ICC Jakarta – Suatu hal yang tidak dapat diingkari bahwa Alquran meletakkan wanita sejajar dengan laki-laki. Ayat Alquran surah Al-Ahzab (33 : 35) adalah sebaik-baik bukti bahwa di mata Allah kualitas iman dan amal-amal hamba-Nya adalah sama, baik laki-laki maupun perempuan.
Sejarah juga mencatat secara paralel sejumlah tokoh wanita kekasih Allah (awliya Allah) di samping laki-laki yang menjadi Kekasih-Nya. Bersama Nabi Ibrahim as yang digelari sebagai Abul Muwahhiddin (Bapak Monoteisme) berdiri Siti Hajar satu shaf di belakangnya, satu-satunya wanita yang memperoleh kehormatan dari Allah untuk dikuburkan di dalam rumah-Nya. Bersama Nabi Musa Kalimullah as berdiri seorang wanita Kekasih Allah, Asiyah binti Muzahim, yang dengan ketegaran imannya di sekitar Fir’aun bermunajat ke hadirat Ilahi : Rabbi, bangunkan untukku sebuah rumah di surga-Mu, dan selamatkan aku dari Fir’aun dan aksi-aksinya (QS At-Tahrim, 66 : 11). Di samping Isa Ruhullah as, bundanya, Maryam binti ‘Imran, mampu berkomunikasi dengan alam gaib dan para malaikat. Bahkan dialah satu-satunya makhluk manusia yang memperoleh keistimewaan dari Allah dengan hidangan makanan surga saat berada di mihrabnya (Lihat QS Ali Imran, 3 : 37).
Bersama Nabi Muhammad Saww ada Siti Khadijah yang sangat setia mendampinginya, saat suka dan duka, saat-saat getir periode awal dakwahnya dan saat-saat mobilisasi pengikut setianya sedemikian rupa sehingga Nabi berkata : “Dialah orang yang pertama kali beriman kepadaku ketika semua orang kufur padaku. Dialah orang pertama yang mengulurkan bantuannya kepadaku ketika semua orang memboikotku. Dialah satu-satunya wanita yang diizinkan oleh Allah untuk mengandungkan anak keturunanku.” Dan karenanya Nabi kemudian menempatkannya sejajar dengan Maryam, Asiyah, dan putrinya Fathimah Az-Zahra’. Nabi Saww bersabda : “Sebaik-baik wanita alam semesta ada empat : Maryam binti ‘Imran, Asiyah binti Muzahim, Khadijah binti Khuwailid, dan Fathimah binti Muhammad.” ( Redaksi hadis ini bisa dilihat di kitab-kitab: Musnad Ahmad, Kitab al-Ishabah dan lainnya)
Periode awal Islam juga menyaksikan sufi-sufi wanita kenamaan yang selevel dengan tokoh-tokoh sufi pria. Selain dari Hasan Bashri, Malik bin Adham, Al-Hallaj, Al-Hujwiri, Ibnu ‘Arabi, dan sebagainya, juga dikenal sufi-sufi seperti Rabi’ah Syamiyyah (istri Ahmad bin Abi Al-Hawari), Rabi’ah Al-‘Adawiyyah dan Rabi’ah binti Isma’il. Kontribusi mereka pada umat Islam baik dari aspek intelektual-mistikal, ataupun sosio-kultural adalah sesuatu yang sangat nyata seperti yang akan kita lihat kemudian.
Bukti-bukti di atas menunjukkan kepada kita bahwa pada hakikatnya potensi laki-laki dan wanita dalam perjalanannya menuju Allah adalah sama. Tidak ada diskriminasi gender dalam meraih kesuksesan perjalanan ruhani. Tidak ada perbedaan potensi yang tersirat dalam jenis kelamin sehingga, misalnya, laki-laki akan lebih mungkin mengaktualisasikan dirinya ketimbang wanita. Hal ini bukan saja diakui oleh sarjana-sarjana Muslim, tetapi juga terbukti secara demonstratif filosofis.
Sisi Mistis dari Kehidupan Fathimah Az-Zahra
“Dalam setiap agama ada model wanitanya yang sempurna dan suci yang sangat disanjung oleh pengikut-pengikutnya yang mukmin. Mereka adalah simbol-simbol kebesaran Allah. Dalam agama Islam, wanita seumpama itu terjelma dalam diri Fathimah Az-Zahra,” demikian kata ‘Aqqad, seorang penulis Islam kontemporer dari Mesir dalam bukunya Fathimah wa al-Fathimiyyun.
Kesempurnaan Fathimah memang terlalu tinggi untuk bisa kita diskusikan dalam forum yang terbatas ini. Makalah ini hanya akan melihat sebagian kecil dari sisi ruhani kehidupan Fathimah Az-Zahra sejauh yang teramati oleh penulis dalam sejumlah riwayat yang relevan.
Ibnu ‘Abbas – seperti yang dikutip dari kitab Al-Bihar – meriwayatkan dari Rasulullah Saww yang bersabda, “Putriku Fathimah adalah penghulu wanita alam semesta, dahulu dan sekarang. Dia adalah bagian dariku dan cahaya mataku. Dialah belahan nyawaku; dialah bidadari insani (haura’ insiyyah) yang ketika berdiri shalat di mihrabnya di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, cahayanya akan memancar kepada penghuni langit sebagaimana cahaya bintang gemintang memancar dan menerangi penghuni bumi.”
Ummu Salamah, ‘Asma binti Umais dan Ummu Sulaim menyaksikan bahwa Fathimah putri Nabi adalah wanita suci yang tidak pernah mengalami masa haidh dan nifas, yang dalam bahasa Arabnya disebut sebagai Al-Batul. Rasulullah Saww bersabda, “Fathimah bergelar al-batul adalah karena ia tidak pernah mengalami haidh dan nifas.2
Zaid bin ‘Ali meriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq yang berkata bahwa (dari sekian banyak gelar) Fathimah juga bergelar al-muhaddatsah (yang diajak bicara). Hal ini karena Fathimah bisa berkomunikasi dengan malaikat sebagaimana Maryam binti ‘Imran.
Imam Ja’far Ash-Shadiq as berkata, “Kami (Ahlul Bait) menyimpan secara turun temurun mush-haf 3 Fathimah. Tebalnya tiga kali lipat dari ukuran Alquran yang ada.”
Husain bin Abi Al-‘Ala yang mengutip Imam Ash-Shadiq as berkata bahwa mushhaf tersebut mengandung segala sesuatu yang diperlukan oleh umat manusia, mulai dari berita-berita tentang dinasti-dinasti yang akan dibangun sampai hari kiamat hingga pada hukum-hukum (syariat) Islam yang sangat terperinci. Inilah kitab yang terhimpun selama 75 hari dari usianya setelah kewafatan ayahandanya Rasulullah Saww. Di sana penuh dengan catatan-catatan ilmu yang diperolehnya dari malaikat yang datang “menghiburnya” saat-saat duka panjangnya tersebut.
Kemampuan Fathimah berkomunikasi dengan para malaikat ini tidak berimplikasi kerancuan teologis. Sebab, kata Al-Qazwini, wanita-wanita suci sebelum Fathimah, seperti Maryam binti ‘Imran, Sarah istri Nabi Ibrahim, dan ibunda Nabi Musa juga biasa berkomunikasi dengan para malaikat.4 Hal ini tidak terlalu sulit untuk bisa dipahami apabila kita sedikit bertafakur akan keluasan potensi manusia yang –sebagian darinya – berunsur Ilahi. Komunikasi dengan alam gaib pasti membuahkan hasil-hasil yang besar, baik secara kognitif, spiritual, maupun mental. Hal itu dibukukan oleh ‘Ali, suami Fathimah, yang kemudian dikenal dengan nama mushhaf Fathimah.
Ketekunan ibadah mahdhah Fathimah bukanlah sesuatu yang baru dalam lingkungan keluarga Nabi. Imam Hasan Al-Bashri, misalnya, pernah mengatakan, “Tidak ada orang di antara umat ini yang lebih banyak ibadahnya daripada Fathimah. Sedemikian banyaknya dia berdiri shalat hingga kedua kakinya membengkak.” 5 Salman Al-Farisi pernah menangis melihat “onggokan” jasad Fathimah di atas tikar sajadahnya. Jasad kurus itu diam dan sepertinya tak bernafas. Ketika hal itu dilaporkan kepada suaminya, ‘Ali hanya menjawab, “Begitulah keadaan Fathimah apabila ia berada dalam pelukan Sang Maha Kekasih.”
Khusyu’, fana, baqa dalam fana dan ikhlas yang dialami putri Khadijah ini bukan hanya pada ibadah mahdhah-nya saja, namun juga dalam ibadah ghairul mahdhah-nya, ibadah sosial. Surah Al-Insan [76] : 7-9 adalah sebaik-baik bukti betapa besar nilai ibadah sosialnya di sisi Allah Swt.
Dalam kitab Al-Bihar tertulis sebuah riwayat yang berasal dari Furat bin Ibrahim, dari Abu Said Al-Khudri yang melaporkan bahwa suatu hari ‘Ali bin Abi Thalib as memberikan sedekah kepada Miqdad bin Al-Aswad yang sangat memerlukan bantuan. Padahal ‘Ali dan keluarganya saat itu juga berada dalam keadaan yang sama. Al-Khudri berkata : “Ali keluar dari rumahnya dengan niat meminjam uang satu dinar untuk keperluan keluarganya. Setelah diperoleh uang tersebut dia berikan kepada Miqdad karena kondisinya yang lebih memerlukan. Sesampainya di masjid dan usai shalat berjamaah bersama Nabi, ‘Ali kemudian pulang ke rumahnya bersama dengan Nabi yang ingin mengunjungi putrinya. Di rumah, Nabi dan ‘Ali menjumpai berbagai jenis makanan yang tidak pernah mereka jumpai sebelumnya. Dengan heran ‘Ali bertanya kepada Fathimah, “Darimana gerangan makanan ini datang ?”
“Nabi kemudian menjawab, “Wahai ‘Ali, inilah balasan Allah atas sedekahmu yang satu dinar. Sungguh Allah memberikan rezeki-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Sambil menangis Nabi kemudian memuji-muji Allah dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah membalas amal-amal kebajikan kalian sebelum kelak di Hari Kemudian. Ya ‘Ali, sungguh Allah telah membalas amal baikmu sebagaimana yang telah Dia berikan kepada (Nabi) Zakaria, dan sungguh Allah juga telah membalas amal baik Fathimah sebagaimana yang telah Dia berikan kepada Maryam binti ‘Imran. Nabi kemudian membaca ayat berikut : “setiap kali Zakariyya masuk ke mihrabnya (Maryam), maka dia akan mendapati di dalamnya (terhidang) berbagai rezeki” (QS Ali ‘Imran, 3 : 37).
Ayatullah Jawadi Amuli memberikan analisis sufistik yang tajam dalam memahami riwayat-riwayat seperti yang disebutkan terakhir ini. Apakah mungkin manusia bisa memperoleh hidangan surga sementara dia berada di alam dunia ? Bagaimana mengkomunikasikan alam fisik yang material dengan alam “surgawi” yang immaterial ? Dalam sebuah riwayat sufi, kata Jawadi Amuli, Rabi’ah Shamiyah menghidangkan makanan yang beraneka ragam kepada suaminya Ahmad bin Abi Al-Hawari. Katanya, “Innaha ma nadhijat illa bi tasbih, makanan ini dimasak dengan tasbih.”
Apa yang dimaksudkan dengan kalimat dimasak dengan tasbih ? Apakah selama ia memasak, ia senantiasa membaca tasbih. Untuk orang seperti Shamiyyah, membaca tasbih – di saat masak sekalipun – adalah hal yang bukan istimewa. Lalu apa yang dimaksudkannya bahwa masakan tersebut dari tasbih ?
Untuk memahami ini, kata Amuli, marilah kita lihat ayat Alquran yang bercerita tentang bagaimana penghuni-penghuni surga memperoleh makanan. Allah berfirman, ” Doa-doa mereka di dalam surga adalah (kalimat) Mahasuci Engkau Ya Allah (Subhanakallahuma); ucapan selamat (di antara) mereka di dalam surga (tahiyyatuhum) adalah (kalimat) salam; dan doa mereka yang terakhir adalah Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam [Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin] (QS Yunus, 10 : 10).
Ayat di atas, kata Amuli, mengilustrasikan salah satu dari cara hidup penghuni-penghuni surga. Pertama, mereka akan mengucapkan tasbih pada setiap saat mereka membutuhkan sesuatu. Kedua, menebarkan salam sesama mereka. Ketiga, mengucapkan kalimat tahmid pada akhir setiap nikmat yang diperolehnya. Karena pada realitasnya penghuni-penghuni surga adalah makhluk-makhluk yang mumkin al-wujud, maka kebutuhan-kebutuhan manusiawinya tetap ada. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut di surga, mereka akan memperolehnya hanya dengan mengucapkan tasbih, tanpa harus melakukan aktivitas organik. Dengan kata lain, apapun yang diinginkan oleh penghuni surga, maka mereka bisa memperolehnya dengan ucapan tasbih semata-mata. Mengapa tasbih ? Karena dengan ucapan tasbih tersirat sebuah makna bahwa Allah adalah Mahasuci dari memerlukan segala sesuatu. Manusialah yang butuh makan, minum, dan sebagainya; dan Allah Mahasuci dari segala itu. Dengan istilah lain, apapun yang mereka inginkan, maka pertama-tama yang mereka lihat adalah Allah Swt dahulu. Kendatipun yang mereka butuhkan tersebut adalah hal-hal yang berupa materi sekalipun.
Sifat dan tindakan seumpama itu bukan hanya milik penghuni-penghuni surga kelak di akhirat semata-mata. Namun juga mereka yang suci di dunia ini. Apapun yang mereka inginkan, mereka hanya akan menyebutnya dengan ucapan tasbih (subhanallah). Karena bagi mereka, setiap nikmat yang datang dari Allah menyimpan suatu kekudusan yang di dalamnya ada kesucian dari Allah Swt. Mungkin pada konteks inilah kita bisa memahami mengapa Rasulullah menghadiahkan bacaan tasbih, tahmid, dan takbir kepada Fathimah ketika putrinya meminta bantuan dari Nabi dalam bentuk materi : entah itu pembantu untuk meringankan bebannya atau makanan yang dibutuhkannya. Sebuah riwayat mengatakan bahwa Nabi memberinya kalimat-kalimat tasbih yang berawal dengan kalimat Subhanallah (33 X), Alhamdulillah (33 X), Allahu Akbar (34 X) yang dibaca sebelum tidur. Riwayat lain mengatakan dimulai dengan kalimat takbir (34 X), tahmid (33 X), dan tasbih (33 X) dan diakhiri dengan kalimat tahlil (La ilaha illa Allah, 1 X), yang dibaca pada setiap selesai shalat. Kata Nabi Saww, “Bacaan ini lebih baik bagimu (Wahai Fathimah) daripada dunia dan seisinya.” (Ust. Husein Shahab/Buletin al-Jawad)