Pada Rabu pagi, 2 Oktober 2024, hanya beberapa jam setelah Iran melancarkan serangan balasan kedua terhadap Israel, dunia menyaksikan dengan tegang. Operasi “True Promise II,” sebutan resmi yang digunakan, menyaksikan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) meluncurkan lebih dari 180 rudal balistik dan hipersonik ke berbagai target militer Israel di wilayah pendudukan Palestina.
Serangan ini merupakan respons langsung atas meningkatnya agresi Israel dan upaya pembalasan atas pembunuhan sejumlah tokoh penting: pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, yang dibunuh di Tehran saat menghadiri pelantikan presiden baru Iran; komandan militer Iran, Brigadir Jenderal Sayyid Abbas Nilforoushan, yang dibunuh di Beirut pada 27 September 24 bersama Sekretaris Jenderal Hizbullah, Sayyid Hassan Nasrallah. Selain itu, Israel juga melakukan serangan udara di Beirut dengan menjatuhkan 85 bom penghancur bunker buatan Amerika, seberat 2.000 pon, yang mengakibatkan tewasnya pemimpin Hizbullah itu.
Saat rekaman rudal Iran yang menghantam target Israel mulai beredar, menimbulkan ketakutan sekaligus kekaguman di seluruh dunia, spekulasi mengenai respons Israel semakin meningkat. Para analis memperkirakan dengan berbagai skenario, mulai dari serangan terhadap infrastruktur vital Iran, seperti fasilitas minyak, hingga upaya pembunuhan terhadap pejabat tinggi Iran.
Dalam suasana tegang ini, berita tentang pertemuan Ayatullah Ali Khamenei, dengan sekelompok elit dan ilmuwan Iran menyebar di media-media internasional. Sementara sebagian orang menilai pertemuan tersebut sebagai bentuk pengabaian atas ancaman Israel. Dalam pertemuan itu, banyak orang menanti pernyataannya terkait dengan serangan yang baru terjadi. Namun, Ayatullah Ali Khamenei memilih untuk tidak segera menanggapi operasi tersebut, beliau hanya menyatakan bahwa pandangannya tentang peristiwa ini, termasuk pembunuhan Sayyid Hassan Nasrallah, akan disampaikan “dalam waktu dekat.”
Dess, di awal pidatonya, Ayatullah Ali Khamenei menyampaikan dengan tajam, rasa duka mendalam yang menyelimuti bangsa Iran setelah serangkaian pembunuhan keji yang terjadi. “Kita sedang berduka akhir-akhir ini,” ucapnya lirih dengan nada penuh kesedihan. “Dan saya, secara pribadi, merasakan kesedihan yang sangat mendalam atas kehilangan ini.” Kata Imam Ali Khamenei menggambarkan pembunuhan Sayyid Hassan Nasrallah sebagai peristiwa yang mengguncang, membuat seluruh Iran “berkabung dengan sangat mendalam.” Pemimpin Iran itu berulang kali menggunakan kata “berkabung,” dan menekankan bahwa pembunuhan Sayyid Hassan Nasrallah adalah sebuah tragedi besar yang membawa duka mendalam bagi bangsa Iran.
Prolog yang khidmat ini menandai pentingnya pertemuan tersebut bagi dirinya, namun penekanan pada kesedihan akibat kematian Sayyid Hassan Nasrallah tampaknya tidak sepenuhnya dipahami oleh banyak hadirin, yang mungkin tidak menangkap utuh implikasinya.
Nada muram Imam Ali Khamenei sangat kontras dengan suasana perayaan di sebagian wilayah Iran dan negara-negara lain yang merayakan keberhasilan serangan rudal Iran. Namun, fokus sang Pemimpin pada kematian Sayyid Hassan Nasrallah memberi sinyal akan strategi yang lebih luas dan menimbulkan spekulasi mengenai arah konflik di masa depan.
Implikasinya jelas: masalah ini jauh dari selesai. Pidato Imam Ali Khamenei yang dijadwalkan pada hari Jumat besok pagi , 04/1024, sangat dinantikan, saat dunia menunggu petunjuk tentang langkah selanjutnya yang mungkin diambil oleh Iran. Pembunuhan Sayyid Hassan Nasrallah, yang merupakan tokoh utama dalam gerakan perlawanan, telah membangkitkan duka mendalam yang lebih dalam daripada sekadar dampak fisik serangan rudal.
Meskipun dunia mungkin terpaku pada tayangan dramatis rudal Iran yang menghantam pangkalan-pangkalan penting militer Israel, namun, Imam Ali Khamenei melukiskan gambaran yang jauh lebih kompleks. Menurutnya, ini baru awal dari sesuatu yang lebih besar.
Duka yang dirasakan bangsa Iran adalah bukti bahwa perang ini akan membutuhkan lebih dari sekadar serangan balasan untuk mencapai penyelesaian yang diinginkan.
Oleh karena itu, menganggap bahwa konflik ini dapat diselesaikan hanya dengan meluncurkan 180 rudal, meskipun 90% dari mereka berhasil mengenai target di wilayah pendudukan, adalah pandangan yang terlalu sederhana.
Meski pemandangan serangan rudal menghujani pangkalan militer Israel menyerupai adegan dari film-film Hollywood, dan akan selalu diingat dalam sejarah. Namun, saat debu mulai mereda, rezim Zionis akan dihadapkan pada kenyataan yang pahit. Bagi Iran, pembalasan sejati jauh melampaui sekadar rentetan rudal; menuntut perubahan paling mendasar dalam keseimbangan kekuatan yang ada.