Kesaksian Imam Hasan Askari atas Kelahiran putra beliau, Imam Mahdi as
Sangat banyak riwayat terkait dengannya yang dinukil para perawi Syiah. Di antaranya, hadis yang diriwayatkan Muhammad ibn Yahya dari Ahmad ibn Ishak dari Abi Hasyim Ja’fari yang berkata “Aku berkata kepada Abu Muhammad; Imam Hasan Askari as, ‘Keagunganmu sungguh membuatku segan untuk bertanya kepadamu, maka izinkanlah aku bertanya!’ Beliau berkata, ‘katakanlah!’ Aku berkata, “Wahai tuanku! Apakah engkau memiliki seorang anak?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’” (Ushul Kafi, 1/328, kitab ‘al-Hujjah’, bab ‘al-Isyarah wa Nashila Shahib Dar’)
Mengenai hadis ini, kita tidak perlu lagi membahas sanad dan kandungannya. Kitab-kitab rijal telah membuktikan kredibilitas Muhammad ibn Yahya, Abu Ja’far Atthar Qumi yang pusaranya sampai saat ini sangat terkenal dan selalu dikunjungi. Kitab-kitab itu juga memberikan kesaksian ihwal ketinggian posisi Ahmad ibn Ishak ibn Abdillah ibn Sa’ad ibn Malik ibn Ahwash Asy’ari, dan Abu Ali Qumi di sisi Imam Hasan Askari as. Juga, menegaskan kedudukan Dawud ibn Qasim ibn Ishak ibn Abdillah ibn Ja’far ibn Abi-Thaib dan Abu Hasyim Ja’fari.
Kemudian, lihatlah sedikitnya perawi dalam sanad hadis ini, sehingga disebut dengan Qurbul Isnad (sanad yang pendek). Tentunya, ini merupakan salah satu penguat bagi kesahihan suatu hadis.
b. Kesaksian Bidan
Bidan dimaksud adalah saudari seorang imam, bibi seorang imam, dan putri seorang Imam, wanita Alawiyah nan suci, bernama Hakimah putri Muhammad Jawad dan saudari Imam Hadi, bibi Imam Hasan Askari, saudari Imam Hadi as, bibi Imam Hasan Askari as yang telah menegaskan kesaksiannya atas kelahiran Imam Mahdi as pada malam kelahiran beliau. [Ushul Kafi: 1/330, kitab ‘al-Hujjah’, bab ‘Tasmiyatu man Ra’ahu as]
Wanita inilah yang mengurus persalinan Sayyidah Narjis, ibunda Imam Mahdi as dengan seizin ayahanda beliau, Imam Askari as. [Kamaluddin, 2/424, bab 42]
c. Puluhan Saksi Melihat Imam Mahdi as
Terdapat daftar panjang dari nama orang-orang yang pernah melihat dan berhubungan dengan Imam Mahdi, sebagaimana dicatat oleh sumber-sumber sejarah dan dikumpulkan sebagian penulis dalam karya khusus mereka. Seperti, kitab Tafsiratul Wali fi Man Ra’a al-Qaim al-Mahdi karya Sayyid Hasyim Bahrani. Ia menyebutkan 79 nama yang pernah melihat langsung Imam Mahdi as di masa kanak-kanak dan saat kegaiban singkat. Bahrani juga menyebutkan sumber-sumber rujukannya.
Dalam catatan Syah Abu Thalib Tajlil Tabrizi, tak kurang dari 304 orang telah melihat Imam Mahdi as. Syeikh Shaduq (wafat 381 H)―ulama besar yang masa hidupnya berdekatan dengan masa kegaiban singkat Imam Mahdi as―telah menghitung 64 orang pernah bersaksi melihat Imam Mahdi as. Mayoritas mereka adalah para wakil Imam sendiri yang berasal dari berbagai penjuru negeri. [Kamaluddin, 2/442, bab 43; Biharul Anwar, 52/30, bab 26]
Di antara wakil Imam Mahdi as adalah Qasim ibn ‘Ala asal Azarbaijan, Muhammad ibn Ibrahim ibn Mahziyar asal Ahwaz, Hajiz Bilali dan Usman ibn Said ‘Amri, Muhammad ibn Usman ibn Said ‘Amri dan Atthar yang berasal dari Baghdad, ‘Ashimi asal Kufah, Ahmad ibn Ishaq asal kota Qum, Muhammad ibn Shadzan asal Naysabur, dan Basami Muhammad ibn Abi Abdillah Kufi Asadi, serta Muhammad ibn Shaleh yang berasal dari Hamadan.
Adapun kalangan yang bukan wakil Imam Mahdi as namun pernah melihat beliau adalah Ibnu Basyadzalah yang berasal dari Isfahan, Hashini asal Ahwaz, Ahmad ibn Al-Hasan, Ishaq (penulis keluarga Bani Nubakht), Abu Abdillah Khiabari, Abu Abdillah ibn Farukh, serta puluhan lainnya.
Lantas, mungkinkah puluhan nama telah bersepakat untuk berdusta, padahal kitab-kitab Rijal telah menetapkan ke-tsiqah-an mereka?
d. Perlakuan Dinasti Abbasiyah terhadap Anak Kecil
Menyusul wafatnya Imam Hasan Askari as, penguasa dinasti Abbasiyah memperlakukan keluarga beliau dengan penuh kewaspadaan terkait berita kelahiran seorang bayi yang dirahasiakan. Mereka senantiasa menyelidikinya dengan berbagai cara dan kekuatan yang dimiliki. Dalam upaya itu, Khalifah Mu’tamid (meninggal dunia 279 H) memerintahkan pasukannya untuk menginterogasi Imam Askari as dan menggeledah secara teliti untuk melacak ihwal Imam Mahdi as. Ia juga memerintahkan untuk menangkap orang-orang yang diberi wasiat oleh Imam Askari as. Dalam misi ini, Mu’tamid dibantu Ja’far Kadzab (pendusta) lalu melakukan penangkapan, intimidasi, diskriminasi, penghinaan, dan pelecehan. [Syeikh Mufid, al-Irsyad, 2/336]
Semua itu terjadi tatkala Imam Mahdi as masih berusia lima tahun. Mu’tamid tak pandang umur dan tak perdulikan usia beliau setelah ia percaya bahwa anak kecil itu akan menghancurkan kekuasaan dinastinya. Sebagaimana telah tersebar dalam hadis, imam kedua belas dari Ahlul Bait as itu akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi kezaliman. Ihwal Mu’tamid bagi Imam Mahdi as laksana Fir’aun bagi Musa yang dilepaskan ibunya di laut (sungai Nil) saat masih bayi lantaran kuatir kepadanya.
Tidak hanya Mu’tamid, kabar ini juga diketahui penguasa sebelumnya, seperti Mu’taz dan Muhtadi. Karena itu, Imam Hasan Askari as bersikeras dan berusaha agar kabar kelahiran putranya, Imam Mahdi as, tidak tersebar kecuali di antara para sahabat pilihan dan pembantu beliau. Sikap dan perlakuan penguasa itu menyingkapkan fakta bahwa mereka dan umat manusia telah memahami secara benar, bahwa hadis Jabir ibn Samarah tidak sesuai dengan harapan mereka dan harapan para pendahulunya dari dinasti Umawiyah, dan bahwa satu-satunya mishdaq (personifikasi) dari hadis tersebut adalah Ahlulbait sebagai bandara wahyu dan al-Quran.
Mereka yakin, anak itu adalah Mahdi as yang dinantikan, yang telah disinggung hadis-hadis mutawatir. Kalau bukan dikarenakan keyakinan ini, lantas bahaya apa yang dapat mengancam eksistensi mereka dari wujud seorang anak kecil yang umurnya tak lebih dari lima tahun.
Seorang ulama mengatakan, jika kelahiran itu memang betul tidak terjadi, lantas, apa arti dari penangkapan para pembantu dan pengerahan para serdadu untuk mengawasi mereka dan menggeledah wanitanya yang mengandung dalam tempo yang tidak dapat dibenarkan, di mana salah satu pembantu wanita Imam Askari as diawasi selama hampir dua tahun. Belum lagi pengusiran dan teror terhadap para sahabat Imam as, lalu penyebaran mata-mata untuk mencari kabar tentang Imam Mahdi as serta pengawasan rumah beliau yang sedemikian ketat dan keras.
Dari semua itu, kenapa para penguasa tidak puas dengan apa yang dikatakan Ja’far bahwa saudaranya mati tanpa meninggalkan keturunan? Tidakkah mereka lebih mampu memberikan hak waris kepadanya sehingga segala sesuatunya berakhir tanpa perlu melakukan tindakan bodoh yang menunjukkan ketakutan dan kekalutan mereka terhadap putra Imam Hasan ajjalallahu ta’ala farajahusysyarif (semoga Allah mempercepat kemunculannya)?
Memang, ada yang mengatakan bahwa itikad kuat penguasa saat itu untuk memberikan hak-hak kepada pemiliknya menjadi alasan yang membuat mereka menyelidiki keberadaan putra beliau sehingga Ja’far tidak serta-merta mendominasi warisan Imam Askari as hanya lantaran kesaksiannya itu. Kami katakan bahwa tidak sewajarnya penguasa saat itu melakukan kontrol sebegitu ketat hanya untuk tujuan tersebut. Bahkan seharusnya penguasa Abbasiyah memproses dan menyerahkan klaim Ja’far al-Kadzab kepada salah satu hakim. Apalagi sekadar kasus warisan yang lumrah terjadi, sehingga ia secara leluasa dapat melakukan pemeriksaan dan penyelidikan. Misalnya dengan memanggil bibi Imam Hasan Askari as, ibu, pembantu-pembantu wanita beliau, dan kerabat dekat dari suku Bani Hasyim, lalu mendengarkan keterangan dan kesaksian mereka sehingga kasus itu menjadi tuntas.
Namun, sampainya kasus ini ke tangan elit tertinggi kekuasaan sebegitu cepatnya sementara jenazah Imam Askari as belum dikebumikan. Dan keluarnya kasus ini dari lingkungan pengadilan yang semestinya ditangani di dalamnya, serta sikap zalim penguasa sejauh yang telah kita sebutkan. Semua itu meyakinkan kita bahwa para penguasa saat itu telah mengetahui wujud Imam Mahdi yang dijanjikan; mata terakhir dari silsilah suci yang tak akan terputus dengan wafatnya Imam Kesebelas, terlebih ketika hadis ‘Tsaqalain’ Rasul saw ini diriwayatkan secara mutawatir, bahwa, “Dan keduanya (al-Quran dan Ahlulbait) tidak akan terpisah sehingga keduanya datang kepadaku di telaga surga kelak.”
Artinya, tidak lahirnya Imam Mahdi as atau lenyapnya wujud beliau sama saja dengan kepunahan ‘al-Itrah’, dan tak seorang pun yang disebut Imratul Mukminin dari dinasti Abbasiyah akan menerima konsekuensi ini; yaitu pengingkaran atas sabda Nabi saw yang agung, bahkan tak pernah keluar dari mulut seorang muslim sekalipun kecuali mereka yang meremehkan ihwal pendustaan terhadap Nabi saw, atau mereka yang menipu diri sendiri dengan berupaya menakwil hadis ‘Tsaqalain’ dan menyimpangkannya kepada makna yang bukan sebenarnya. [Difa’ ‘anil Kulaini, Hasan Hasyim Tsamir ‘Amidi, 1/567-568]
e. Pengakuan Ulama Ahlusunnah ihwal Kelahiran Imam Mahdi as
Sayyid Tsamir ‘Amidi berkata, ”Para tokoh fikih, tafsir, hadis, sejarah, sastra, dan bahasa dari ulama Ahlussunnah telah menyatakan seratus lebih pengakuan yang begitu tegas mengenai lahirnya Imam Mahdi as. Sebagian mereka menandaskan bahwa Muhammad ibn Hasan Mahdi adalah imam yang dijanjikan kemunculannya di akhir zaman. Pengakuan ini disusun sesuai urutan kehidupan para pengaku. Maka dari itu, pengakuan tersebut berurutan sesuai kronologi zamannya, sehingga seluruh para pengaku itu hidup sezaman dengan pengaku sebelumnya. Ini dimulai sejak masa kegaiban singkat dan berlanjut hingga masa kita sekarang.
Pada lembaran berikutnya, kami akan menyebutkan pengakuan sebagian mereka yang kami temukan dalam sumber-sumber mereka. Selebihnya, kami cukup menyebutkan nama-nama selain mereka, karena kita tidak mungkin mencatat semuanya dalam bagian ini, karena pengakuan 29 orang dari mereka yang termuat dalam kitab Ilzamun Nashib mencapai seratus halaman. [Ilzamun Nashib fi Itsbatil Hujjah al-Gaib, Syeikh Ali Yazdi Hairi, 1/321-440]
Di samping itu, apa yang akan kami bawakan tanpa menyinggung sumbernya di catatan pinggir adalah alasan rujukan kami dari kitab-kitab Syiah Imamiyah yang lebih dulu mengkaji topik ini dengan mencatat bab, halaman, tempat, dan tahun cetaknya. Dapat dikatakan bahwa pembahasan paling luas dalam topik ini adalah kitab Al-Mahdi al-Muntazhar fi Nahjil Balaghah karya Syeikh Mahdi Faqih Imani. Ia menyebutkan sekitar 102 orang dari perawi Ahlussunnah yang menyatakan pengakuan dan kesaksian mereka. [Syeikh Mahdi Faqih Imani, Mahdi al-Muntazhar fi Nahjil Balaghah, 16-30]
Syeikh Mahdi hanya menyebutkan nama mereka dan sumbernya, termasuk bab dan halamannya, tanpa membahas redaksinya, dan boleh jadi terdesak untuk memastikan mediatornya secara definitif. Sesungguhnya, terdapat sekitar 30 nama yang luput dari analisis Syeikh Mahdi, padahal mereka adalah referensi kami yang paling baik. Namun, kami tidak akan menyinggungnya sedikit pun, karena ulama selain kami telah melakukannya, sehingga peran kami pada poin ini hanya sekadar mengumpulkan dan menyusunnya secara kronologis. [Difa’ Anil Kafi, 1/568]
Masih dari Syeikh Mahdi, bahwa terdapat 128 penulis dari kalangan ulama Ahlussunnah yang mengulas Imam Mahdi as dalam salah satu kitabnya; al-Imam ats-Tsani ‘Asyar min Aimmati Ahlil Bait. Jelas, kesaksian mereka memiliki nilai sejarah yang khas dan termasyhur. Di antara nama-nama itu, ada yang hidup semasa dengan masa kelahiran Imam Mahdi as dan kegaiban singkat beliau as, yaitu:
Abu Bakar Ruyani, Muhammad ibn Harun, wafat 307 H, dalam kitab al- Musnad. Ahmad ibn Ibrahim ibn Ali Kindi, salah satu murid Ibnu Jarir Thabari, wafat 310 H. Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Tsalj, Abu Bakar Baghdadi, wafat 322 H, dalam kitab Mawalidul Aimmah yang dicetak dalam kitab al-Fusulu al-Asratu lil Ghaibah, karya Syaikh Mufid, dan kitab Nawadir ar-Rawandi, cetakan Najaf, 1370 H. Mereka yang masa hidupnya dekat dengan ulama-ulama besar, seperti: Kharazmi, wafat pada 387 H (Mafatihul Ulum, hal. 32-33, cet. Leiden, 1895).
Abdul Karim Albahbani, “Mahdiisme dalam Perspektif Ahlulbait as”