ICC Jakarta – Puasa memiliki sisi lahir dan sisi batin. Sisi lahir puasa adalah sisi kita untuk menahan diri dari makan, minum, dan sebagian kenikmatan-kenikmatan tertentu. Sedangkan sisi batin puasa adalah ketika puasa yang kita kerjakan selama sebulan penuh ini memiliki nilai-nilai kemaknawiyahan yang tingga, puasa yang telah melewati batas-batas sekedar menahan hal-hal yang membatalkan puasa dan juga telah melewati fungsi-fungsi yang melejitkan kedekatan diri manusia dengan sang penciptanya.
Apabila manusia telah bisa menselaraskan ke dua sisi ini, maka kesadaran spiritual akan mengalir bersama kehendak yang menumbuhkan keinginan kuat untuk selalu sadar akan pemikiran dan langkah yang dipilahnya.
Oleh itu, pelaksanaan puasa batin akan berdampak positif bagi kepribadian manusia pada semua sisinya; pemikiran, kesadaran, dan amal. Manusia tidak akan dapat merealisasikan kedekatan kepada Allah dalam hidupnya tanpa terlebih dahulu mengubah dirinya agar menuju Allah yang termanifestasikan pada semua perbuatannya dalam kehidupan ini. Inilah pendidikan Islam yang bertujuan membina pribadi muslim yang sebenarnya.
Ketika seorang muslim memfokuskan perhatiannya kepada Allah dan menjadikan-Nya sebagai puncak tujuan, maka ia tidak akan beraktivitas kecuali melalui kesadaran rasa cinta kepada-Nya. Inilah yang dimaksud ibadah dengan pengertian tunduk mutlak kepada Allah yang tercermin dalam pengetahuan dan perbuatannya. Inilah rahasia tauhid Islam yang membentuk kesatuan dan tujuan melalui keesaan Sang Pencipta, seperti dijelaskan dalam ayat:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang menyatakan Tuhan kami adalah Allah kemudian beristikamah, maka malaikat turun kepada mereka dan menyeru, “Janganlah kamu takut dan bersedih, bergembiralah kamu dengan surga yang dijanjikan untuk kamu.” (QS. Fushshilat [41]: 30)
Allah juga berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah, “Sesungguhnya salatku, hidup dan matiku semua untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya dan dengan itu aku diperintahkan dan aku adalah orang yang pertama-tama yang berserah diri.” (QS al-An’am [6]: 162-163)
Dilihat dari sisi kemanusiaan, puasa mampu mengarahkan kecenderungan pribadi seorang muslim. Dengan merasakan perihnya rasa lapar, maka muncullah dengan cepat kesadaran dalam jiwanya untuk memperhatikian masyarakat miskin yang kesulitan ekonomi dan hidup kelaparan. Niscaya muncul dalam dirinya sebuah tanggung jawab untuk mengentaskan mereka dari kondisi kesulitan dan penderitaan. Selanjutnya, ia bergerak menghadapi realitas faktual (masyarakat) berdasarkan tanggung jawab tersebut dengan berupaya keras secara individual maupun terorganisir atau aktif di dunia politik untuk mengubah sistem yang berlaku.
Puasa dapat membangkitkan kecenderungan spiritual manusia dengan makna yang luas. Dengan merasakan lapar dan haus di hari kiamat. Pada hari itu, manusia di hadapan Allah mempertanggungjawabkan perbuatan buruk yang dilakukan sepanjang hidup. Karenanya, lantaran hidup di dunia ini, ia dapat melakukan sesuatu yang meringankan beban dirinya ketika ketika menghadapi hari tersebut (kiamat). Mereka tidak akan mengulangi perbuatan buruknya, namun akan berusaha membenahi kesalahan-kesalahnnya sehingga akan menyempurnakan menuju jalan yang lurus dan tujuan yang jelas. Inilah yang disebutkan Rasulullah saw di awal khotbahnya, ketika menyambut bulan suci Ramadan, “Ingatlah, dengan rasa lapar dan hausmu (di dunia), juga lapar dan hausnya hari kiamat…”
Kita temukan berbagai makna dan kesadaran yang sangat luas, yang terkandung dalam ibadah puasa, bahwa Allah menghendaki manusia hidup dalam kebaikan, ketakwaan, dan kebenaran. [SZ]