ICC Jakarta – Islam adalah agama pemersatu, agama yang telah mempersatukan dan membangun tali persaudaraan di antara beragam suku Arab yang terus menerus bertikai kala itu. Hijrah Nabi Muhammad ke Kota Yatsrib yang kini disebut dengan Madinah itu secara jelas memanifestasikan hakikat Islam sebagai agama pemersatu, rekonsiliator, dan pengayom toleransi dan pluralisme. Jika di Mekah yang monokultural dan monolitik, Islam tertolak dan Baginda Nabi Muhammad terusir, maka itu menunjukkan sifat Islam yang tidak sesuai dengan lingkungan yang seragam dan tidak menerima perbedaan. Sebaliknya, di Madinah yang multikultural, Islam justru menemukan habitat yang ideal. Di Madinah, Islam tumbuh sehat, kuat dan cepat, dalam milieu yang kondusif. Kenyataan ini memperkuat keyakinan bahwa Islam adalah agama multikultural sejak dalam buaiannya, sejak dalam periode paling awalnya. Dan karena itulah Islam tidak bisa tidak mesti mencari lingkungan dan wilayah multikultural lain agar dapat terus mekar, memperlihatkan keindahannya dan semerbak wanginya.
Dalam bukunya tentang kehidupan Nabi, Muhammad Rasulullah, Syeikh Abul-Hasan Ali an-Nadwi telah mempersembahkan satu bab lengkap mengenai gambaran rinci ihwal struktur sosial Madinah ketika Nabi dan para sahabatnya menetap di sana bersama saudara mereka yang merupakan penghuni tetap kota tersebut. Dia menunjukkan Madinah adalah kota dengan beragam keyakinan, budaya, etnik, bahasa, suku dan kelompok sosial yang memberikan kota itu suatu lanskap plural yang kaya dan penuh warna. Hal ini jelas berbeda dengan situasi Mekah yang bersifat monolitik. Fakta ini menunjukkan bahwa Islam justru dapat tumbuh besar di lingkungan yang tidak monolitik, suatu lingkungan yang terbuka dan menerima perbedaan pandangan dan keyakinan.
Di dalam lanskap multikultural yang seperti inilah Islam dapat hadir dalam kekuatan penuh. Sebaliknya, di Mekah, Islam menjadi agama yang tersisihkan karena masyarakat Mekah pada umumnya tertutup dan statis. Masyarakat Mekah tidak mengenal perbedaan dan keberagaman, bahkan menolak keras segala rupa perbedaan yang coba ditawarkan. Fakta ini memperkuat keyakinan yang menyatakan bahwa Islam adalah agama terbuka, yang akan tumbuh jauh lebih pesat di milieu yang dinamis dan heterogen. Praduga bahwa Islam adalah agama monolitik yang tidak mendukung keberagaman pandangan dan penafsiran adalah miskonsepsi yang nyata. Fakta masuknya Islam ke berbagai wilayah dengan pedang lebih menunjukkan bahwa wilayah-wilayah itu bersifat monolitik dan totaliter ketimbang menunjukkan bahwa Islam adalah “agama haus darah” yang mendorong pengikutnya pada fanatisme dan kekerasan.
Mungkinkah Islam yang sejak semula memiliki memiliki karakteristik seperti itu sekarang malah menjadi sumber konflik sektarian bagi para pemeluknya? Jelas tidak mungkin! Kita perlu mencari akar-akar perpecahan dan konflik tersebut dari luar ajaran Islam itu sendiri. Berbagai pengamatan sederhana sebenarnya dapat menguraikan dilema tersebut. Salah satunya ialah dari kebodohan sebagian penganut Islam mengenai hakikat ajaran Ilahi ini. Kelompok-kelompok yang mencoba memurnikan Islam dengan cara mengkafirkan atau memusyrikan praktik-praktik masyarakat sebenarnya muncul dari kebodohan akan ajaran Islam yang hakiki. Demikian pula dengan anggapan keliru di kalangan sebagian penganut Islam yang mencoba menyamakan fanatisme dengan ketaatan dan keberagamaan yang ketat. Keberagamaan ketat yang bersifat sakral itu tidaklah mungkin berakibat pada fanatisme, melainkan justru akan membawa pada penghayatan ruhani dan tumbuhnya nilai toleransi, kasih sayang dan kemanusiaan dalam diri seorang Muslim.
Pada sisi lain, ada upaya-upaya dari dalam kalangan Islam untuk membebaskan umat dari jeratan fanatisme melalui cara-cara yang ekstrem pula. Mereka muncul dalam baju liberalisme Barat yang kosong dari nilai-nilai Islam dan spiritual untuk kemudian menawarkan sintesis antara Islam dan Barat dalam bentuk yang tidak autentik. Sintesis seperti ini tidak akan melepaskan umat dari belenggu fanatisme, melainkan justru akan membangkitkan letupan fanatisme dan gerakan puritanisme yang lebih anarkis. Oleh sebab itu, cara yang benar untuk membebaskan umat dari jeratan fanatisme ialah dengan kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang sejati, melalui metode pembelajaran dan pengajaran Islam yang rasional, ilmiah dan berpijak pada semangat toleransi dan penerimaan pada keberagaman penafsiran.
Di dalam Islam memang ada dua Mazhab besar. Dua Mazhab Islam itu ialah Ahlusunah dan Syiah. Di dalam Mazhab Syiah ada aliran Itsna ‘Asyariah, Zaidiyah dan Ismailiah. Di dalam Mazhab Ahlusunah, ada aliran Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Namun demikian, perbedaan antara kedua mazhab besar itu pada umumnya berkisar pada masalah-masalah politik, fiqih dan historis. Titik-titik persamaan antara keduanya, misalnya, jauh lebih banyak ketimbang titik-titik persamaan antara dua sekte besar dalam Kristen, yakni Katolik dan Protestan. Bahkan, titik-titik perbedaan yang terdapat antara Mazhab Ahlusunah dan Syiah tidak ada yang bersifat mendasar.
Sekadar contoh, Ahlusunah dan Syiah sama-sama mengakui satu bentuk syahadat, satu al-Qur’an, satu Nabi dan satu kiblat. Ahlusunah dan Syiah sama-sama mengakui kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan amar makruf nahi mungkar. Shalat yang wajib juga sama: subuh, dzuhur, ashar, magrib dan isya. Rakaat pada masing-masing shalat tersebut juga sama: 2 untuk subuh, 4 untuk dzuhur dan ashar, 3 untuk magrib dan 4 untuk isya. Dengan demikian, perbedaan cabang yang ada di antara Mazhab Ahlusunah dan Syiah, apapun bentuknya, tidak bisa menggugurkan semua persamaan yang menjadikan mereka semua satu bagian dari umat Islam.
Lebih jauh, perbedaan di antara Mazhab Islam sesungguhnya lebih mencerminkan apresiasi terhadap kekayaan sumber-sumber khazanah Islam, ketimbang mencerminkan perbedaan keyakinan. Apresiasi itulah yang secara istilah disebut dengan ijtihad. Dalam sebuah Hadis, Nabi Besar Muhammad pernah bersabda: “Ikhtilafu ummati rahmah” (Perbedaan di dalam umatku adalah rahmat). Jadi, di sini Nabi menyebutkan bahwa perbedaan penafsiran dan pandangan yang ada di dalam umat adalah manifestasi dari berlimpahnya karunia Allah.
Akhir-akhir ini, terutama dengan semakin memanasnya situasi di Timur Tengah, perbedaan antara Mazhab Islam itu kembali menimbulkan gesekan yang berbahaya. Pertikaian yang sebelumnya bersifat politik pun bergulir menjadi potensi konflik sektarian di antara berbagai penganut mazhab yang berbeda dalam Islam. Oleh sebab itu, muncul tuntutan besar untuk kembali mempererat tali persaudaraan di tengah umat dan membangun persatuan Islam (wahdah Islamiyyah), tanpa melihat pada perbedaan2 pandangan yang ada.
Akan tetapi, apakah maksud persatuan Islam atau wahdah Islamiyyah itu? Apakah ia berarti harus ada satu Mazhab yang diikuti dan semua pengikut Mazhab lain bergabung dengannya? Ataukah harus ada satu Mazhab baru yang mempersatukan semua Mazhab yang ada dan meleburnya menjadi satu Mazhab Islam yang tunggal? Ataukah persatuan Islam itu sama sekali tidak berhubungan dengan penyatuan atau penggabungan pandangan dan gagasan dalam bidang fiqih, melainkan kesatuan dan persatuan pengikut semua Mazhab Islam yang semuanya sebenarnya adalah pengikut Islam yang sama dalam membangun cita-cita bersama dan melawan kekuatan musuh yang sama?
Tentu saja, tuntutan dan ajakan kepada persatuan Islam yang sekarang menggema ini tidak lain ialah kesatuan dan persatuan di antara pengikut Mazhab-mazhab Islam sebagai pengikut Islam yang sama dalam rangka membangun kekuatan bersama dan melawan musuh yang sama. Persatuan Islam bukan harus berarti munculnya satu Mazhab Islam baru yang meleburkan semua Mazhab yang ada atau mencegah terjadinya perbedaan pandangan dan memusuhi sarjana atau ulama yang memunculkan penafsiran berbeda tentang Islam. Persatuan Islam yang diserukan oleh banyak ulama Islam, baik dari kalangan Ahlusunah ataupun Syiah, jelas tidak demikian. Karena, persatuan yang demikian justru akan mematikan dan membungkam kreativitas intelektual dan dinamika ilmiah yang menjadi ciri-khas peradaban Islam sejak masa awal sejarah Islam.
Dengan demikian, maksud persatuan Islam ialah penyatuan langkah dan aksi pengikut seluruh Mazhab Islam sebagai umat Islam dalam rangka membangun kekuatan bersama dan melawan kekuatan musuh yang sama. Bila persatuan dalam pengertian ini bisa diwujudkan, maka dunia akan menyaksikan kebangkitan 1,5 milyar penduduk untuk menggulirkan visi Islam yang toleran, pluralis, rekonsiliatif dan terbuka. Mereka akan bergerak menggulirkan platform Nabi Muhammad saat membangun Madinah yang pluralis dalam skala global. Namun sebaliknya, bila 1,5 milyar umat Islam terus-menerus dirundung perpecahan apalagi yang sampai berujung pada pertumpahan darah, maka malapetaka besar akan menimpa masyarakat dunia secara umum.
Oleh sebab itu, upaya-upaya keji dan tidak manusiawi yang mencoba memainkan taktik adu domba antar-pengikut Mazhab Islam harus dicegah. Akibat perpecahan umat Islam adalah bencana kemanusiaan yang bersifat global. Bencana ini ada awalnya, tapi tidak akan ada akhirnya. Apa yang coba dihembuskan dari Irak itu bisa menjadi awal kerusakan yang tidak ada akhirnya, lantaran 1,5 milyar penduduk dunia yang beragama Islam akan masuk dalam lorong absurd yang tidak berujung ini.
Salah satu metode untuk mencegah skenario konflik yang mengerikan itu ialah dengan mengembalikan konflik politik yang terjadi di Timur Tengah pada koridor politik, dan secepat mungkin menghalau spillover-nya kepada wilayah kemazhaban Islam. Semua pihak yang berselisih harus disadarkan bahwa konflik politik tidak boleh sampai menjadi konflik sektarian, sehingga solusinya akan semakin rumit dan jelas. Umat Islam di Irak atau di manapun juga harus dihimbau kembali kepada persatuan, dan memperlebar jiwa toleransi dan rekonsiliasi.
Dalam konteks ini, Bangsa Indonesia jangan sampai terlibat dalam tarik-menarik konflik sektarian yang kini bertiup kencang di Timur Tengah. Sebaliknya, Bangsa Indonesia harus bisa menjadi teladan dalam menciptakan toleransi dan saling pengertian. Sebagai bangsa yang mayoritas memeluk agama Islam, kita bisa menjadi pionir untuk memanifestasikan keberagamaan yang toleran, moderat dan terbuka. Kaum Muslim Indonesia tdk boleh terjebak dalam ekstrem fundamentalisme atapun ekstrem liberalisme. Keduanya bukanlah pola menjalankan Islam yang autentik. []