ICC Jakarta – Tatanan hidup manusia di alam ini, dan kebahagiaannya yang abadi di alam akhirat kelak sangat tergantung kepada rasa malu yang ada pada dirinya. Oleh karena itu, adalah pada tempatnya bila pada kesempatan ini kami menghadirkan kajian mengenai hakikat rasa malu, pentingnya punya rasa malu, sumber rasa malu – khususnya rasa malu yang kini mulai terkikis habis dari anggota masyarakat di zaman ini, terutama pada kaum wanita. Padahal Allah Swt Yang Mahabijaksana menciptakan rasa malu pada perempuan berlipat-lipat lebih besar ketimbang rasa malu yang dimiliki oleh laki-laki ….
Akan tetapi, amat disayangkan bahwa saat ini rasa malu itu banyak dimiliki oleh kaum laki-laki ketimbang perempuan.
Oleh karena itulah, kejahatan dari hari ke hari semakin bertambah banyak. Seakan-akan kami di zaman ini, menjadi bukti kebenaran atas apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah Saww : “Kiamat tidak akan terjadi sampai rasa malu telah lenyap dari anak-anak dan perempuan.” (Bihar Al-Anwar, cetakan baru, jilid VI, hal.315).
Imam Al-Baqir as mengatakan, “Rasa malu dan iman adalah dua hal yang dihubungkan oleh suatu poros. Jika salah satu di antaranya hilang, maka yang lain akan mengikutinya.”
Sedangkan Imam Ja’far Ash-Shadiq as mengatakan, “Tidak beriman orang yang tidak memiliki rasa malu.”
Apakah Rasa Malu Itu ?
Rasa malu (al-haya’) ialah suatu sifat yang alami dalam diri manusia, yang menjadikannya merasa tidak enak ketika dia melakukan perbuatan jelek dan haram. Dia dapat mencegah dirinya untuk tidak melakukan perbuatan terlarang, karena adanya perasaan yang alami dan fitriah itu.
Sayyid Jamaluddin Al-Asadabadi dalam bukunya, Al-Radd ‘ala al-Madiyyin, mengatakan : “Dengan kata yang mulia itu [rasa malu] hak-hak manusia terfhormati, dan mereka tidak melanggar batas-batas yang telah ditentukan.”
Begitu pula dengan rasa malu, seseorang memelihara hak ayah, ibu, anak, guru, dan setiap orang yang berbuat baik kepadanya. Dia tidak berkhianat, mengingkari janji, atau menolak orang yang meminta pertolongan kepadanya. Dengan perasaan malu pula seseorang tidak akan melakukan perbuatan keji dan perbuatan yang tidak sesuai dengan dirinya.
Sungguh rasa malu dapat dijadikan tindakan pencegahan terhadap segala macam kerusakan. Ia lebih bermanfaat ketimbang ratusan peraturan dan penjaga. Sesungguhnya orang-orang yang mencintai kebaikan masyarakat, menginginkan hilangnya keonaran, harus berupaya agar sifat rasa malu ini tidak lepas dari anggota masyarakat mereka. Bahkan mereka harus menghidupkan dan menumbuhkannya. Tugas utama dan mulia ini tertumpu pada pundak para bapak dan ibu, guru, dan juga semua kaum Muslimin.
Berikut adalah contoh rasa malu yang dimiliki oleh ulama terkemuka semoga menjadi tauladan bagi kita.
Kuatnya Rasa Malu Al-Ardabili
Dalam kitab La’aliy al-Akhbar, dan kitab-kitab yang lainnya, ketika berbicara tentang Al- ’Alim Al-Rabbani, Mulla Ahmad Al-Ardabili – semoga Allah meninggikan derajatnya – dikatakan bahwa yang mulia pernah selama empat puluh tahun tidak menjulurkan kedua kakinya ketika duduk, tidur, apakah dia bersama orang lain atau sendirian.
Dia berkata, “Aku merasa malu dan tidak beradab, bila aku menjulurkan kakiku ke haribaan Tuhanku.”
Cerita seperti ini juga dilakukan oleh salah seorang ulama besar. Ketika beliau sakit menjelang kematiannya, beliau tidak mau menjulurkan kakinya, sambil berkata, “Selama umurku aku belum pernah melakukan sesuatu yang tidak beradab, di samping itu aku malu. Sekarang, bagaimana mungkin aku melakukan itu, toh umurku sudah akan habis.”
Ada orang mulia yang lain. Selamanya orang ini tidak pernah mengangkat suaranya. Kalau berbicara, dia berbicara dengan suara yang pelan. Dia berkata, “Sesungguhnya mengangkat suara dan berteriak di hadapan Allah adalah karena tidak punya rasa malu.”
Kalau begitu, bagaimana halnya dengan orang-orang yang meninggikan suaranya di hadapan Allah, atau mengatakan sesuatu yang kotor, atau membicarakan hal-hal yang diharamkan oleh Allah Swt ?
Dalam kitab yang sama juga disebutkan bahwa ketika ada seorang ulama sakit menjelang kematiannya, dia dijenguk oleh seorang penguasa pada waktu itu, yang berkata kepadanya, “Tinggalkan anak-anakmu kepadaku, dan jadikanlah aku ini sebagai penerima wasiatmu.”
Ulama yang mulia itu berkata, “Aku merasa malu untuk menitipkan anak-anakku kepada seseorang, karena Allah Swt masih ada.”
Ada cerita lain tentang Salim bin Abdullah, seorang zahid dan wara’, sedang berada di Masjid Al-Haram ketika Hisyam bin ‘Abd al-Malik datang ke sana. Ketika dia melihatnya dia berkata, “Hai Salim, mintakanlah keperluanmu kepadaku, akan kupenuhi semua permintaanmu.”
Salim berkata, “Keperluan dunia atau keperluan akhirat ?”
Hisyam menjawab, “Keperluan dunia.”
Salim berkata, “Sekarang ini aku tidak meminta keperluan duniaku kepada Pemilik dan Penguasa dunia (Allah). Aku hanya meminta keperluan akhiratku saja. Lalu bagaimana mungkin aku meminta keperluan dunia kepada orang yang bukan pemiliknya secara hakiki ?” (Sayyid Abdul Husain Dastgib)