ICC Jakarta – Kalau kita melihat sifat-sifat Allah yang terangkum dalam sifat-Nya ataupun dalam asma-Nya kita akan dapati bahwa banyak sekali dari sifat-sifat Allah yang kembali kepada sifat keadilan yang Allah miliki. Jika kita berbicara tentang keadilan Allah, yang kita katakan adalah bahwa Allah Mahaadil dalam tiga hal. Pertama, keadilan Allah dari sisi alam penciptaan atau takwini; kedua, keadilan Allah dalam hal perintah atau syariat yang diturunkan oleh-Nya; dan ketiga, keadilan Allah saat Allah membalas hamba-hamba-Nya atas semua perbuatan mereka selama hidup di dunia.
Keadilan Allah yang berhubungan dengan alam penciptaan atau keadilan takwini adalah sesuatu yang Allah tidak akan pernah membiarkan potensi yang ada dan dimiliki oleh suatu calon makhluk kecuali Allah akan memberikan potensi itu kepadanya. Ketika memberikan potensi-potensi itu Allah tidak pernah merasa bakhil atau kikir kepada hamba-hamba-Nya. Dalam sebuah ayat Alquran Allah berfirman, Rabbunalladzi a’thâ kulla syai`in khalqahu tsumma hadâ. “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (20: 50). Allah-lah yang telah memberikan kepada setiap makhluk-Nya segala sesuatu yang diperlukan, termasuk juga potensi-potensinya. Jika Allah melihat pada diri seorang manusia ada potensi dan bakat tertentu yang jika diberikan kepadanya dia akan menggunakan bakat itu dengan sebaik-baiknya, Allah pasti akan memberikan kepadanya.
Berikutnya adalah keadilan tasyri’i, yaitu keadilan yang berhubungan dengan alam perintah dan larangan Allah. Dalam alam tasyri’i Allah menyatakan bahwasanya setiap manusia yang Allah ciptakan di muka bumi adalah makhluk-makhluk yang bisa meniti derajat-derajat ketinggian spiritual di sisi Allah. Karena itu, Allah tidak membiarkan makhluk yang memiliki potensi untuk bisa mencapai derajat yang tinggi ini kecuali Allah bukakan jalan kepadanya untuk bisa meraih jalan kesempurnaan.
Salah satu jalan kesempurnaan adalah dengan memberinya akal dan yang kedua adalah dengan mengutus para nabi dan rasul supaya bisa menggandeng tangan manusia kepada kesempurnaan. Allah menurunkan apa yang wajib dan apa yang haram tujuannya adalah supaya manusia bisa meniti tingkat jenjang spiritual dan kesempurnaan itu. Dalam surah al-Nahl ayat 90 Allah berfirman, Innallāha ya`muru bil-‘adli wal-iḥsāni wa ītā`i żil-qurbā wa yan-hā ‘anil-faḥsyā`i wal-mungkari wal-bagyi ya’iẓukum la’allakum tażakkarụn. Ayat ini mengatakan bahwasanya sesungguhnya Allah telah memerintahkan (manusia) untuk berlaku adil, berlaku kebajikan, dan memberi kepada orang-orang yang terdekat dari keluarga, lalu Allah juga mencegah tiga perbuatan buruk: pertama, faḥsyā atau kebejatan; kedua adalah mungkar, dan yang ketiga adalah baghyi (permusuhan).
Allah telah memerintahkan tiga hal yang bisa mengangkat derajat manusia menuju kepada kesempurnaan, dan melarang dari tiga hal juga yang bisa menjatuhkan manusia ke dalam lubang kemerosotan dan jurang kehancuran. Allah mengingatkan hal itu dalam ayat tersebut. Kemudian satu hal yang harus kita ingat bahwasanya Allah di alam tasyri’ saat menurunkan syariat-Nya tidak pernah menurunkan syariat yang tidak bisa dilakukan oleh hamba-Nya. Ketika Allah memerintahkan hamba-Nya untuk melakukan sesuatu, pasti hamba itu bisa melakukannya. Jika Allah melarang sesuatu, maka pasti orang atau hamba itu bisa meninggalkannya.Tidak ada yang namanya perintah atau larangan yang di luar kemampuan manusia. Dalam surah al-Baqarah ayat 286 dan juga di surah al-Mu’minun ayat 62, Allah berfirman, Lā yukallifullāhu nafsan illā wus’ahā, Allah tidak akan pernah memberikan taklif dan kewajiban kepada manusia kecuali sesuai kemampuannya.
Yang ketiga adalah keadilan Allah dari sisi pemberian balasan. Artinya, Allah tidak akan menyia-nyiakan perbuatan seseorang mukmin yang beramal ibadah, berbuat kebajikan; demikian Allah juga tidak akan membiarkan kekafiran orang-orang kafir, orang yang mendapatkan siksaan di akhirat pasti mendapatkan siksaan karena dia telah melakukan pelanggaran. Dalam memberikan ancaman kepada hamba-hamba-Nya bahwa kelak di akhirat ada siksaan, tetap Allah mengecualikan orang-orang yang tidak pernah mendapatkan peringatan, orang yang tidak pernah mendengarkan kebenaran, yang tidak pernah kebenaran sampai kepada mereka dikecualikan dari pemberian siksa atau balasan. Allah berfirman, Wa mâ kunnaa mu’adzdzibiin hatta nab’atsa’ rasûlâ. “Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul
(17: 15). Tidak mungkin Allah akan mengazab suatu kaum sebelum Allah mengutus rasul ke tengah-tengah mereka.
Ada istilah yang disebut dengan itmam al-hujjah, yakni tidak ada lagi alasan bagi seorang hamba untuk mengingkari Allah, tidak ada lagi alasan bagi seorang hamba untuk tidak mengikuti kebenaran. Jika seorang hamba sudah sampai kepada tingkatan semacam itu, lalu dia tidak mengikuti kebenaran, Allah berhak untuk mengazabnya. Sementara orang yang tidak pernah mendengar seruan kebenaran, tidak pernah mendengar ajakan kepada tauhid sampai kepadanya lalu dia mati dalam keadaan tidak bertauhid dan tidak melakukan amal kebajikan, Allah tidak akan menyiksa orang yang seperti itu.
Berikutnya lagi di alam jaza’ atau alam pembalasan. Allah tidak akan pernah menyiksa orang yang berbuat kebajikan. Orang yang mukmin tidak mungkin akan dimasukkan ke dalam azab. Allah berfirman mengenai diri-Nya, wa nadha’u al-mawâzîna al-qistha liyawm al-qiyâmati falâ tuzhlamu nafsun syay-a. “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun” (21:47).
Pada Hari Kiamat nanti semua timbangan keadilan akan ditegakkan oleh Allah dan tidak ada seorangpun hamba pun yang akan dizalimi di hari itu.
Menyoal Keadilan Allah
Berbicara mengenai keadilan Allah juga tidak lepas dari kritikan-kritikan atau pernyataan-pernyataan miring sekelompok orang tentang keadilan Allah. Mereka menyoal kalau memang benar-benar Allah itu adil, mengapa Allah menciptakan si fulan kaya sementara si fulan miskin? Jika Allah itu adil, mengapa Allah menciptakan si fulan itu dengan wajah yang tampan sementara si fulan tidak memiliki ketampanan? Jika Allah itu adil, mengapa Allah menurunkan hujan yang sedemikian deras sampai mengakibatkan banjir? Mengapa Allah mengguncang bumi dalam gempa? Mengapa Allah meniupkan badai dan angin topan yang merusak kota-kota dan negeri-negeri serta mengakibatkan banyak orang yang kehilangan nyawa? Jika Allah itu adil, mengapa ada kejahatan-kejahatan di muka bumi? Mengapa ada keburukan-keburukan di dalam kehidupan?
Hal-hal semacam ini diungkapkan untuk seakan-akan menyoal keadilan Allah. Sayangnya sebagian orang yang menyoal keadilan Allah itu dengan hal-hal semacam ini berujung kepada pengingkaran akan keberadaan Allah. Mereka lalu mengatakan bahwa tidak ada yang namanya Tuhan, yang ada hanyalah pergerakan alam saja.
Untuk menghadapi masalah itu kita perlu mengenal filosofi di balik peristiwa-peristiwa dan ketidaknyamanan-ketidaknyamanan yang ada dalam kehidupan manusia.
Pertama, ketika memutuskan atau memvonis manusia cenderung memvonisnya dengan selera dirinya, yang menjadi ukuran adalah dirinya. Contoh ketika kita bertanya kepada seseorang, apakah tempat itu jauh ataukah dekat? Orang akan mengatakan tempat itu jauh, jauh dari mana? Jauh dari dirinya. Tempat itu dekat, dekat dari mana? Dekat dari dirinya.Orang mengukur jarak jauh dan dekat itu dengan dirinya. Begitu pula ketika orang berbicara masalah kebaikan dan keburukan, seringkali dia memberikan penilaian bahwa ini adalah baik atau buruk karena berkenaan dengan dirinya. Jika menguntungkan dia, maka baik, jika merugikan dia maka buruk.
Kita lihat saja misalnya ketika hujan turun lalu hujan itu membasahi sawah, para petani akan mengatakan ini adalah sebuah nikmat dari Allah. Tapi coba dilihat jika hujan itu turun lalu kemudian mengakibatkan orang yang sedang membangun rumah gagal untuk mengecor rumahnya, maka dia mengatakan hari yang naas karena hari ini hujan turun. Padahal, hujannya sama-sama hujan. Seorang menyebutnya sebagai hal yang baik karena menguntungkannya, sebagian menyebutnya sebagai hal buruk karena merugikannya.
Seringkali manusia dalam memberikan vonis ataupun penilaian berkacamata pada dirinya dan seakan-akan menganggap dirinya sebagai poros dalam membuat sebuah keputusan. Karena itu, kalau kita mau bicara tentang masalah keburukan dan kebaikan fenomena-fenomena yang terjadi di alam ini, kita tidak boleh menggunakan kacamata kuda, kacamata yang sempit. Kita harus melihat segala sesuatu itu dengan faktanya bukan dengan menggunakan diri kita sebagai tolok ukur.
Mungkin ketika ada suatu bangunan atau mungkin ada proyek jalan raya kemudian kita lewat di proyek itu kita menghadapi kemacetan, menghadapi kebisingan, belum lagi debu-debu yang mungkin berterbangan sehingga masuk ke mata kita dan menyakiti kita. Kita mengeluh atas apa yang kita alami. Kita tidak sadar bahwasanya proyek yang sedang dibangun ini akan menguntungkan jutaan orang pada tahun berikutnya ketika sudah jadi jalan layang atau jalan yang bisa memperlancar lalu lintas. Orang sering kali mengukur sesuatu dengan dirinya. Kalau dia menggunakan ukuran realitas yang sebenarnya, tidak akan muncul penilaian-penilaian seperti itu.
Contoh lain dalam masalah gempa bumi. Mungkin kita lihat gempa bumi adalah sebuah fenomena alam. Semua ahli mengatakan bahwa bumi itu perlu memang untuk mengalami guncangan-guncangan. Jika tidak ada, guncangan-guncangan dan bumi hanya stabil saja dan tenang tanpa ada goncangan, kelak suatu hari nanti bumi akan mengalami sebuah ledakan yang sangat dahsyat, karena energi-energi yang terkumpul akan keluar sekaligus dan itu akan menghancurkan bumi. Beda halnya dengan guncangan yang mungkin menimbulkan korban sekian ratus orang, sekian ribu orang tetapi menyelamatkan kondisi bumi secara umum.
Kalau kita mau melihat filosofi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam hendaknya kita menggunakan kacamata yang sebenarnya. Bukan kacamata yang sempit, lalu memandang suatu fenomena dengan menjadikan diri kita sebagai ukurannya. Karena kita harus menyadari apa pun juga yang kita ketahui adalah sesuatu yang kecil. Allah berfirman, wa mā ụtītum minal-‘ilmi illā qalīlā. “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (17:85). Kalian tidak Kami berikan ilmu kecuali sedikit. Sehingga penilaian-penilaian kalian jangan dibatasi dengan penilaian yang subjektif mengenai filosofi tentang masalah ketidaknyamanan dalam kehidupan, bencana-bencana yang terjadi di dalam kehidupan.
Poin kedua yang harus kita ingat adalah bahwa terkadang bencana-bencana itu memang sengaja Allah berikan kepada umat manusia supaya umat tersadarkan. Betapa banyak orang yang hidup dalam kenikmatan, kemewahan, kenyamanan, ketika dia dalam keadaan tidak ada goncangan sama sekali dalam kehidupan dia lupa kepada Allah. Perlu ada goncangan yang menggoncang kehidupan, lalu dia sadar bahwa dia adalah makhluk yang kecil, makhluk yang kerdil, lalu dia akan kembali kepada Allah.
Para pengemudi atau supir-supir yang sangat berpengalaman selalu mengeluhkan kalau ada jalan tol yang sedemikian mulus tanpa ada kelokan-kelokan tanpa ada naikan atau turunan. Mereka pasti akan mengatakan bahwa jalanan seperti ini adalah jalanan yang berbahaya. Mengapa? Karena dalam keadaan jalanan yang lurus tanpa ada kelokan-kelokan dan tanpa ada goncangan-goncangan orang cenderung santai dan kemudian mungkin dia akan tertidur. Itulah awal dari bencana. Beda halnya dengan dia yang mengemudi di jalan-jalan yang penuh dengan kelokan, penuh dengan guncangan, ada tanjakan ada turunan, maka dia akan lebih mawas diri dalam mengemudi dan itu akan lebih memberikan keselamatan kepada dia.
Kehidupan juga begitu. Jika kehidupan ada guncangan-guncangan, maka itu adalah filosofi dari kehidupan kita yang mengajak kita untuk berpikir lagi darimana guncangan-guncangan itu datang. Mungkin Allah sedang menegur kita, mungkin Allah sedang menunjukkan kasih-Nya dengan cara kita diperingatkan bahwa kita telah melakukan sebuah kesalahan dalam kita kembali kepada Allah. Mengenai hal ini Allah berfirman, fa akhadznāhum bil-ba`sā`i wa al-dharrā`i la’allahum yatadharra’ûn.(6: 42). Allah mengatakan bahwa Kami jadikan atau Kami timpakan kepada mereka keburukan dan ketidaknyamanan supaya mereka merendah, mengakui ada suatu kekuatan yang besar, yang kita harus tunduk kepadanya dan merasa kerdil di hadapannya, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjadi hamba-Nya yang baik.
Inilah pesan daripada tauhid bahwa keadilan Allah adalah keadilan yang merata. Keadilan yang meliputi sisi takwin maupun sisi tasyri’, dan sisi jaza’ atau pembalasan dari Allah. Bahwa segala ketidakbaikan, segala ketidaknyamanan, atau hal-hal yang secara zahirnya kelihatan sebagai tidak adil atau ketidakadilan dari Allah, itu adalah pandangan-pandangan yang keliru. Kita harus bisa memahaminya bahwa ini adalah hal yang terbaik yang Allah berikan kepada makhluk-Nya.
Keadilan Imam Ali
Imam Ali bin Abi Thalib as adalah manusia agung yang menjadi simbol keadilan. Dikatakan bahwasanya beliau syahid karena keadilan yang ditegakkan. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib pernah didatangi oleh sahabat beliau, dan sahabat Rasulullah saw yang mengatakan, “Wahai Amiril Mukminin, izinkan aku untuk berada di dalam pemerintahan dan menjadi gubernur di suatu tempat!” Beliau menolak untuk menjadikannya sebagai gubernur karena merasa bahwa orang tersebut tidak memiliki kelayakan.
Ketika Imam mengirim gubernur-gubernur baru yang dianggap oleh beliau sebagai orang-orang yang layak untuk membantu pemerintahan Alawi, ada seorang gubernur yang menolak untuk membaiat Imam Ali bin Abi Thalib. Kita tahu gubernur itu adalah Muawiyah bin Abi Sufyan. Setelah memerintah sebagai gubernur dari zaman Khalifah Umar bin Khaththab di Syam yakni 20 tahun lamanya. Dia menjadi penguasa di Syam walaupun sebagai gubernur, dan 20 tahun adalah masa yang cukup panjang untuk membuat sebuah tatanan tersendiri. Dia memiliki kekuatan yang sangat besar di Syam.
Ada orang-orang yang datang kepada Amirul Mukminin mengatakan, “Ya Ali, Anda boleh mengganti seluruh gubernur dengan gubernur-gubernur yang baru. Tetapi biarkan Muawiyah untuk sementara ini menjadi gubernur di Syam. Lalu ketika nanti masanya sudah tepat copot, Muawiyah ganti dengan yang lain.”
Imam Ali bin Abi Thalib, yang melihat bahwa Muawiyah tidak bisa mewakili pemerintahan Alawi di Syam, bersikeras dan mengatakan dalam keputusannya bahwa Muawiyah harus dicopot, tidak boleh seharipun Muawiyah menjadi gubernur dari pemerintahan Alawi. Beliau mengutip ayat Alquran, wa mâ kuntu muttakhidz al–mudhillîna ‘adhuda. “Dan tidaklah Aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong.” (18: 51). Yakni, aku tidak akan pernah menjadikan orang yang menyesatkan manusia-manusia lain sebagai tangan kananku.
Keadilan Imam Ali bin Abi Thalib inilah, menurut para penulis sejarah, sebagai penyebab beliau kemudian diperangi dalam tiga peperangan besar dan berakhir juga dengan kesyahidan beliau di mihrab di masjid Kufah.[] Naskah ini merupakan khotbah Jumat Ustaz Hafidh Alkaf, Jumat 05 Maret 2021, di ICC, Jakarta. Ditranskrip dan disunting seperlunya oleh redaksi Buletin Nur al-Huda.