ICC Jakata – Terdapat ungkapan terkenal tentang cinta bahwa cinta itu buta. Ketika seseorang mencintai kekasihnya, matanya buta untuk melihat kekurangan kekasihnya itu. Jika pun ia menyadarinya ia tidak mau tahu. Rasulullah pun dalam hal ini bersabda: “Kecintaanmu pada sesuatu akan membutakanmu dan menulikanmu.” (Ghurarul Hikam: 6314, 7718, 2703)
Namun bagaimanakah Islam memandang cinta? Islam memberikan bimbingan kepada kita untuk mengetahui siapa sebenarnya kekasih kita yang sejati. Dalam hal ini Imam Ali bin abi Thalib berkata: “Orang yang mencintaimu akan mencegahmu.” (Ghurarul hikam: 6314, 7718, 2703)
Penjelasan dari hadis tersebut adalah bahwa orang yang mencintai akan mencegah kekasihnya dari perbuatan munkar atau keburukan dan menjauhkannya dari segala keburukan yang akan merugikan dirinya. Pecinta sejati akan menjauhkan yang dicintainya dari segala mara bahaya yang mencintainya. Dengan cara apa? Adakalanya dengan anjuran-anjuran untuk mengerjakan sesuatu, pada kali yang lain ia akan melarang seseorang yang dicintainya untuk menghindari dari segala sesuatu yang membahayakan dan lainnya.
Sikap orang tua kepada anaknya pada dasarnya untuk kebaikan anak-anak itu sendiri. Larangan-larangan yang diperlihatkan orang tua kepada anak akan memiliki nilai-nilai positif bagi anaknya. Orang tua selalu ingin agar anak-anaknya berada dalam keadaan baik dan sehat, berprestasi dan lain sebagainya. Tentu bagi anak akan sulit dan susah untuk menerima anjuran-anjuran dan larangan-larangan yang telah digariskan oleh orang tua mereka. Namun jika anak-anak itu mengikuti dan menjalankan aturan-aturan yang diterapkan oleh orang tua, maka tentulah keselamatan dan kebaikan kehidupan akan menyelimuti dan melingkupi anak-anaknya.
Begitupun sikap Allah Swt kepada manusia, tentu tidak bisa dianalogikan antara cinta orang tua dengan cinta Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya, namun hal ini adalah hanyalah merupakan upaya untuk dapat sedikit memahami bagaimana cinta Allah Swt kepada para hamba-Nya.
Dari sisi lain, kecintaan yang paling mulia dan tertinggi dalam Islam adalah kecintaan hamba terhadap Tuhannya. Dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 24 disebutkan:
“Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq.”
Jadi kesimpulannya, sebesar apapun kecintaan kita kepada hal-hal lain, jangan sampai melebihi cinta kita kepada Allah Swt. Kecintaan kita kepada hamba-hamba Allah Swt sebagai hubungan kecintaan suami kepada istri, dan sebaliknya, kecintaan orang tua kepada anak dan lain sebagainya harus dijadikan wasilah dan perantara saja untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Ruang lingkup cinta pun tentu tidak hanya hubungan antara individu dengan individu lainnya atau cinta orang tua kepada anak-anak mereka, cinta suami kepada istri dan sebalikinya, namun masih banyak lagi masalah cinta dalam Islam, misalnya bagaimana Islam menjelaskan tentang kecintaan kita terhadap keluarga dan orang-orang di sekitar kita. Imam Ali as: “Kedekatan itu lebih membutuhkan cinta daripada tuntutan cinta terhadap kedekatan.”
Ini berarti kita dituntut untuk lebih mencintai kekasih, keluarga, sanak saudara, tetangga, dan orang-orang disekitar kita. Karena mereka lebih dekat dengan kita. Kita dituntut untuk lebih peduli terhadap mereka, dan cinta adalah unsur yang tidak boleh dilupakan dalam hal ini sehingga hubungan kita dalam keluarga akan harmonis dan ada kehangatan dalam berinteraksi dalam rumah tangga.[]