Membicarakan perihal sosok Amirul Mukminin Ali as. bukanlah sesuatu yang mudah. Jika kita mengatakan jalan yang lurus itu lebih halus daripada sehelai rambut dan lebih tajam daripada sebilah pedang, maka kita harus mengatakan bahwa contoh dari hal itu ialah pembicaraan mengenai Amirul Mukminin Ali as. Banyak sekali buku yang telah ditulis mengenai Amirul Mukminin, dan banyak sekali syair yang telah dikatakan tentang beliau. Baik musuh maupun teman, Muslim maupun non-Muslim telah memberikan kesaksian akan hak-hak Imam Ali as.
George Jordac misalnya, ia telah menulis sebuah buku tentang Amirul Mukminin dengan judul Ali dan Suara Keadilan Kemanusiaan. Di dalam bukunya itu, dengan rinci dan menarik. George Jordac berbicara mengenai ilmu dan perjalanan hidup Imam Ali as. Buku ini sedemikian bagusnya sehingga seolah-olah merupakan sebuah ensiklopedia. Demikian juga buku yang telah ditulis oleh Abbas Mahmud al-Akkad dengan judul Kejeniusan Imam Ali. Begitu juga Ahmad Taimur telah menulis buku tentang Imam Ali dengan judul Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya Thaha dan Taufik al-Fakiki. Semua buku ini ditulis bukan oleh orang Syiah.
Imam Ali telah mendorong umat untuk mencari ilmu, dan menjadikannya sebagai pelita bagi mereka. Beliau telah menguasai pengetahuan dan menjelaskan jalan yang lurus kepada manusia sehingga jalan yang lurus itu benar-benar menjadi jelas bagi mereka. Dia juga telah menetapkan ajaran-ajaran yang dibentengi dengan kebenaran dan kebaikan.
Imam Ali as. telah meniti jalan khusus di dalam pengetahuannya. Dia mengangkat derajat ilmu dan orang berilmu. Karena, dia tahu betul bahwa kemanusiaan dapat bangkit dengan perantaraan keduanya, dan dengan keduanya pula manusia mampu memanfaatkan hidup dalam bentuk yang paling utama.
Pandangan Imam Ali as. tentang kebenaran merupakan pandangan irfani dan kemanusiaan, yang membawa manusia kepada kebahagiaan dan kenyamanan. Karena, kebenaran adalah sesuatu yang lebih berhak untuk diikuti. Dengan kebenaran, hukum dan masyarakat dapat berpadu dalam satu kemaslahatan; dengan kebenaran, manusia dapat mengetahui kemanusiaannya; dan dengan kebenaran, keadilan sosial dapat menyebar dari dan kepada masyarakat.
Penulis kitab al-Manaqib telah menukil dari Zamakhsyari di dalam kitabnya al-Mustashqa mengenai putusan seorang hakim. Penulis kitab al-Manaqib itu menceritakan, Amirul Mukminin Ali as. melihat seorang pemuda yang sedang menangis, lalu dia pun menanyakan apa sebabnya. Pemuda itu menjawab: “Ayah saya telah bepergian dengan mereka, namun tatkala mereka kembali ayah saya belum juga kembali, sementara ayah saya mempunyai harta yang banyak. Lalu saya mengadukan mereka kepada hakim, namun hakim justru memvonis saya.”
Mendengar itu, Imam Ali a.s. menyelidiki kejadian yang sesungguhnya. Dia melakukan sesuatu yang berbeda dengan hakim tadi di dalam menetapkan hukumnya. Imam Ali as. mencari bukti-bukti, namun dia tidak dapat memintanya dari pemuda itu. Seorang hakim harus mempunyai cara-cara tertentu untuk bisa mengumpulkan bukti-bukti dan menyelidiki perkara, untuk kemudian menjatuhkan putusan. Imam Ali as. telah menggunakan satu cara dalam mengungkap perkara ini.
Imam Ali as. memanggil salah seorang dari mereka dan menanyainya tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan perjalanan mereka dan orang yang terbunuh bersama mereka. Kemudian Imam Ali mengucapkan takbir, dan demikian juga orang yang bersamanya. Ucapan takbir itu diucapkannya dengan suara yang keras sehingga terdengar oleh para tertuduh lainnya, namun para tertuduh lainnya itu tidak menghadiri pembicaraan temannya yang sedang diperiksa, sehingga mereka mengira bahwa temannya itu telah mengakui kejahatannya.
Kemudian Amirul Mukminin a.s. memerintahkan supaya dia dibawa ke penjara. Selanjutnya Amirul Mukminin as. memanggil seorang lagi dari mereka, dan manakala orang itu masuk, dengan tiba-tiba Amirul Mukminin as. berkata: “Kamu mengira saya tidak tahu apa yang telah kamu perbuat?”
Maka orang itu pun mengakui perbuatannya. Setelah itu Imam Ali as. memanggil semuanya, dan mereka semua pun mengakui perbuatan mereka.
Diriwayatkan bahwa Imam Ali lah yang pertama-tama memisahkan para saksi di dalam Islam, dan dialah yang pertama kali mencatat kesaksian yang diberikan para saksi.
Syaikh Ash-Shaduq telah meriwayatkan dari Said bin Tharif, dari Asbag yang menceritakan ada seorang laki-laki datang kepada Amirul Mukminin as. dan berkata: “Wahai Amirul Mukminin, saya telah berzina. Oleh karena itu sucikanlah saya.”
Imam Ali as. pun berkata kepada kaum: “Apakah salah seorang di antara kamu jika melakukan dosa ini dia tidak mampu menutupi dirinya sebagaimana Allah menutupinya?”
Laki-laki itu berkata lagi: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya saya telah berzina, maka sucikanlah saya.” Imam Ali as. bertanya kepada laki-laki itu: “Apa yang mendorongmu untuk mengatakan itu?” Laki-laki itu menjawab: “Mencari kesucian” Imam Ali as. berkata: “Kesucian mana yang lebih utama daripada tobat?”
Asy’ats menanyakan tentang tidak diberlakukannya hukuman atas laki-laki itu oleh Imam Ali a.s. Imam Ali a.s. menjawab: “Jika terdapat saksi maka tidak ada hak bagi imam untuk mengampuni. Namun, jika seseorang mengakui sendiri bahwa dia telah melakukan sesuatu, maka jika imam ingin mengampuninya dia dapat mengampuninya, maka jika dia ingin menjatuhkan hukuman padanya maka dia pun dapat melakukannya.”
Para sejarawan terpercaya telah menulis kata-kata yang sering diucapkan oleh Umar bin Khattab tentang Imam Ali, yaitu: “Ali telah memutuskan hukum bagi kita.” Bunyi perkataan ini dapat dijumpai di dalam kitab ash-Shawa’iq al-Muhriqah, karya Ibn Hajar asy-Syafi’i, halaman 78; atau juga di dalam kitab ar-Riyadh an-Nadharah, jilid 2, halaman 198.
Begitu juga perkataan Umar bin Khattab yang berbunyi: “Saya akan berada di dalam kesulitan jika tidak ada Abu Hasan.” Kata-kata ini dapat dijumpai di dalam kitab al-Isti’ab, karya Ibn Abdilbar, jilid 2, halaman 484. Demikian juga di dalam kitab Dakha’ir al-‘Uqba, karya ath-Thabari asy-Syafi’i, halaman 82.
Di dalam kitab al-Isti’ab disebutkan bahwa Siti Aisyah telah berkata tentang Ali: “Sesungguhnya dia adalah orang yang paling mengetahui sunah Nabi Saw.” Ketika Aisyah ditanya tentang Ali, Aisyah berkata: “Dia itu sebaik-baiknya manusia, dan tidaklah ragu kepadanya kecuali orang kafir.” Kata-kata ini pun dapat dijumpai di dalam kitab Kifayah ath-Thalib, al-Kanji asy-Syafi’i, halaman 119; Yanabi’ al-Mawaddah, karya al-Qanduzi al-Hanafi, halaman 246.
Ketika cendekiawan umat, Abdullah bin Abbas salah seorang tempat rujukan besar Islam ditanya tentang ilmu yang dimilikinya dibandingkan dengan ilmu Ali bin Abi Thalib, dia menjawab: “Tidak ubahnya seperti setetes air hujan dibandingkan lautan yang luas.”
Adapun kesaksian Rasulullah Saw yang telah menyertai, mendidik, dan membesarkannya, merupakan sebaik-baiknya kesaksian. Dari al-Kanji asy-Syafi’i di dalam kitabnya, al-Kifayah, halaman 98; dari Ibn Hajar di dalam kitabnya, ash-Shawa’iq al-Muhriqah, halaman 73; dari Khawarizmi al-Hanafi di dalam kitabnya, al-Manaqib, juz 7, halaman 40; dari Khatib al-Bagdadi di dalam banyak kitab; dan dari banyak sumber rujukan lainnya disebutkan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda, “Saya adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya.”
Dari Syeikh Sulaiman al-Qanduzi al-Hanafi di dalam kitabnya, Yanabi’ al-Mawaddah, halaman 254, disebutkan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: “Ali adalah pintu ilmuku, dan penjelas bagi apa yang aku diutus dengannya kepada umatku sepeninggalku.”
Al-Qur’an al-Karim berkata dalam surat al-Baqarah: 189: “Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya.” Dan, Ali adalah pintu ilmu Rasulullah Saw.
*Disarikan dari buku karya Ayatullah Husain Mazhahiri – Jihad Melawan Hawa Nafsu