ICC Jakarta – Sebagaimana telah diketahui bahwa Imam Mahdi As mengalami dua macam periode keghaiban; keghaiban minor (ghaibah shughra) dan keghaiban mayor (ghaibah kubra).
Adapun salah satu filsafat dan sebab-sebab keghaiban shughra adalah sebagai wadah persiapan bagi manusia khususnya kaum syiah guna menghadapi keghaiban kubra yang akan menanti. Melihat bahwa sebelumnya, kaum syiah memiliki seorang Imam yang dalam keadaan apapun, mereka mampu menjalin hubungan dengan mempertanyakan permasalahan-permasalahan mereka kepadanya.
Oleh karena itu, jika Imam Mahdi As tiba-tiba mengalami keghaiban kubra, maka secara tiba-tiba, kaum syiah akan sangat kehilangan seorang pemimpin. Dan mereka tidak lagi dapat mengutarakan segala permasalahan-permasalahan kepadanya secara langsung. Dengan demikian, sangat mungkin hal itu akan menyebabkan kaum syiah menjadi was-was dan bahkan dapat menyebabkan mereka menjadi terpecah belah.
Sehingga, ghaibah shughra menjadi sangat diperlukan sebelum datangnya ghaibah kubra. Karena dengan demikian, masyarakat akan lebih dapat mempersiapkan diri mereka. Dalam periode ghaibah sughra, Imam Mahdi As sudah berada dalam keghaiban, akan tetapi, dalam periode ini, beliau masih tetap memiliki hubungan dengan para pengikutnya (kaum syiah) melalui beberapa duta dan utusan yang beliau percayai[1].
Setelah berlalunya masa kurang lebih 69 tahun lamanya, baru kemudian Imam Mahdi As memasuki periode keghaiban mayor (ghaibah kubra).
Terkait dengan kapan Imam Mahdi As mengalami keghaiban sughra, terdapat perselisihan. Satu kelompok beranggapan bahwa ghaibah shughra dimulai semenjak ia dilahirkan[2], sedangkan kelompok kedua mengatakan bahwa ghaibah shughra tersebut dimulai semenjak wafat dan syahidnya Imam Hasan Al-‘Askari[3]. Lebih penting dari itu semua bahwa sebenarnya, kegaiban sughra merupakan sebuah persiapan untuk menghadapi ghaibah kubrah. Sementara ghaibah kubra sendiri sejatinya juga merupakan sebuah wadah persiapan untuk menghadapi masa zuhur dan kemunculan Imam Mahdi As. (Dars Nameh Mahdawiyat II, Khuda Murad Salimiyan)
Daftar Pustaka
[1]. Sayid Muhammad Shadr Baqir, Rahbari ba Farâz-e Qurûn, Teheran, Ma’ud, 1379 HS, hal. 101.
[2]. Muhammad bin Nu’man ‘Ukhbari (Syaikh Mufid), Al-Irsyâd, Qum, KonggresSyaikh Mufid, 1413 HQ, jil. 2, hal. 340.
[3]. Muhammad Hasan Thusi, Kitâb al-Ghaibah, Qum, Muassasah Ma’arif Islami, 1411 HQ, hal. 159; Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Kâfi, Teheran, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1365 HS, jil. 1, hal. 341; Muhammad bin Ibrahim Nu’mani, Al-Ghaibah, Teheran, Maktabah Al-Shaduq, 1397 HQ, hal. 149.