ICC Jakarta – Kita tidak dapat menjangkau seluruh makna arba’în. Kita tidak tahu persis mengapa angka 40 hari itu yang dipilih; bukan 30, bukan 20, bukan juga 100. Tapi yang jelas angka 40 disebut di dalam Alquran sebanyak empat kali. Nabi Musa as. tadinya dijanjikan untuk “bertemu” dengan Allah, tapi kemudian Allah menyempurnakannya: “…Maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam” (QS. Al-A’râf [7] : 142). Seorang manusia oleh Alquran juga dinyatakan mencapai kesempurnaannya. Hatta idzâ balagha asyuddahu wa balagha arba’în sannah (QS. Al-Ahqâf [46] : 15). Bani Israil disebutkan bahwa mereka dihukum Tuhan tersesat selama 40 tahun.
Dalam hadis-hadis pun kita temukan angka 40 itu. Sekian banyak ulama, baik dari mazhab apapun, mengakui sabda nabi yang menyatakan, “Barang siapa yang menghafal 40 hadis dan memeliharanya, ia akan dibangkitkan kelak dalam kelompok orang-orang alim.” Karena itu dari kalang suni misalnya, kita menemukan Imam Nawawi menyusun Al-Arba’în An-Nawawiah. Dalam kalangan Syiah kontemporer Imam Khomeini menulis 40 hadis pilihan.
Kita menemukan di dalam hadis misalnya, ada hadis yang menyatakan “Barang siapa yang salat 40 kali—dalam riwayat lain 40 hari—di Madinah Rasul, maka ia terbebas dari kemunafikan.” Kita menemukan misalnya dalam hukum, 2,5% zakat harta atau 1 bagi setiap 40 ekor binatang; juga menggunakan angka 40. Kelihatannya 40 ini adalah angka kesempurnaan. Jika demikian kalau kita memperingati tokoh yang telah berlalu, yang kita ingin teladani pada masa keempatpuluhnya, maka sebenarnya salah satu yang diharapkan adalah kesempurnaan keteladan kita kepada beliau.
Hal kedua yang ingin saya garis bawahi adalah bahwa Allah Swt. memerintahkan kita untuk merenung. Berulang-ulang dalam Alquran, tidak kurang 200 kali, kata “merenung” atau “mengingat” terulang di dalamnya. Banyak hal yang perlu direnungkan. Sejak dulu misalnya, Allah berpesan kepada Nabi Musa agar mengingatkan kaummya: “Wa dzakkirhum bi ayyâmillâh. Ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah” (QS. Ibrâhîm [14] : 5), maka kita dapat berkata, bahwa salah satu hari Allah adalah hari gugurnya Sayidina Husain.
Saya terkadang berpikir, kalau unta atau sapi dijadikan Allah min sya’âirillâh (bagian dari syiar-syiar Allah), maka apakah tokoh tidak dapat menjadi salah satu dari sya’âirillâh? Kalau Kakbah, al-hadya, al-qalâid (binatang yang dibawa ke Kakbah untuk disembelih saat haji), semua dinamai Allah sebagai sya’âirillâh, maka heran rasanya kalau ada tokoh, baik yang disebut di dalam Alquran maupun yang tidak, selama dia tokoh, heran kalau dia tidak dapat dinilai sebagai salah satu dari sya’âirillâh.
Seperti kita baca dalam Alquran: “Barang siapa yang mengagungkan sya’âirillâh (syiar-syiar Allah) maka sesungguhnya itu adalah tanda ketakwaan dari hati” (QS. Al-Hajj [22] : 32). Itu sebabnya kita merayakan maulid nabi, itu sebabnya kita mengagungkan tokoh-tokoh. Itu sebabnya sebagaimana kita bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad, sebagaimana kita menyambut tokoh-tokoh yang kita agungkan, kita pun wajar bersedih dalam batas-batas yang dibenarkan agama, dengan kepergian siapa yang mesti kita cintai.
Syi’âr – sya’âir – sya’irah seakar dengan kata syu’ûr, rasa. Setiap yang menjadi syiar mesti menimbulkan rasa. Ketika pada hari Idul Adha misalnya, kita melihat kambing, domba atau sapi yang dijadikan syiar oleh Allah, maka ketika itu dia tidak menjadi syiar kalau dia tidak menjadi tanda kebesaran Allah dan tidak timbul di dalam hati Anda rasa kekaguman akan kebesaran Allah. Ketika kita menjadikan seorang tokoh sebagai syiar, maka harus timbul rasa di dalam hati Anda. Rasa hormat, rasa kagum dan boleh jadi rasa menyesal kenapa kita tidak hidup pada masa beliau (Imam Husain) dan ikut berjuang bersama beliau.
Hal ketiga yang ingin saya kemukakan, mengapa kita mengagungkan Sayidina Husain? Tentu akan sangat panjang uraian kalau kita berbicara tentang beliau. Kita hanya bisa menunjuk dengan jari telunjuk; kita tidak dapat merangkul semua dari keistimewaan beliau. Kata orang menunjuk ke suatu gunung yang tinggi terkadang lebih mampu untuk menggambarkannya dari pada usaha kedua lengan untuk merangkul dunia ini. Kita hanya ingin menunjuk dan menyinggung sedikit dari banyak yang diakui oleh seluruh muslim, apapun mazhabnya baik suni atau Syiah, dan yang terdapat dalam semua kitab menyangkut Sayidina Husain.
Pertama, beliau dan Sayidina Hasan adalah Sayyid Syabâb Ahli Jannah (Pemimpin Pemuda Penghuni Surga). Semua mengakui. Ada hal yang menarik dari dua sosok agung ini. Sepintas terlihat bahwa kepribadiannya bertolak belakang. Sayidina Hasan mau damai, Sayidina Husain revolusioner. Kelihatannya bertolak belakang, tapi sebenarnya tidak bertolak belakang. Semua bersumber dari didikan ayah beliau, Sayidina Ali bin Abi Thalib, dan semua yang dari Imam Ali bersumber dari Rasulullah saw. Semua diajarkan untuk membela agama dan mempertahankannya sambil melihat kondisi yang sedang dialami.
Kondisi yang dihadapi oleh Imam Hasan sudah berbeda dengan kondisi yang dialami oleh Imam Husain. Ketika masa Sayidina Hasan diperlukan kedamaian yang bersyarat. Tetapi ketika kedamaian yang bersyarat itu ternodai, situasi berubah dan tampillah Sayidina Husain. Ketika Sayidina Hasan “bersedia” menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah itu menunjukkan bahwa beliau tidak pernah berpikir untuk suatu kekuasaan. Kalau begitu, ketika Sayidina Husain bersedia gugur walau dengan memberi pilihan kepada pengikutnya untuk mundur ketika dikepung, beliau juga dalam perjuangannya bukan menuntut kekuasaan. Yang beliau inginkan ketika itu adalah syu’ûr, rasa, kepekaan terhadap ajaran agama dan nilai-nilainya. Yang beliau inginkan ketika itu adalah tumbuh suburnya ajaran ini yang sejak masa ayah beliau sudah mulai menjauh dari nilai-nilai yang diajarkan rasul. Bahwa beliau tidak menghendaki kekuasaan itu sebenarnya adalah ajaran Sayidina Ali.
Abbas Al-Aqqad, seorang ulama Mesir yang diakui otoritas keilmuannya, menulis dalam buku Abqarîyat ‘Ali bahwa kendati Sayidina Ali merasa bahwa beliau wajar untuk menjadi khalifah setelah Rasul, tetapi beliau tidak ingin menuntut itu sebelum umat menyerahkannya kepada beliau. Ditulis oleh ulama-ulama Syiah, salah satunya di dalam buku Ashlu Syî’ah wa Ushulihâ, bahwa Sayidina Ali menerima kepemimpinan Sayidina Abu Bakar dan Umar, kepimpinan dalam urusan kenegaraan karena beliau melihat bahwa apa yang dilakukannya sudah sesuai dengan jalan Rasulullah. Walaupun dalam buku itu dikatakan beliau tidak menyerahkan soal imamah keagamaan. Sekali lagi saya ingin katakan, ketika Sayidina Hasan, Sayidina Husain dan sebelumnya Sayidina Ali, beliau tidak pernah berpikir untuk duduk sebagai penguasa. Inilah suatu ajaran yang perlu kita camkan sekarang ini.
Hal terakhir yang saya ingin kemukakan dalam konteks berbicara tentang Imam Husain adalah bahwa beliau, menurut nabi saw., adalah Sayyîd Asy-Syuhadâ, penghulu, tokoh yang terutama dari para syuhada. Saya tidak ingin membatasi pengertian syuhada itu hanya dalam arti orang yang gugur membela agama. Syuhada adalah bentuk jamak dari syahîd. Syahid itu kata yang patronnya bisa berarti objek dan bisa berarti subjek. Syahâdah adalah kesaksian. Kalau dia berarti subjek maka syahîd berarti yang menyaksikan, kalau dia berarti objek berarti bahwa beliau yang disaksikan.
Keguguran dan darah yang terpancar memang menjadi saksi akan ketulusan perjuangan beliau. Tapi karena kita tidak ingin membatasi arti syahadah hanya pada pengertian gugur di medan juang, itu juga berarti ketika kita menjadikan beliau sebagai syahîd (yang disaksikan), berarti kita ikut menyaksikan dihadapan Allah berdasarkan pada pengetahuan kita bahwa beliau tokoh dan di sisi lain kita menyaksikan beliau sebagai teladan kita dalam hidup. Itu sebabnya dalam Quran disebutkan: “Wa kadzâlika ja’alnâkum ummatan wasatha litakûnû syuhadâ ‘alâ an-nâs wa yakûna ar-rasûl ‘alaikum syahîda. Dan Kami telah menjadikan kalian umat pertengahan agar kamu menjadi saksi-saksi atas manusia, sedang rasul adalah saksi kalian (QS. Al-Baqarah [2] : 143)
Ketika Rasul menyatakan bahwa Imam Husain adalah Sayyîd Asy-Syuhadâ, maka jangan batasi pengertian itu hanya pada keguguran beliau, tapi jadikanlah beliau teladan dalam segala apa yang beliau lakukan. Beliau berjuang, beliau mengorbakan jiwa raga untuk nilai-nilai agar dapat lebih dirasakan oleh umat. Itu sebabnya beliau adalah Sayyîd Asy-Syuhadâ. Mudah-mudahan kita dapat mengambil sedikit teladan dari apa yang telah dipersembahkan Sayyîd Asy-Syuhadâ. Sekali lagi kita kagum, kita mengagungkan beliau, kita tidak perlu berkata bahwa perjuangan beliau gagal, tapi justru perjuangan beliau amat berhasil, jauh lebih berhasil dibanding kalau beliau tidak gugur.
Mengapa saya berkata begitu? Karena kita tidak pernah berkata bahwa hidup ini hanya di dunia; kita berkata hidup di dunia ini adalah perjuangan sepanjang masa. Kita perlu teladan-teladan yang baik, dan keteladan Imam Husain itu berlanjut hingga sekarang. Itu sebabnya tadi dikatakan sampai sekarang masih jutaan orang berkunjung ke Karbala. Sampai sekarang saya tahu persis di Mesir, Masjid Imam Husain itu dikunjungi orang; yang berkunjung bukan hanya orang Syiah tapi juga suni yang mengelilingi bagaikan bertawaf di sana. Mengagungkan Imam Husain karena perjuangannya sehingga kita dapat berkata, “Siapa yang tidak mengagungkan beliau (Imam Husain) maka diragukan keimanannya.” Aqûlu qauli hadzâ wastaghfirullâh lî walakum.
Sumber: Ceramah disampaikan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam acara Peringatan Arbain Imam Husain di Islamic Cultural Center, Jakarta, pada tanggal 16 Februari 2009 (20 Safar 1430 H).
Pentranskrip: Ali Reza Aljufri © 2009