ibrahim dari ayahnya dari Hamad bin Isa dari Zurarah dari Imam Shdiq As dengan sanad dari seorang perawi yang terhapus, misalnya Hamad, melaporkan bahwa: Ali bin Ibrahim dari ayahnya dari Imam Shadiq As.
- Sanad dari perawi dengan nama-nama mubham (samar) seperti penyebutan rajul, ba’dhi ashabah seperti sanad diatas dengan laporan: Ali bin Ibrahim dari ayahnya dari sebagian kaum Syiah dari Zurarah dari Imam Shadiq, jika dalam bentuk demikian, tidak ada bedanya antara menghapus atau menuliskan perawi (Hamad) karena penyebutan perawi dilakukan secara mubham (samar). Kecuali jika pemotongan sanad pada keadaan kedua secara jelas tepat namun pemberitahuan darinya dalam bentuk yang pertama hanya mungkin bagi seseorang yang memiliki pengetahuan tentang riwayat-riwayat.[5]
Kami ingatkan bahwa sebagian ahli hadis, menggunakan kata-kata seperti “iddah min ashabuna” (sebagian dari Syiah kami), namun yang dimaksud adalah orang-orang tertentu. Oleh itu, hukum perawi tersebut adalah jelas, bukan samar.[6]
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, harus dikatakan bahwa silsilah perawi jika sebuah riwayat memiliki jarak antara dua generasi atau lebih dan dalam bentuk hubungan antara guru dan murid. Setiap kali jarak silsilah menjadi luas, atau terjadi perpindahan diantara mereka, maka akan terjadi keraguan akan kebenaran dan keterkaitan silsilah suatu hadis. Keraguan ini berdasar kemungkinan adanya silsilah yang tidak diketahui penulis atau kesalahan perawi sehingga sebuah hadis dinilai menjadi hadis yang lemah.[7]
3. Bertentangan dengan al-Quran
Salah satu cara untuk mengetahui kelemahan atau kekuatan kandungan teks hadis adalah ayat-ayat al-Quran. Oleh itu, apabila sebuah riwayat bertentangan dengan ajaran-ajaran al-Quran maka akan menyebabkan riwayat menjadi lemah.[8] Kaedah ini telah dijelaskan dalam berbagai riwayat. Kadang-kadang dijelaskan bahwa jika ada hadis yang bertentangan dengan al-Quran, maka kesampingkan hadis itu dan pada waktu yang lain dengan redaksi terimalah apa-apa yang sesuai dengan al-Quran.[9] Pertanyaan penting disini adalah apakah yang dimaksud dengan bertentangan dan bersesuaian? Apakah standar bentuk-bentuk pertentangan dan kesesuaian tersebut? Hal itu semua telah dibahas dalam Ushul Fiqih secara detail.[10] Disini tidak ada kesempatan untuk mendiskusikannya.[]
[1] Sebagai contoh: Apabila kita menganggap adanya perawi selain Imamiyyah, akan menyebabkan lemahnya sanad dan ilmu rijal mengatakan bahwa perawi yang bukan berawal dari Imamiyyah, maka hadis itu menjadi hadis yang sanadnya lemah.
[2] Silahkan lihat: Najasyi, Ahmad bin Ali, Fehrest Asmā Munshafi al-Syiah (Rijāl Najasyi), hal. 326, Qum, Daftar Intisyarat Islami, cet. 6, 1365 S. Terdapat pula keadaan dan hal-hal mirip lainnya seperti Abu Ja’far bagi Ahmad bin Muhammad bin Isa, Syaikh Qumiyan yang kadang-kadang tidak dikenal dan kadang-kadang keliru antara Imam Jawad As dan Imam Baqir As.
[3] Motif-motif adanya tadlis sangatlah banyak. Salah satunya adalah tidak dapat mengungkap perawi yang lemah dalam sanad. Motif lain adalah disembunyikannya silsilah sanad yang cacat yang merupakan bagian dari kecacatan sanad. Silahkan lihat: Nafisi, Syadi, Dirāyah al-Hadis, hal. 183-188, Tehran, Semat wa Danesygah, Ulum Hadis, 1386 S; Mas’udi, Abdul Hadi, Asib Syenāth Hadis, hal. 184, Qum, Intisyarat Zair, cet. 1, 1389.
[4] Asib Syenākht Hadis, hal. 149.
[5] Silahkan lihat: Ibid, hal. 149; Dirāyah al-Hadis, hal. 164.
[6] Silahkan lihat: Apakah yang dimaksud dengan Musyakhakh wa Idah min Ashbabina? Pertanyaan 49123
[7] Asib Syenāht Hadis, hal. 149-53.
[8] Silahkan lihat: “Tasykhisy wa Tamiz Ahadits Sahih” Pertanyaan 1937.
[9] Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, Al-Kāfi, jil. 1, hal. 69-71, Tehran, Dar al-Kitab al-Islamiyah, cet. Ke-4, 1407 H.
[10] Silahkan lihat: Khui, Sayid Abul Qasim, Mishbāh al-Ushul, Wa’idh Husaini Behbudi, Sayyid Muhammad Surur, jil. 3. Hal. 407, Qum, Maktabah al-Dawari, 1422 H, Shadr, Sayyid Muhammad Baqir, Ta’arudh al-Adillah al-Syar’iyyah, Hasyimi, Sayid Mahmud, hal. 315, 318, 324, 349, Beirut, Darul al-Kitab al-Lubnani, 1975, Khurasani, Muhammad Kadhim, Kifāyah al-Ushul, hal. 444-445, Qum, Muasasah al-Nasyar al-Islami, 1422 H.