ICC Jakarta – Telah maklum bahwa makna penantian hakiki bergantung kepada penafsiran seseoerang. Sebagian menafsirkan hal ini dengan mengacu pada pemikiran para ilmuan dan cendekiawan, sebagian lainnya mengacu pada penafsiran sebagian umat Syiah.
Berkaitan dengan hal ini terdapat dua pendapat utama mengenai penantian terhadap kemunculan Imam Zaman As, yaitu:
- Penantian yang Benar dan tepat
Penantian yang membangun dan ideal adalah penantian hakiki yang telah dijelaskan dalam hadis-hadis sebagai “sebaik-baik ibadah” dan “Sebaik-baik jihad umat Rasulullah Saw”.
Syaikh Muzhafar menafsirkan penantian hakiki dalam kalimat yang singkat dan penuh makna berikut, “Makna penantian munculnya pemimpin adil dan penyelamat Ilahi bukan bermakna bahwa seluruh umat muslim dapat melalaikan kewajiban agamanya dan meninggalkan apa yang telah diwajibkan atasnya seperti: menegakkan kebenaran, menjalankan hukum dan perintah agama, jihad dan amar ma’ruf nahi mungkar lalu berpangku tangan dan menantikan kemunculan Imam Mahdi As yang akan membenahi seluruh pekerjaan dan menyelematkan manusia. Setiap umat Islam mempunyai kewajiban untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan atasnya dan janganlah bermalas-malasan untuk mengenal agama dari jalan yang benar dan tidak juga melalaikan Amar Ma’ruf wa Nahi Anil Munkar, Rasulullah Saw berkenaan dengan masalah ini bersabda, “Kalian semua adalah pemimpin bagi satu sama lainnya dan bertanggung jawab atas jalan kebenaran”[1].
Berdasarkan hadis di atas , maka setiap muslim tidak dapat bermalas-malasan ataupun meninggalkan kewajibannya dengan alasan menunggu kedatangan Imam Mahdi As, karena makna penantian tidak memberikan kita alasan untuk menarik diri dari kewajiban ataupun bermalas-malasan dan menunda kewajiban kita tersebut. Lemah dalam menjalankan kewajiban agama atau tidak peduli terhadapnya tidak diperbolehkan dalam agama atas dasar apapun.[2]
Singkat kata, adab penantian terdiri dari tiga rukun dasar, yaitu:
a. Tidak rela akan keadaan yang ada;
b. Harapan akan masa depan yang cerah;
c. Bergerak untuk membenahi keadaan yang bobrok pada saat ini dan menjadikan keadaan tersebut menjadi lebih baik.
2. Penantian yang salah dan merusak
Penantian yang merusak dan merugikan pada hakikatnya adalah suatu bentuk penyelewengan yang selalu dimurkai oleh para pembesar agama dan para pembesar agama pengikut mazhab Ahlulbait selalu berpesan untuk menjauhi hal tersebut.
Alamah Muthahari berkaitan tentang hal ini menuliskan, “Penantian semacam ini merupakan suatu penafsiran dangkal masyarakat awam terhadap permasalahan Mahdawiyah dan kebangkitan dan revolusi Imam Mahdi As yang hanya menyebabkan suatu penyelewengan dan mengakibatkan tersebarnya kezaliman, perbedaan, kesenjangan sosial, terbunuhnya hak-hak dan kehancuran umum.”
Keyakinan seperti ini adalah bentuk dari sebab yang sangat bobrok karena mereka meyakini ketika hakikat dan kebenaran sudah tidak memiliki warna dan terpuruk di dalam tanah dan kebatilan melanda dunia hingga tidak ada satu pemerintahanpun selain kezaliman dan tidak ada lagi orang-orang saleh pada saat itu. Ketika itu akan ada suatu ledakan yang bersumber dari kekuatan ghaib -bukan dari pengikut kebenaran, karena kebenaran sudah hilang dari permukaan- yang akan membenahi seluruh kerusakan dan kebobrokan yang ada. Hal ini karena mereka meyakini bahwa pembenahan adalah sesuatu yang jelas dan ketika dalam suatu masyarakat masih ada sesuatu yang jelas dan benar, maka pertolongan ghaib tidak akan muncul ke permukaan bumi.
Dan sebaliknya, apabila setiap pengrusakan, dosa, kezaliman, pembedaan satu sama lain, pembunuhan hak-hak adalah suatu mukadimah untuk mewujudkan pembenahan umum dan mempercepat terjadinya ledakan pembenahan. Hal ini dikarenakan menurut mereka tujuan telah menjadikan hal-hal yang terlarang menjadi dibolehkan, maka dari itu cara yang paling baik untuk mempercepat munculnya Imam Mahdi As adalah dengan memperluas segala perbuatan buruk.
Bentuk dari penantian
kemunculan Imam Mahdi As semacam ini adalah suatu bentuk untuk meliburkan
syariat Islam, dan sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam dan Al-Quran.[3]
[1] . Qasyiri, Muslim bin Hijaj, Shahih, jil. 3, hal. 20; Muhammad bin Ismail, Shahih, jil. 2, Hal. 18, Allamah Majlisi, Biharu al Anwar, jil. 72, hal. 38
[2] . Muhammad Ridhâ Mudzaffar, ‘Agâid al-Imâmiyah, terjemah: Ali Ridhâ Masjid Jami’, hal. 118.
[3]. Murtadha Muthahari, Qiyâm wa Inqilâb–e Mahdi As, hal. 54.