Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Ikhwani wa akhwati raḥimakumullāh, pada kesempatan yang mulia dan penuh berkah ini, di hari Jumat yang mulia ini, saya mewasiatkan pada diri saya pribadi juga bagi kita semuanya senantiasa bertakwa kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā dalam setiap keadaan dan kondisi. Mudah-mudahan takwa kita semakin meningkat dan kita senantiasa dapat menjauhkan berbagai macam kejahatan dan kezaliman sampai akhir hayat kita. Insya Allah. Āmīn yā rabbal-ʿālamīn.
Ikhwani wa akhwati raḥimakumullāh, kita bersyukur kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā bahwa bulan suci Ramadan telah kita nikmati dan kita lewati dengan penuh khidmat. Insya Allah harapan dan doa kita, semoga bulan yang penuh berkah tersebut betul-betul satu bulan yang mendatangkan berbagai rahmat, keberkahan, ampun, dan kebahagiaan untuk kita semua umat Islam. Āmīn yā rabbal-ʿālamīn.
Hanya pada bulan suci Ramadan tersebut kita diwajibkan berpuasa sebulan penuh dan kita tidak diwajibkan berpuasa pada sebelas bulan yang lainnya. Menyinggung masalah puasa, puasa secara fikih artinya kita menahan diri tidak makan, tidak minum, dan tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa dari mulai tiba waktu salat Subuh sampai tiba waktu salat Magrib. Perbuatan semacam ini disebut puasa secara fikih, dan ini hanya diwajibkan pada bulan suci Ramadan satu bulan penuh, tidak ada pada bulan-bulan yang lainnya.
Ikhwani wa akhwati raḥimakumullāh, sebagaimana kita ketahui dan kita yakini bahwa agama kita, agama Islam, tersusun dan terdiri dari tiga hal penting dan tiga hal yang pokok yang sangat mendasar, yaitu akidah, fikih, dan akhlak. Karena itu setiap amal perbuatan, setiap amal ibadah jika tidak berlandaskan atas keimanan yang benar maka akan sia-sia dan tidak mendatangkan makna apa-apa, tidak akan mendatangkan pahala dan keberkahan. Ibadah puasa di bulan Ramadan ketika tidak didasari dengan keimanan kepada Allah maka akan sia-sia belaka, tidak menghasilkan apa-apa sama sekali.
Terkait masalah ibadah puasa di bulan suci Ramadan, dan ketika kita mencoba untuk melihat hubungan di sini antara fikih dengan akhlak dalam masalah puasa ini, maka kita melihat bahwa imam kita, Imam Ja‘far aṣ-Ṣādiq ‘alayhis salām, menganjurkan kita untuk juga memperhatikan hal-hal yang sifatnya akhlak dalam masalah beribadah puasa. Bukan saja dalam masalah fikih, yaitu menahan diri dari lapar dan dahaga dan menjauhkan diri dari berbagai hal yang membatalkan puasa, tapi kita pun dituntut untuk memperhatikan akhlak dalam berpuasa.
Untuk itu beliau menyampaikan dalam kitab Mīzān al-Ḥikmah dari Kitab al-Kāfī, riwayat Muḥammad bin Muslim: “Jika engkau berpuasa, maka berpuasalah pula pendengaranmu, penglihatanmu, dan juga rambutmu dan kulitmu.” Beliau mengatakan bahwa beliau banyak menyebutkan hal yang lain yang tidak dijelaskan dalam hadis tersebut. Kemudian beliau berkata: “Jangan sampai hari-hari puasamu itu tidak ada bedanya sama dengan hari-hari bukan berpuasa.”
Dari hadis ini dan setelah kita memahami bahwa puasa secara fikih telah jelas buat kita, maka dapat kita pahami beberapa poin kalau kita hubungkan antara definisi puasa secara fikih dan puasa secara akhlak dalam sabda Imam Ja‘far aṣ-Ṣādiq ‘alayhis salām. Yang pertama adalah bahwa ada hubungan yang erat bahkan sangat erat dan bahkan tidak bisa dipisahkan antara fikih dan akhlak: puasa secara fikih kemudian secara akhlak.
Kemudian yang kedua, terkadang masalah berpuasa di bulan suci Ramadan. Setelah kita memahami tentang pengertian puasa yaitu tidak makan, tidak minum, dan tidak melakukan hal yang membatalkan puasa dari mulai terbit fajar ṣādiq sampai terbenam matahari atau waktu Magrib, maka kita pun harus juga memperhatikan dari sisi praktiknya, dari sisi pengamalannya, yaitu yang dikenal dengan puasa batin atau puasa akhlak. Artinya sebagaimana kita berpuasa, maka seluruh anggota badan kita pun berpuasa: mata kita berpuasa, telinga kita berpuasa, dan seluruh batin kita ikut berpuasa. Itu puasa secara batin, puasa secara akhlak.
Jadi fikih puasa itu hanya terbatas pada bulan suci Ramadan saja satu bulan penuh, sementara puasa akhlak itu wajib kita lakukan di sepanjang hayat kita selama ruh kita bersambung dengan badan kita, selama kita hidup maka kita diwajibkan mempraktikkan puasa secara akhlak. Sementara puasa secara fikih hanya pada bulan suci Ramadan saja. Dengan kata lain bahwa umat Islam itu diharuskan menghindari dirinya dari makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan puasa itu hanya terbatas pada bulan suci Ramadan saja. Tetapi kaum Muslimin harus menjaga seluruh anggota badannya, menjaga pikirannya, bahkan menjaga hatinya dari berbagai maksiat di sepanjang hayatnya selama hayat dikandung badan. Bahkan juga harus menjaga kesucian hati dan ruhnya dari berbagai kotoran maknawiah dan sifat-sifat yang buruk dan tercela hingga akhir hayat.
Poin yang keempat yang kita bisa ambil dari hadis tadi adalah bahwa setiap mukmin, setiap orang yang berhasil melakukan puasa fikih dan juga puasa akhlak, menggabungkan antara puasa fikih dan puasa akhlak yaitu puasa batin, maka sudah pasti akan mencapai derajat takwa. Sehingga yang Allah katakan hikmah puasa dapat dimiliki dan disandang oleh orang yang berpuasa secara fikih dan secara akhlak sekaligus.
Ikhwani wa akhwati rahimakumullah, salah satu puasa batin atau puasa akhlak yang harus kita lakukan sepanjang hayat kita adalah puasa lisan. Puasa lisan artinya kita harus selalu menjaga lisan kita agar tidak berbicara atau bercakap-cakap kecuali perkataan yang baik, ucapan yang benar, dan perkataan yang bermanfaat. Kita harus menjauhkan lisan kita sepanjang hayat kita dari ungkapan-ungkapan yang kotor, kata-kata yang jorok, kata-kata yang menyakitkan orang lain, mukhatab kita, dan yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Untuk itu, kita harus memahami hal-hal yang dilarang dan diharamkan oleh Allah terhadap lisan kita agar tidak kita sampaikan.
Terkait dengan masalah hikmah puasa, di sini Ayatullah Jawadi Amuli dalam kitabnya Hikmatul Ibadat pada halaman 135, beliau menulis subtema tentang hifdzul lisan. Beliau menulis dan menukil hadis Rasulullah:
“Wasilu arhamakum wahfadhū alsinata-kum.”
Ini penggalan dari khutbah Rasulullah dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Artinya: “Di bulan suci Ramadhan, perkuatlah hubungan silaturahmi di antara kalian dan jagalah lisan kalian.” Ini seiring dengan puasa batin atau puasa akhlak. Beliau mengatakan bahwa menjaga lisan dan silaturahmi serta berkata-kata yang baik itu tidak hanya terbatas pada siang hari bulan Ramadhan saja, dan tidak terbatas ketika berpuasa saja. Bahkan, menjaga lisan dan berkata yang baik, yang bermanfaat, dan tidak menyakiti yang lain itu harus dipelihara dan dijaga sepanjang bulan dan sepanjang tahun.
Kata beliau, menjaga lisan itu bukan saja bagian dari adab shaum (puasa), bukan hanya bagian dari adab berpuasa, bahkan menjaga lisan itu termasuk adab bulan puasa. Jadi, beliau membedakan antara adab berpuasa dan adab bulan puasa dan menekankan bahwa menjaga lisan adalah bagian dari adab bulan puasa. Dengan demikian, ini tidak hanya terbatas pada siang hari, tetapi juga berlaku di malam hari dan sepanjang hidup kita. Sejak bangun tidur sampai tidur kembali, sejak lahir hingga akhir hayat, lisan kita harus dijaga.
Ada riwayat dari Imam Ja’far Shadiq alaihissalam yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
“Man ‘arafallaha, barang siapa yang benar-benar mengenal Allah subhanahu wa ta’ala, betul-betul ma’rifatullah dengan pengertian dan pemahaman yang benar, juga mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala, maka dia akan dapat mencegah lisannya dari berkata-kata yang tidak baik, yang tidak ada manfaatnya.”
Jadi, efek dari ma’rifatullah adalah seseorang akan lebih mampu menahan lisannya untuk tidak berbicara sembarangan atau tidak bermanfaat. Bahkan, orang yang ma’rifatnya tinggi kepada Allah tidak akan sembarangan makan dan minum, bahkan jika yang halal. Dia senantiasa mengajak dirinya untuk berpuasa dan bangun di malam hari untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Itu adalah manfaat dan efek dari ma’rifah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Selanjutnya, kata beliau, menjaga lisan dan ucapan yang tidak bermanfaat dapat menyampaikan seseorang kepada ma’rifatullah. Rupanya, antara ma’rifatullah dengan sedikit berbicara, orang yang ma’rifahnya tinggi bicara sedikit namun berbobot dan bermanfaat. Sebaliknya, orang yang ma’rifahnya rendah banyak berbicara tanpa makna dan berbicara sembarangan.
Orang yang mengenal Allah subhanahu wa ta’ala, yang mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala, tidak akan menggunakan kata-kata yang tidak baik di hadapan-Nya. Bahkan, orang yang ma’rifahnya tinggi yang mengagungkan Allah tidak akan makan sembarangan, tidak mengotori perutnya dengan sembarang makanan dan minuman, sekalipun itu halal dan dibolehkan. Jadi, harus berhati-hati, apalagi dalam hal yang syubhat atau haram. Orang yang ma’rifat akan sangat berhati-hati, bahkan dalam hal yang halal sekalipun. Kita bisa mengukur ma’rifah kita kepada Allah sejauh kita mampu menjaga perut kita dari hal-hal yang tidak baik, dari minuman yang tidak baik sekalipun yang halal.
Kelezatan makan dan kenikmatan minum itu hanya sementara, hanya ketika berada di dalam mulut atau tenggorokan, setelah itu lenyap dan hilang. Itulah kelezatan materi yang hanya sekejap. Orang yang ma’rifahnya tinggi dan benar kepada Allah tidak akan sembarangan makan atau minum, selalu memilih-milih, dan mendidik dirinya untuk berpuasa serta tidak lalai dalam beribadah.
Beliau melanjutkan, ada seseorang yang senantiasa meminta nasihat kepada Abu Dzar. Orang itu berkata, “Wahai Abu Dzar, berikan aku sedikit ilmu darimu.” Abu Dzar menjawab:
“Ilmu itu banyak sekali, tetapi jika engkau mampu untuk tidak berlaku buruk kepada orang yang kau cintai, maka lakukanlah.” Di sini ada hubungan antara ilmu pengetahuan dengan akhlak yang baik, dengan berlaku baik kepada sesama teman dan tidak menyakitinya.
Orang itu berkata, “Apakah kamu lihat seseorang yang mencintai orang lain tetapi dia menyakitinya?” Abu Dzar menjawab: “Iya, betul. Bahwa jiwamu, dirimu, rohmu itu yang paling dekat dengan dirimu. Jika engkau bermaksiat kepada Allah, berarti engkau telah melakukan keburukan terhadap dirimu sendiri.”
Kemudian beliau melanjutkan, terkait masalah menjaga lisan: barang siapa yang senantiasa menjaga lisannya, tidak berkata-kata buruk, tidak mengucapkan kata-kata jorok yang sembarangan, selalu berkata-kata baik, dan selalu menjaga perutnya dari makan yang berlebihan atau sembarangan, serta senantiasa berpuasa dan shalat, maka orang ini termasuk orang mukmin biasa (mukmin adi). Dia bukan atau belum termasuk dari golongan aulia Allah atau wali allah.
Saya ulangi bahwa di sini beliau membagi antara mukmin yang adi (mukmin biasa) dengan mukmin yang termasuk aulia Allah. Mukmin yang biasa adalah setiap mukmin yang senantiasa menjaga lisannya dari kata-kata yang tidak baik, kata-kata yang kotor, menjaga perutnya dari berbagai makanan yang halal sekalipun, senantiasa berpuasa, salat, dan masalah sebagian itu baru derajat mukmin yang biasa, kata beliau. Adapun para aulia Allah, mukmin yang sadiqah pada waliyullah, kata beliau, mereka adalah ahli ta’mul, senantiasa berta’mul, senantiasa berpikir, senantiasa merenung, dan menjalani ma’rifatullah serta menjauhkan berbagai macam ucapan. Ketika mereka berucap atau berbicara, maka ucapan mereka mengandung dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Istilah mukmin di atas adalah mukmin yang biasa, tapi mungkin termasuk aulia Allah. Rasulullah bersabda di sini, Rasulullah mengenalkan kepada kita siapa waliyullah itu sebenarnya. Kemudian, apakah kita sudah sampai pada derajat tersebut atau belum? Jika kita pahami hadis ini, kita akan tahu siapakah waliyullah yang sebenarnya—apakah yang memiliki karomah, kelebihan, atau kehebatan, ataukah yang bagaimana. Kata Rasulullah, para wali Allah itu senantiasa diam, dan diamnya mereka itu adalah dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Jika saya ingat semasa Syeikh masih hidup dan saya mengalami beliau, beliau ketika keluar rumah menghadap kiblat langsung takbir salat sambil berjalan sampai di tempat tujuan, dan beliau tidak pernah berhenti dzikir di manapun beliau berada. Ketika salat sunahnya menggelinding dan menangis, semua jamaah menangis karena banyak diam. Para aulia itu senantiasa memandang dan memiliki pandangan, dan pandangan sebagian merupakan ibrah (pelajaran) bagi orang lainnya. Para Aulia Allah senantiasa berbicara, dan ucapan mereka adalah penuh dengan hikmah—tidak ada yang sia-sia, tidak ada yang menyakiti orang lain, dan tidak ada yang terbuang.
Sehingga Imam Khomeini mengatakan tentang Sayyid Muthahhari bahwa seluruh tulisan dan karangannya itu layak diterima, layak dibaca, dan layak diambil. Begitu berbeda dengan pandangan Ali Syariati. Para Aulia Allah itu berjalan di antara manusia, dan ketika mereka berjalan di kalangan manusia, maka mereka mengandung keberkahan. Akibatnya, di manapun para Aulia berada, di situ ada keberkahan bagi orang yang di sekelilingnya. Itulah para Aulia Allah.
Jika bukan ajal yang Allah tetapkan pada diri mereka, maka ruh-ruh mereka itu tidak akan tinggal diam, selalu goncang, selalu rindu kepada surga, dan takut pada nerakanya Allah subhanahu wa ta’ala. Itulah sifat-sifat para Aulia Allah, yang di antaranya adalah hikmah berpuasa, yang mengantar seseorang pada makam aulia Allah.
Dikatakan pada orang mukmin yang adi (biasa), yang bukan wali Allah, “Bicaralah sedikit, jangan banyak bicara.” Kitab ini ditujukan kepada orang mukmin yang biasa, bukan kepada wali Allah, tetapi kepada mukmin yang arif, yang wajib dikatakan “Bicara yang banyak dan berikan hidayah pada manusia, dan ingatkan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala.” Artinya, bahwa seluruh ucapan para Aulia Allah itu tidak ada yang sia-sia, semuanya isinya adalah kandungan Alquran, kandungan hadis Rasulullah, dan para Maksumin.
Ikhwani wa akhwati rahimakumullah, bahwa masa dan waktu untuk kita menahan diri dari rasa lapar dan haus di bulan puasa telah berlalu, sudah kita lewati. Tetapi masa dan waktu untuk kita tetap menjaga lisan kita dari berbagai perkataan dan ucapan yang tidak baik itu harus selalu ada di sepanjang hayat kita.
Ikhwani wa akhwati rahimakumullah, semoga hikmah besar puasa ini dapat kita peroleh dengan baik dan sempurna sehingga kita termasuk orang-orang yang berbahagia dan beruntung, baik dalam kehidupan dunia ini maupun dalam kehidupan akhirat. Semoga pula kita lebih pandai menjaga lisan kita ketika bicara sesama kita, ketika kita ngobrol, dan lain sebagainya, serta kita pandai menghindari perkataan yang buruk, ucapan yang jorok, dan berbagai ucapan yang termasuk maksiat dan berdosa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, seperti perkataan dan ucapan yang dapat menyakiti mukhatab atau lawan kita berbicara.
Khotbah Kedua
Pada kesempatan khotbah yang kedua ini, secara singkat saya akan menambahkan dan ingin menyampaikan sebuah riwayat yang datang dari Imam Hasan al-Askari. Ketika beliau ditanya orang tentang illat (sebab) diwajibkannya berpuasa pada bulan suci Ramadhan, beliau menjawab, “Di antara hikmah berpuasa adalah agar orang yang mampu itu dapat merasakan lapar, sehingga dia dapat memberikan sebagian rezekinya pada orang yang fakir.”
Ikhwani wa akhwati rahimakumullah, di antara tanda diterimanya puasa seorang mukmin adalah bahwa seorang mukmin tersebut mampu dan dapat mengamalkan hikmah dan tujuan dari berpuasa, yang di antaranya adalah merasakan susahnya kemiskinan, merasakan bebannya hidup kelaparan dan kekurangan, serta merasakan beratnya tanggung jawab dalam masyarakat dengan penuh kesulitan dan kemiskinan, dan menahan lapar serta dahaga. Kemudian, jika kita mencoba menghubungkan hikmah yang satu ini—hanya yang satu ini saja—dengan penderitaan saudara-saudara kita yang berada di Gaza, yang ada di Palestina, di mana mereka setiap hari siang dan malam dijajah, dijarah, dan dizalimi oleh kaum Zionis Israel, maka setiap mukmin yang puasanya diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan merasakan penderitaan yang sama.
Artinya, semakin besar hikmah puasa yang diterima oleh seorang mukmin, maka penderitaan yang dirasakan atas saudaranya di Gaza, Palestina, akan semakin terasa, semakin berat, dan simpatinya serta dukungannya akan semakin nampak dan semakin jelas. Itu di antara hikmah berpuasa. Setiap mukmin, setiap muslim yang puasanya laku diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala, pasti akan berusaha untuk membela saudara-saudaranya yang saat ini hidup penuh dengan berbagai penderitaan, tentu sesuai dengan kemampuan dan kesungguhannya masing-masing, serta sesuai dengan tingkatan ilmu pengetahuan, keimanan, dan ketakwaannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Masing-masing, hanya setiap orang pembelaannya pada kaumnya tentu berbeda-beda, tergantung kesan bebannya, kemampuannya, bahkan juga menjadi tolok ukur keimanan.
Sebaliknya, tanda ibadah puasa seseorang itu ditolak dan tidak diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah terkait dengan penderitaan kaum muslimin di Palestina. Ia tidak akan peduli, bersikap masa bodoh, dan sama sekali tidak akan menunjukkan pembelaannya kepada perjuangan rakyat Palestina. Itu tanda bahwa ibadah puasanya mardud (ditolak) oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Siapapun orangnya, apapun ceritanya, dan seberapa pun ilmu pengetahuannya, kaum muslimin yang memiliki sikap seperti ini—yang tidak peduli pada bangsa Palestina—maka ia akan digiring nanti di Mahsyar bersama Yazid bin Muawiyah dan akan digiring masuk ke dalam api neraka Jahannam.
Naudzubillahimindzalik. Mereka membebaskan orang kafir dan hewan-hewan, mengambil dan menikmati air dari sungai Furat, kaum Yazid, tetapi mereka malah menghalangi Imam Husain dan keluarga sahabatnya yang setia dari meneguk air dari sungai Furat tersebut. Sebagian kaum muslimin yang ibadah puasanya tidak diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada masa sekarang ini, mereka membiarkan dan membebaskan kaum penjajah Zionis Israel untuk mengenyangkan perut mereka dengan hasil rampasan dan penjajahan, sementara kaum muslimin tersebut—yaitu yang ibadahnya ditolak oleh Allah—membiarkan kaum muslimin Palestina dan tidak peduli, sementara mereka banyak yang mati kelaparan, mati karena kehausan, dan tidak adanya obat-obatan.
Karena itu, di antara hikmah penting ibadah puasa adalah kita melihat diri kita sejauh mana peduli kita kepada bangsa Palestina dan kita tidak lupa untuk mendoakan mereka selalu. Ini anjuran dari para ulama, khususnya Imam Khomeini Quddisyasiruh. Hendaknya Palestina dijadikan dalam diri kita masing-masing, yaitu menjadi tolok ukur keimanan seseorang. Bahkan saya katakan, bisa menjadi tolok ukur diterima dan tidaknya ibadah puasa seseorang. Mereka berpuasa sebulan penuh, tetapi tidak peduli sama sekali; itu berarti ibadah puasanya ditolak dan mardud ditolak oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan ketika ada pembelaan sedikit saja kepada Zionis, mereka akan di Mahsyar digiring bersama Yazid bin Muawiyah dan para antek-anteknya. Naudzubillahimindzalik.
Ikhwani wa akhwati rahimakumullah, semoga dengan hikmah puasa di bulan suci Ramadhan yang baru saja berlalu, iman dan takwa kita semakin meningkat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kita semakin peduli terhadap kesusahan saudara-saudara kita yang berada di Palestina. Sebagai konsekuensinya, kita harus berusaha membela mereka dengan berbagai macam cara yang mungkin kita dapat lakukan, seperti melalui narasi, tulisan, doa, sumbangan, atau cara apapun kita harus lakukan demi membela mereka. Semoga ibadah kita diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan kita di Mahsyar bersama Imam Husain dan keluarganya. Amin ya Rabbal Alamin.
Wassalam.