ICC Jakarta – Perang fisabilillah dan makrifat Ilahiah merupakan dua substansi nilai insan yang masing-masing mempunyai keutamaan. Pertanyaan adalah, dapatkah kedua keutamaan dan kesempurnaan ini bergabung pada diri seseorang? Dengan kata lain, dapatkah seseorang dari satu sisi memiliki hati lembut, pengasih, dan pemaaf, di sisi lain memiliki jiwa membaja, pemberani, kesatria, dan pantang menyerah dalam berhadapan dengan thagut dan kezaliman? Apakah jiwa yang mempunyai dimensi jihad, pengorbanan, dan rezim perang, dapat menjadi ahli doa, berbisik-bisik dengan Hak Swt, dan menangis tersedu-sedu? Yang jelas sejarah telah menampilkan orang-orang yang kehidupannya telah menyatukan kedua keutamaan dan kesempurnaan insani tersebut. Kendatipun kebanyakan orang tidak dapat mempertemukannya, apatah lagi menyatukannya. Seperti terdapat orang yang senantiasa dalam hidupnya beribadah dan bermunajat, namun ketika mereka diperhadapkan antara bergabung dengan pasukan hak Amirul Mukmini Ali As atau pasukan batil Muawiyah, ataukah diperhadapkan antara memilih menyokong pasukan hak Imam Husain As atau pasukan batil Yazid, mereka malah diam dan sama sekali tidak dapat memilih di antara keduanya. Juga terdapat orang yang di medan peperangan, pemberani dan kesatria, namun sangat disayangkan karena mereka bukan ahli irfan, sehingga terkadang mereka salah memilih jalan atau tidak menghiraukan seruan pemimpin yang hak.
Namun, orang seperti ‘arif Yaman Uwais Qarani, adalah salah seorang di antara orang-orang yang dapat menggabungkan antara kedua keutamaan tersebut. Dari sisi ibadah, tatkala malam tiba dia berkata, ini adalah malam ruku. Dan dia semalaman ruku hingga waktu subuh tiba. Terkadang dia juga berkata, ini adalah malam sujud. Dan dia melewati malam itu dengan sujud hingga subuh tiba. (Syekh Muhammad Taqi Tustari, Qâmus ar-Rijâl, Jld. 2, Hal. 223)
Dalam dimensi kesatriaan, dikatakan bahwa dalam keadaan mengenakan pakaian dari wol dan bersenjata dengan dua pedang, dia hadir dalam perang shiffin. Dan di hadapan pimpinan kaum ‘arif Amirul Mukminin Ali As berkata, ulurkan tanganmu hingga aku membaiatmu. Setelah dia membaiat Imam Ali As, dia berperang dalam pasukan beliau hingga dia meneguk syahadat dan bertemu dengan sang kekasih mutlak. (Syekh Muhammad Taqi Tustari, Qâmus ar-Rijâl, Jld. 2, Hal. 219)
Tidak diragukan bahwa para keluarga dan sahabat yang menyertai Imam Husai As di hari-hari Karbala dan berperang bersama beliau di jalan hak, mereka semua itu adalah orang-orang yang mampu menyatukan antara perang hakiki dan irfan hakiki. Mereka bukan tipe orang yang diam dan tidak memenuhi ajakan pemimpin hak, dan mereka bukan juga tipe orang yang bukan ahli ibadah dan munajat. Mereka, di bawah pimpinan pemimpin kafilah pencinta Ilahi, merindukan syahadat dan pertemuan serta perjamuan dengan sang kekasih mutlak, Allah Swt.
Tentu orang seperti ‘arif Uwais Qarani dan para keluarga serta sahabat-sahabat Imam Husain As, mereka ini adalah orang-orang yang berada dalam makam tinggi dalam hal jihad hakiki dan irfan hakiki. Akan tetapi terdapat orang-orang yang juga berada dalam barisan ini yang secara gradasi berada dalam makam yang lebih rendah dari pada mereka. Yang urgen bagi kita adalah mengambil langkah yang pasti bergabung dengan mereka di bawah pimpinan kafilah pencinta kebenaran Amirul Mukminin Ali As dan Sayyid syuhada Imam Husain As. [Ruhullah Syams/Sisi Irfan Asyura]