Sidang Jumat, kaum muslimin dan muslimat yang berbahagia, marilah kita panjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah Subhana wa Ta’ala yang telah memberikan kesehatan kepada kita dalam keadaan sehat wal afiyat, hingga kita bisa hadir di tempat ini mengikuti dua khutbah dan melaksanakan kewajiban shalat Jumat. Mudah-mudahan setiap langkah dan niat kita dicatat sebagai amal ibadah di sisi Allah SWT yang akan mendekatkan diri kita kepada-Nya. Shalawat dan salam selalu kita haturkan keharibaan tercinta Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, keluarga suci beliau, serta sahabat dan pengikut setia beliau sampai akhir zaman. Dan mudah-mudahan kita semua tergolong di dalamnya.
Ma’asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah, sebagai sebuah kewajiban, khatib mengingatkan dan berwasiat kepada diri sendiri dan semua yang hadir serta mendengarkan mimbar ini dari kanal yang disediakan. Marilah kita selalu meningkatkan iman dan takwa kita kepada Allah SWT. Marilah kita penuhi panggilan Allah SWT di dalam Al-Qur’an:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ١٠٢
(Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.)
Ma’asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah, baru saja kita meninggalkan bulan Ramadhan. Dua mingguan yang lalu kita merayakan Hari Raya Idul Fitri, hari raya kemenangan di mana kita telah meraih atas hasil yang telah kita upayakan selama bulan suci Ramadhan. Puasa dan berbagai ibadah yang kita lakukan di bulan Ramadhan akan menghasilkan takwa, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 183.
Insya Allah setiap kita sudah mendapatkan persentase ketakwaan, boleh jadi pembeda antara satu dengan yang lain. Tapi segala upaya, usaha, apa yang telah kita lakukan selama bulan suci Ramadhan — puasa dengan menahan diri dari makan dan minum, serta menahan diri dari apa yang telah diharamkan oleh Allah SWT — tentu akan menghantarkan kita kepada ketakwaan kepada Allah SWT, mengantarkan kita kepada kesucian diri kita di sisi Allah SWT.
Maka tentu, sebagai sebuah kewajiban kepada kita berikutnya, pada hari-hari seperti ini — hari-hari di mana kita baru saja meraih kemenangan, ketakwaan, kembali kepada fitrah — kewajiban kita adalah selalu menjaga kesucian tersebut. Selalu menjaga dan mempertahankan fitrah yang telah kita raih. Selalu menjaga dan mempertahankan, bahkan meningkatkan, ketakwaan yang kita raih dalam bulan suci Ramadhan.
Banyak cara tentu yang bisa kita lakukan untuk kemudian menjaga konsistensi, menjaga tingkat spiritualitas kita, yang telah kita raih dengan bulan suci Ramadhan. Di antara ayat suci Al-Qur’an yang bisa kita renungi, yang bisa kemudian menjadi petunjuk bagi kita sehingga kita mampu untuk kemudian mempertahankan kesucian yang telah kita raih di bulan suci Ramadhan, adalah yang tersebut atau tertulis dalam Surat Al-A’raf ayat 55–56. Allah SWT berfirman:
اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةًۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَۚ ٥٥
(Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.)
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ ٥٦
(Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.)
Dua ayat ini mengajak kita kembali kepada Allah, dengan selalu berdoa kepada Allah, dengan selalu memanggil-manggil nama Allah, dengan selalu beribadah kepada Allah SWT, dengan penuh kerendahan hati, dengan penuh kesadaran bahwa kita adalah hamba Allah. Kita tidak punya apa-apa di hadapan Allah, bahkan kita tidak berarti apa-apa di hadapan Allah.
Oleh karena itu, kita tidak boleh melampaui batas. Kita tidak boleh sombong di hadapan Allah SWT. Innahu lā yuḥibbul-mu’tadīn, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan pada ayat 56, Allah SWT menegaskan bahwa selain kita melaksanakan doa dan memanggil — dan itu adalah ibadah kepada Allah — juga kita diperintahkan untuk meninggalkan sebuah perbuatan buruk di dunia ini, di atas muka bumi ini, yang Allah istilahkan dalam ayat ini adalah:
“Dan janganlah kalian melakukan pengrusakan di atas muka bumi setelah diperbaiki.”
Kita telah memperbaiki kehidupan kita. Kita telah memperbaiki kehidupan spiritual kita. Kita telah memperbaiki hubungan kita dengan Allah di bulan suci Ramadhan — dengan puasa, dengan doa dan munajat, dengan membaca Al-Qur’an, dengan merenungi arti dan makna Al-Qur’an, dengan melaksanakan berbagai ibadah lainnya di bulan suci Ramadhan, dengan menghidupkan malam-malam Lailatul Qadr, dengan menunduk di hadapan Allah, membuka dan mengetuk pintu Allah, pintu taubat, kembali kepada Allah. Itu semua berarti telah kita lakukan berbagai perbaikan terhadap berbagai keburukan dan kerusakan yang kita miliki dalam kehidupan kita sebelum bulan suci Ramadhan.
Dengan bulan suci Ramadhan, kita telah berhasil memperbaiki segala keburukan-keburukan itu, dan bahkan kita ganti dengan aktivitas-aktivitas yang baik, aktivitas yang mendekatkan diri kita kepada Allah. Maka ayat ini mengatakan: Janganlah kita perburuk lagi kondisi kita. Janganlah kita kotori kembali kesucian yang telah kita raih di bulan suci Ramadhan. Janganlah kita kotori lagi baju bersih yang telah kita cuci dengan berbagai amalan ibadah, tangisan, doa, munajat di bulan suci Ramadhan.
Ini adalah sesuatu yang sangat penting bagi kita, untuk kemudian kita buka lembaran-lembaran baru, mengisi kehidupan kita berikutnya. Larangan Allah untuk kita melakukan berbagai pengrusakan setelah kita perbaiki segala kerusakan tersebut. Apa yang kita maksudkan dengan kerusakan itu? Tentu banyak sekali yang bisa dijelaskan, baik dalam kehidupan personal kita, baik yang berupa sifat-sifat buruk yang ada dalam diri kita. Boleh jadi kita punya berbagai sifat dan karakter buruk dalam diri kita, entah itu kesombongan, entah itu kekikiran, entah itu iri dengki, entah itu ketakutan yang berlebihan, dan berbagai sifat buruk lainnya.
Dengan bulan Ramadhan, telah kita bersihkan semua penyakit-penyakit diri, semua kekurangan, dan karakter buruk itu. Maka marilah, setelah bulan suci Ramadhan, jangan kita kotori kembali diri kita. Jangan kita kotori kembali hati kita, dengan berbagai sifat-sifat buruk, dengan berbagai karakter-karakter nista — karakter yang menjauhkan diri kita sebagai hamba Allah SWT. Marilah kita berusaha sekuat tenaga menghilangkan sifat-sifat buruk itu dari dalam diri kita. Begitu juga, berbagai tindakan yang kita lakukan sebelum bulan suci Ramadhan, namun setelah bulan suci Ramadhan tindakan-tindakan buruk itu tidak boleh kita lakukan.
Berbagai pelanggaran kepada Allah SWT, berbagai kemaksiatan kepada Allah SWT — itu semua adalah pengrusakan. Itu semua menyebabkan kerusakan dalam diri kita, dalam spiritualitas kita. Maka akan menjadi sia-sia jika di dalam bulan suci Ramadhan kita telah bersihkan diri dan tindakan kita dari berbagai keburukan, doa, dan maksiat kepada Allah — yang semua itu akan menjauhkan diri kita dari Allah — dan setelah bulan suci Ramadhan kita kembali kepada keburukan-keburukan tersebut, kita kembali kepada rutinitas kejelekan yang biasa kita lakukan di luar bulan suci Ramadhan.
Itu artinya, kita yang telah mendekat kepada Allah, kita yang telah berada di hadapan pintu rahmat Allah, dengan kembali kepada kerusakan-kerusakan itu, dengan kembali kita melakukan berbagai tindakan yang merusak diri kita, yang merusak kesucian diri kita — artinya kita kembali menjauh dari Allah, kita kembali menjauh dari rahmat Allah. Begitu juga hubungan baik yang telah kita bangun dengan bulan suci Ramadhan, hubungan baik yang telah kita bangun pada hari raya Idul Fitri dengan sesama kita, dengan sesama manusia. Yang telah kita hapuskan: segala iri, segala dengki, segala hal-hal yang menyebabkan hubungan kita tidak baik antar sesama. Baik yang ada hubungan famili dan kekerabatan, ataupun yang tidak ada.
Namun, dengan hari raya Idul Fitri, telah kita perbaiki segala kerusakan masa lalu. Maka, hari-hari setelah Idul Fitri, sesuai dengan ayat ini: wa lā tufsidu — maka janganlah kamu kembali merusak apa yang telah kamu perbaiki. Karena itu juga kita perlu waspada, untuk melanjutkan hubungan baik kita dengan sesama manusia. Hubungan kita dengan anggota keluarga kita yang boleh jadi punya masalah sebelumnya — dan alhamdulillah selesai masalah itu dengan puasa Ramadhan, dengan Idul Fitri — maka kita lanjutkan, kita pertahankan hubungan baik dan harmonis yang telah kita raih antara anggota keluarga kita.
Begitu juga dengan anggota keluarga besar, kerabat kita, sahabat, handai taulan, dan dengan siapapun. Mari kita pertahankan hubungan baik ini, sehingga kita tidak terkena apa yang dilarang, yang oleh Allah SWT diperingatkan di dalam ayat ini. Begitu juga hubungan kita dengan yang lebih luas, yang boleh jadi akan memberikan pengaruh, akan memberikan dampak negatif kepada sekitar kita — baik itu manusia, binatang, pepohonan, dan alam.
Salah satu ajaran suci di dalam agama Islam adalah ketika kita dituntut untuk memberikan kebaikan, memberikan kemaslahatan, memberikan sesuatu yang baik pada kehidupan manusia dan lainnya yang hidup di sekitar kita. Karena itu, eksploitasi alam yang berlebihan, yang tidak sesuai dengan standar — itu semua dilarang oleh agama kita, selain juga dilarang oleh akal sehat kita.
Karena itu, sekali lagi, marilah setelah hari raya Idul Fitri ini kita kembali mempertahankan, kembali mewaspadai: jangan sampai tindakan kita, jangan sampai sifat-sifat buruk kita, jangan sampai hubungan kita dengan sesama kembali keruh, kembali rusak, dan kembali pada apa yang pernah terjadi sebelum puasa bulan suci Ramadhan dan hari raya Idul Fitri.
Kalau kita melaksanakan berbagai kewajiban kita — kewajiban yang telah ditetapkan di dalam agama, baik itu yang berkaitan dengan tindakan kita atau yang berhubungan dengan harta kita, baik itu berupa sedekah, zakat, khumus, ataupun yang lainnya — kalau itu semua kita lakukan, maka berarti kita telah menyelamatkan kehidupan diri kita dan juga kehidupan sekitar kita.
Jangan kita bayangkan pelanggaran yang telah kita lakukan, dan jangan kita bayangkan bahwa kewajiban yang tidak kita lakukan itu hanya berdampak pada diri sendiri. Namun, itu juga akan berdampak pada sekitar kita. Secara kasat mata bisa kita saksikan ketika kita tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban harta kita, misalnya, yang itu merupakan hak-hak orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah: mereka yang berada di bawah garis kemiskinan, mereka yang membutuhkan untuk makan, minum, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan yang lainnya.
Ketika kita tahan kewajiban kita, ketika kita tidak melaksanakan kewajiban kita — apapun nama kewajiban itu yang saya sebutkan tadi, boleh jadi kewajiban infak, kewajiban sedekah, kewajiban membantu, kewajiban zakat, kewajiban khumus — itu semua akan memberikan dampak luas. Akan menyebabkan mereka yang seharusnya menerima uluran tangan kita, menerima dana-dana syar’i yang telah ditetapkan oleh Allah, boleh jadi mereka akan berada dalam kelaparan, kekurangan, tidak punya pakaian, atau boleh jadi mereka tidak mampu untuk mengobati penyakit-penyakit yang mereka derita. Dan boleh jadi mereka juga tidak bisa melanjutkan sekolah-sekolah mereka, yang itu akan berakibat pada masa depan mereka.
Salah satu ayat di dalam Al-Qur’an menyatakan:
وَقِفُوْهُمْ اِنَّهُمْ مَّسْـُٔوْلُوْنَۙ ٢٤
(Tahanlah mereka. Sesungguhnya mereka akan ditanya.)
Kelak di hari kiamat, di saat manusia digiring dan dibangkitkan di padang mahsyar, ada panggilan Allah yang mengatakan: “Hentikan mereka! Jangan biarkan mereka terus berjalan menuju surga. Hentikan mereka karena mereka akan dimintai pertanggungjawaban.” Maka dengan hari-hari seperti ini, kita kembali kepada fitrah. Marilah kita kembali evaluasi diri kita. Kita coba lihat berbagai kewajiban yang seharusnya kita lakukan — sudahkah kita lakukan atau belum?
Boleh jadi kita perlu kepada ilmu, perlu kepada kajian, perlu kita bertanya, sehingga kita bisa memastikan bahwa kita tidak tergolong kepada mereka yang mengabaikan kewajibannya. Dan sekaligus, mereka yang telah melakukan pengrusakan di atas muka bumi. Dengan demikian, kita tidak akan mendapatkan rahmat Allah, sebagaimana di ujung ayat yang tadi saya baca, yang mengatakan:
إِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
(Sesungguhnya kasih sayang Allah itu dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.)
Itu artinya, kasih sayang Allah adalah jauh dari mereka yang melakukan pengrusakan di atas muka bumi.
Mudah-mudahan Allah SWT selalu membantu kita, selalu membimbing kita, selalu memberikan kekuatan kepada kita, selalu memberikan motivasi dan selalu mengarahkan kita — hari demi hari semakin bertambah ilmu kita, dan sekaligus bertambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Dan hari demi hari, kita lebih jauh dari hal-hal yang menjauhkan kita dari Allah SWT.
Khutbah Kedua
Sidang Jumat yang berbahagia, pada khutbah yang kedua kembali kita memuja dan memuji Allah, kembali kita bersholawat dan bersalam ke haribaan Nabi besar tercinta Muhammad shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, para Imam suci Ahlul Bait ‘alaihimussalam yang kita rela dan yakini mereka sebagai pemimpin-pemimpin kita. Mudah-mudahan mereka menerima kita sebagai pengikutnya dan menempatkan keyakinan itu di dalam diri kita hingga dunia berakhir.
Pada khutbah yang kedua ini kembali kami mengingatkan kepada diri sendiri dan semua yang hadir serta yang mendengarkan kanal mimbar ini dari mana pun mereka berada. Marilah kita selalu meningkatkan iman dan takwa kita kepada Allah SWT dan selalu melaksanakan segala kewajiban-Nya, kewajiban yang ada di pundak kita, dan meninggalkan larangan-Nya, larangan yang Allah SWT cegah untuk kita melaksanakannya.
Ma’asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah, di hari ini kita menyaksikan sebuah fenomena yang terjadi di dunia. Semua mata tertuju kepada arogansi sebuah negara beserta pemimpinnya, yang dunia semakin lama semakin mengetahui. Boleh jadi selama ini masih tertutup bagi banyak masyarakat dunia, bagi banyak pemimpin-pemimpin negara dunia. Di hari-hari ini kita menyaksikan betapa arogansi seorang presiden ini, seorang yang memimpin sebuah negara ini, nampak lebih jelas bagi masyarakat dunia dengan berbagai keputusan-keputusannya, dengan berbagai arahan-arahannya, dan dengan berbagai pemaksaan-pemaksaannya.
Mudah-mudahan ini menjadi sebuah pelajaran penting dari berbagai negara di dunia, dari berbagai pemimpin di dunia, untuk meningkatkan kemandirian diri mereka, kemandirian sebuah negara dan sebuah bangsa supaya tidak lagi harus mengemis kepada bangsa dan negara lain. Tidak harus kemudian tunduk, berada di bawah perintah, berada di bawah hegemoni negara dan bangsa lainnya.
Alhamdulillah, beberapa negara Islam yang kita saksikan seperti Republik Islam Iran, seperti Yaman yang diwakili oleh Al-Houthi, menunjukkan sikapnya, menunjukkan bahwa mereka tidak mau berada di bawah dikte, tidak mau berada di bawah hegemoni negara atau presiden negara ini.
Mudah-mudahan negeri kita, bangsa kita, pemerintahan yang kita cintai, negeri Indonesia ini, juga mengambil sebuah pelajaran, langkah-langkah untuk meningkatkan kemampuan diri kita sebagai bangsa. Untuk membangun negeri ini, meningkatkan berbagai kemajuan ilmu dan teknologi, memanfaatkan segala sumber daya alam yang kita miliki dan juga sumber daya manusia, sehingga kita menjadi bangsa yang besar, bangsa yang bermartabat, bangsa yang juga disegani berbagai negara di dunia, bangsa yang juga berdiri di atas kaki sendiri dan kemampuan diri sendiri, dan tidak bergantung kepada lainnya.
Begitu juga hari-hari ini kita masih menyaksikan kezaliman, apa yang dilakukan Zionisme Israel terhadap saudara-saudara kita di Palestina. Walaupun adanya kesepakatan-kesepakatan gencatan senjata, tapi tetap saja mereka melakukan berbagai kejahatan kepada rumah sakit dan juga kepada tempat-tempat sipil.
Mudah-mudahan dunia lebih mengenal Zionisme Israel. Mudah-mudahan pihak-pihak tertentu yang boleh jadi hingga saat ini belum memahami secara benar keberadaan dan kerusakan yang dilakukan oleh Zionisme Israel semakin sadar, dan kita semua sebagai masyarakat mampu melakukan sesuatu, sehingga mampu untuk menegasikan, atau meniadakan, atau mengangkat keburukan dan keberadaan Zionisme Israel dari muka bumi ini.
Mudah-mudahan kita selalu konsisten, kita lanjutkan apa yang telah kita upayakan sebelumnya sebagai bentuk bantuan kita sesama muslim, sesama kemanusiaan, bahkan untuk selalu berdoa di hadapan Allah SWT. Semoga Allah segera memenangkan saudara-saudara kita di Palestina dari musuhnya dan dari musuh kemanusiaan: Zionisme Israel. Mari kita lanjutkan gerakan boikot kita terhadap berbagai produk yang memang diproduksi oleh Zionis Israel, atau negara yang membantu, serta produk-produk yang membantu program Zionisme Israel.
Yang ketiga, marilah kita juga selalu menyisihkan sebagian dari harta kita, sebagian karunia yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada kita untuk membantu saudara-saudara kita di Palestina. Mereka membutuhkan uluran tangan kita. Minimal, selain doa, yang bisa kita lakukan adalah menyisihkan sebagian dari harta kita untuk membantu mereka.
Mudah-mudahan dengan itu Allah SWT menggolongkan kita semua sebagai mereka yang betul-betul mukminin, hamba-hamba Allah yang bersatu padu dengan saudara-saudaranya, khususnya saudara-saudaranya yang madzlumin dan teraniaya dimanapun mereka berada.