ICC Jakarta – Dewasa ini para psikolog menilai optimisme sebagai sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Ketika optimisme hilang dari dalam diri seorang manusia, maka ia gagal meraih harapannya.
Psikologi positif menunjukkan peran agama sebagai faktor pembangun nilai-nilai positif dalam diri manusia. Seligman memasukkan nilai-nilai religius dalam psikologi modern. Ia juga mengakhiri perdebatan antara psikologi dan agama di abad 20.
Sejatinya, pandangan optimistis seseorang terhadap masa depannya berkaitan erat dengan filsafat hidupnya. Bagaimana seorang manusia memandang kehidupan dan memaknainya. Orang yang optimis akan menularkan optimismenya kepada lingkungan sekitar. Sebaliknya, orang yang pesimis juga melakukan hal yang sama.
Jauh sebelum Seligman menelorkan psikologi positif, Islam telah memberikan perhatian sangat besar terhadap masalah kejiwaan manusia. Begitu banyak ajaran Islam yang menekankan supaya manusia optimis terhadap masa depannya. Al-Quran memandang optimisme sebagai sebuah faktor penting dalam menggerakkan roda kehidupan umat manusia menuju kebaikan dan kebahagiaan sejati.
Sebagai contoh, surat Yunus menjelaskan bahwa harapan terhadap masa depan di dunia dan akhirat menyebabkan manusia berperilaku baik, dan harapan itulah yang memperbaharui dan memperbaiki kualitas perilakunya.
Al-Quran memandang sikap optimis terhadap masa depan berkaitan erat dengan Sunnatullah. Pondasi optimisme terhadap masa depan dalam al-Quran adalah memperbanyak keutamaan karya dan meninggalkan keburukan. Hanya orang yang optimis dan berkaryalah yang akan meraih kemenangan dan mencapai kebahagiaan sejati.
Dunia adalah tempat ujian bagi manusia, sekaligus sebagai kesempatan untuk memperbanyak keutamaan sebagai bekal di akhirat kelak. Manusia akan mendapatkan pahala atas perbuatan baik yang dilakukannya. Sebaliknya akan memperoleh hukuman atas tindakan buruknya.
Quran memberikan berbagai perumpamaan yang sangat banyak tentang optimisme terhadap masa depan. Dalam surat Yusuf, al-Quran menceritakan kisah Nabi Yusuf as sebagai contoh orang yang optimis dan sabar dalam menghadapi ujian. Diceritakan, Nabi Yusuf diceburkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya karena dengki. Namun akhirnya Yusuf berhasil selamat dari sumur itu dengan optimisme dan ketakwaan kepada Allah. Sebaliknya kehinaanlah yang diterima saudara-saudaranya.
Kisah Nabi Yunus menjadi contoh lain bagaimana al-Quran memberikan perumpamaan yang baik mengenai orang-orang yang optimis. Ketika Nabi Yunus ditelan ikan hiu, dia tidak menggantungkan diri kepada siapapun kecuali kepada Allah swt. Dengan perasaan optimis, beliau berdoa dan Allah pun mengabulkan doanya. Akhirnya Nabi Allah ini bisa keluar dari mulut ikan hiu. Optimis terhadap rahmat Ilahi merupakan sifat para Nabi dan aulia Allah. Dalam surat al-Anbiya ayat 88, Allah swt berfirman,
فَاسْتَجَبْنا لَهُ وَ نَجَّيْناهُ مِنَ الْغَمِّ وَ كَذلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنينَ
“Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.”
Al-Quran mengingatkan manusia terutama orang-orang yang beriman dan beramal saleh untuk optimis dalam mengaruhi bahtera kehidupan. Sebab, Allah tidak pernah mengingkari janjinya. Dalam surat al-Fushilat ayat 30 dan 31, Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.”
Di bagian lain, al-Quran dalam surat al Hijr ayat 56 menegaskan urgensi optimisme, “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat”.
Tentang pentingnya sikap optimis itu, surat az-Zumar ayat 53 juga mengungkapkan, “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Al-Quran menegaskan bahwa orang-orang muslim dilarang pesimis dan berputus asa dalam kehidupannya. Karena sikap putus asa merupakan karakter orang kafir. Surat Yusuf ayat 87 mengabadikan seruan itu, “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.”
Salah satu metode menumbuhkan sikap positif adalah menjalin hubungan yang baik dengan Allah swt melalui dzikir. Dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenteram dan jiwa pun lebih terkendali.
Dengan berdzikir, manusia berlindung dan memohon kepada kekuatan yang tidak terbatas yaitu Allah swt yang akan memberi ketenangan dan kedamaian bagi jiwa manusia. Surat al-Hasyr ayat 23 mengungkapkan, “Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
Optimis terhadap masa depan memberikan motivasi positif bagi kehidupan manusia. Jika manusia mampu menempatkan dirinya sebagai orang yang positif, maka ia juga akan mampu mengembangkan seluruh potensinya, dan keluar dari segala bentuk keterbatasan yang menghalangi. Dengan perilaku dan cara pandang positif tersebut manusia menjalin hubungan yang lebih baik dengan sesamanya dan lingkungan.
Sumber kekuatan positif dalam diri adalah harga diri. Semakin manusia menjaga kehormatan dirinya, maka ia akan semakin baik dalam memunculkan dan menebarkan aspek positifnya kepada yang lain. Sebab harga diri merupakan poros utama kekuatan mental. Semakin tinggi harga diri seorang manusia, maka optimisme terhadap masa depanpun semakin meningkat.
Diadaptasi dari Pars Today