ICC Jakarta – Ungkapan tartil, “Warattil al-Qur’an tartila”[1] yang aslinya bermakna “tanzhim” dan “tartib mauzun” di sini bermakna membaca ayat-ayat al-Qur’an secara perlahan dan irama yang diperlukan, mengucapkan huruf-hurufnya dengan benar, menjelaskan kalimat-kalimatnya, mencermati dan memikirkan makna-makna ayat-ayat dan berkontemplasi pada hasil-hasilnya.
Jelas bahwa membaca al-Qur’an seperti ini dapat berpengaruh secara signifikan pada perkembangan spiritual, moral, dan ketakwaan seorang manusia.[2]
Imam Shadiq As ditanya ihwal apa maksud ayat “Warattil al-Qur’an tartila?” Beliau bersabda, “Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As bersabda, “Maksudnya adalah bahwa kalian memabaca al-Qur’an dengan jelas dan penuh perhitungan, bukan seperti syair dan juga bukan seperti melemparkan segenggam pasir (yang dilemparkan akan bertaburan ke sana ke mari), melainkan lembutkanlah hati-hati kalian dengannya dan jangan membaca al-Qur’an sehingga cepat sampai pada akhir surah.”[3]
Karena itu yang dimaksud dengan membaca al-Qu’ran dengan tartil bukan semata-mata tartil yang dikenal secara terminologis yang umumnya dilakukan oleh para pembaca al-Qur’an, melainkan lebih banyak mencakup metode-metode bacaan yang mentradisi. [iQuest]
[1]. “Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (Qs. Al-Muzammil [73]:4)
[2]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 25, hal. 167, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.
[3]. Kulaini, al-Kafi, jil. 2, hal. 614, Hadis 1, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سُلَيْمَانَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ (ع) عَنْ قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ رَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا قَالَ قَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ (ع) بَيِّنْهُ تِبْيَاناً وَ لَا تَهُذَّهُ هَذَّ الشِّعْرِ وَ لَا تَنْثُرْهُ نَثْرَ الرَّمْلِ وَ لَكِنْ أَفْزِعُوا قُلُوبَكُمُ الْقَاسِيَةَ وَ لَا يَكُنْ هَمُّ أَحَدِكُمْ آخِرَ السُّورَةِ”.