ICC Jakarta – Bulan ini adalah bulan Rabiulawal yang berhubungan dengan Rasulullah saw. Tahun ini milad Rasulullah saw berbarengan dengan sebuah isu yang ramai dibicarakan di dunia. Isu tentang penghinaan terhadap Rasulullah dan penghinaan terhadap Islam. Penghinaan itu muncul karena kebencian dan kebencian itu muncul karena ketidaktahuan. Dalam sebuah riwayat, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Al-nâsu a’dâ-u mâ jahilû.” Manusia itu cenderung membenci sesuatu yang tidak dikenalnya (Hikmah 172)
Ketika seseorang mengenal sesuatu yang memberikan manfaat baginya, mengenal bahwa sesuatu itu tidak berbahaya, dia tidak akan membenci hal tersebut. Manusia cenderung membenci binatang buas, tetapi ketika tahu bahwasanya binatang buas itu tidak akan mengancam nyawanya, tidak akan menyakitinya, dia tidak akan membencinya. Misalnya, jika ada seekor ular masuk ke rumah seseorang. Langkah pertama yang akan dilakukan oleh orang itu adalah membunuh ular tersebut. Padahal, bisa jadi ular itu hanya sekadar numpang lewat saja sehingga tidak perlu untuk sampai dibunuh. Ada ular yang berbisa, ada ular yang tidak berbisa. Ketika orang tahu bahwa ular yang masuk ke tempat dia tidak berbisa, dia tidak akan membunuh ular itu karena tidak ada bahaya yang mengancam dirinya. Mengapa dia harus melumuri tangannya dengan membunuh makhluk Allah yang tidak akan mengganggunya?
Begitu pula dengan orang yang tidak mengenal Rasulullah saw, muncul kebencian. Beliau dilecehkan. Bukan hanya saat ini kita lihat kebebasan berekspresi yang dijadikan salah satu alasan oleh orang-orang di luar sana untuk menunjukkan bahwa mereka bebas untuk menghina bahkan simbol-simbol kesucian agama-agama lain. Mereka bungkus semua itu dengan kebebasan berekspresi. Itu terjadi karena mereka tidak mengenal siapa Rasulullah saw. Sementara kaum muslimin yang mengenal siapa Rasulullah saw akan meletakkan beliau di atas kepalanya ketika ada seseorang menyebut nama Rasulullah saw, saat salawat berkumandang dari kanan dan kiri, ketika mendengar nama kekasih-Nya Allah disebut. Karena ada hadis yang mengatakan “orang yang paling bakhil di dunia adalah orang yang ketika namaku disebut dia tidak bersalawat kepadaku.”
Mereka yang mengenal Rasulullah saw akan bershalawat kepadanya hanya dengan sebutan namanya. Kita dengar orang ketika mendengarkan lantunan azan, ketika sampai kepada ucapan dan panggilan tentang syahadah bahwa Muhammad adalah Rasulullah, semua bersalawat kepadanya. Mengapa? Karena mencintai. Mencintai muncul karena mengenal siapa Rasulullah saw. Kaum muslimin juga mengenal Rasulullah saw karena Allah yang mengenalkan Rasul kepada umat ini. Rasulullah saw juga menyebutkan siapa dirinya supaya umat mengenal siapa beliau.
Ayat-ayat suci Alquran juga banyak yang mengandung pengenalan terhadap Rasulullah saw. Salah satu hal yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini adalah bahwa Rasulullah saw disebut dalam Alquran al-Karim sebagai rahmat. Ada beberapa ayat suci Alquran yang menyebut beliau sebagai rahmat. Yang menarik adalah ketika Rasulullah saw disebut sebagai rahmat, Allah juga menyebut diri-Nya sebagai pemilik rahmat. Dalam surah al-A’raf (7): 156, Allah berfirman, Wa rahmati wasi’at kulla syai’, Dan rahmatku itu meliputi segala sesuatu. Tetapi dalam ayat yang sama Allah berfirman, Fa sa’aktubûha lilladzîna yattaqûn, dan Aku akan berikan rahmat itu kepada orang-orang yang beriman, orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang melaksanakan perintah-perintah-Ku.
Artinya di sini ada dua macam rahmat: rahmat yang meliputi segala sesuatu dan rahmat yang hanya diberikan kepada orang-orang yang mukmin. Karena itulah, ketika menafsirkan bismillahirrahmanirrahîm gandengan antara kata rahman dengan kata rahîm yang dua-duanya berasal dari kata rahmat, para mufasir mengatakan bahwa rahmat-Nya rahman lebih luas dari rahmat-Nya rahim. Rahmat-Nya rahman meliputi segala sesuatu, baik engkau adalah manusia atau bukan manusia, baik engkau mukmin ataupun kafir, baik engkau di dunia ini atau di akhir. Sementara rahman-nya rahim hanya meliputi orang-orang mukmin dan diberikan kelak di hari kiamat nanti. Dua-duanya ada pada sifat Allah.
Nabi sebagai Rahmat
Sekarang saya ingin berbicara mengenai Rasulullah saw. Bagaimana Allah mengenalkan nabi-Nya. Dalam satu ayat suci Alquran Allah mengatakan, “Wa mâ arsalnâka illa rahmatan lil ‘âlamîn (21: 107). Tidaklah Kami utus engkau (wahai Muhammad), kecuali rahmat bagi seluruh alam.” Kalau kita ditanya apa atau siapa yang disebut alam, akan muncul jawaban al-’âlam mâ siwallah, yang disebut dengan alam adalah yang selain Allah. Jadi kalau kita mengatakan seluruh maujud yang eksis di alam ini, yang eksis selain Allah itu alam, mau itu benda mati ataupun benda hidup, mau benda itu kasar ataupun benda yang tidak kasar, dari mulai malaikat, arasy, langit, bumi sampai benda-benda yang padat dan benda yang mati seperti bebatuan, semuanya adalah bagian dari alam. Al-’âlam mâ huwa siwallah. Alam adalah (segala sesuatu) selain Allah.
Jika Allah menyebut nabi-Nya, Muhammad al-Musthafa saw, dengan firman-Nya, Wa mâ arsalnâka illa rahmatan. “Tidaklah Kami utus engkau kecuali rahmat.” Bagi siapa? Lil ‘âlamîn, bagi seluruh alam, artinya Nabi Muhammad saw adalah rahmat bagi, mâ siwallah, rahmat bagi selain Allah. Termasuk di antaranya para malaikat mendapatkan rahmat dari Rasulullah saw. Bukankah ini mirip dengan apa yang Allah sifatkan, Wa rahmati wasi’at kulla syai’, ”Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu”? Bukankah ini mirip dengan itu, ketika Allah menyebutkan sisi rahmat yang kedua yaitu rahmat-Nya yang rahim yang hanya diperuntukkan untuk orang-orang mukmin, ternyata Allah juga mengenalkan rahmat-Nya Nabi Muhammad ada rahmat yang khusus diberikan kepada orang-orang mukmin. Firman-Nya, Laqad jâ’akum rasûlu min anfusikum ‘azîzun ‘alaihi mâ ‘anittum harîshun ‘alaikum bil mu’minîna ra’ûfurrahîm. “Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” (9: 128-129).
Rasulullah saw itu punya sifat rauf dan rahim, penyayang kepada siapa? Kepada orang-orang mukmin. Berarti Rasulullah saw punya rahmat yang sedemikian besar kepada orang mukmin. Pertanyaannya, apakah ini bertentangan dengan rahmatnya Rasulullah saw yang untuk ‘âlamîn? Jawabannya: Tidak! Ini adalah dua jenis rahmat yang berbeda. Sama seperti Allah, mungkin kata sama. Keliru kalau saya katakan ini senada dengan rahmat yang dimiliki oleh Allah untuk segala sesuatu, tetapi Allah punya rahmat yang hanya diberikan untuk orang-orang mukmin.
Orang mungkin bertanya begini, “Adakah mazhahir atau manifestasi dari rahmat-nya Rasulullah saw? Mengapa Rasulullah saw layak untuk disebut sebagai pembawa rahmat? Jawabannya adalah karena Rasulullah saw membawa suatu program dari Allah untuk kehidupan umat manusia, yang program ini adalah program yang memberikan keselamatan bagi mereka. Bukankah sesuatu yang memberikan keuntungan adalah rahmat sesuatu? Lawan daripada rahmat adalah azab. Ketika seseorang memberikan suatu pemberian dengan cinta, bukankah itu bagian dari rahmat? Ketika Allah menceritakan tentang Nabi Muhammad saw bahwa beliau adalah yang membawa risalah ilahiah kepada umat manusia. Risalah ilahiah itu jika dilaksanakan, ia akan memberikan jaminan keselamatan bagi umat manusia. Bukankah ini adalah rahmat?
Rahmat kedua yang ditunjukkan adalah Rasulullah mengenalkan kepada kita, manusia-manusia yang harus menjadi teladan dan panutan sepeninggal beliau. Para Imam maksum as, yang mana mereka juga rahmat, adalah suatu anugerah yang besar. Ketika orang di tengah kebingungan setelah wafatnya Rasulullah saw, keberadaan manusia-manusia agung yang telah dikenalkan oleh Nabi saw kepada umat adalah rahmat. Inilah (mengapa) Allah menyebut Nabi saw sebagai wa mâ arsalnâka illa rahmatan lil ‘âlamîn.
Pada kesempatan ini saya ingin menyebutkan beberapa contoh apa yang terjadi dan apa yang dikenalkan oleh sejarah ataupun riwayat dari rahmat Rasulullah saw. Sebelumnya saya ingin menyampaikan dulu beberapa ayat Alquran yang berhubungan dengan rahmat Rasulullah saw. Yang pertama adalah ayat Laqad jâ’akum rasûlu min anfusikum ‘azîzun ‘alaihi mâ ‘anittum harîshun ‘alaikum bil mu’minîna ra’ûfurrahîm. Rahmat yang diberikan oleh Rasulullah ditunjukkan hanya untuk orang-orang mukmin. Ayat yang kedua, rahmat yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw kepada seluruh makhluk yaitu wa mâ arsalnâka illa rahmatan lil ‘âlamìn. Sampai-sampai malaikat Jibril ketika ayat ini turun mendatangi Rasulullah saw dan mengatakan, “Ya Rasulullah, aku tenang sekarang karena engkau yang menjadi rahmat. Aku tenang karena aku adalah makhluk yang takut tergelincir.” Walaupun malaikat bukan makhluk yang—kata Allah dalam Alquran, lâ ya’shûnallaha mâ amarahum wa yaf’alûna mâ yu’marûn—tidak mungkin akan bermaksiat kepada Allah. Tapi Malaikat Jibril tetap memiliki rasa takut, jangan-jangan dia bisa melenceng. Kata Malaikat Jibril, “Setelah Allah menyebutmu sebagai rahmat hatiku tenang karena aku tahu engkau siapa wahai Rasulullah.”
Ayat berikutnya adalah yang menunjukkan keberhasilan Rasulullah saw dalam tablignya. Salah satu kuncinya adalah rahmat-nya Rasulullah saw itu. Dalam ayat Alquran surah Ali Imran (3): 159, Allah berfirman, Fa bimâ rahmatin minallâhi linta lahum walaw kunta fadzdzan ghalîdzal qalbi lanfaddu min hawlika, fa’fu anhum wastaghfir lahum wa syâwirhum fil amr. “Dan karena rahmat Allah lah engkau, wahai Muhammad, menjadi orang yang penuh rasa kasih sayang, engkau punya rasa perlakuan yang lemah lembut kepada umatmu. Sehingga jika engkau menjadi orang bengis yang kasar, maka mereka akan lari dari sisimu. Ini yang disebutkan oleh Allah kepada Rasulullah saw. Dan itu semua masuk dalam kategori akhlak Rasulullah saw yang mulia, Wa innaka la’alâ khuluqin ‘azhîm. “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (68: 4).
Ada beberapa contoh dari akhlak atau rahmatnya Rasulullah saw. Imam Ali bin Abi Thalib menceritakan tentang beliau. Hal yang menarik dari Rasulullah saw itu kalau dihadapkan kepada dua amal, dua-duanya harus dikerjakan pada saat yang sama, salah satu harus dipilih, maka yang diprioritaskan oleh Rasulullah saw untuk dilaksanakan oleh beliau sendiri adalah pekerjaan yang paling berat di antara keduanya. Yang lebih ringan diserahkan kepada orang lain untuk melaksanakannya. Ini suatu hal yang benar-benar dahsyat kalau kita mau pikirkan. Bagaimana Rasulullah saw yang menjadi pemimpin bagi umat ini, justru ketika ada pekerjaan beliau memilih yang berat, yang ringan diberikan kepada yang lain. Ketika kaum muslimin menggali parit dalam Perang Khandaq dalam menghadapi serangan orang-orang kafir Quraisy bersama dengan kafir lain, Rasulullah saw mengambil kapak atau mengambil alat untuk memukul batu untuk memecahkannya sambil mengucapkan takbir tiga kali. Dan, bebatuan itu pun pecah. Beliau melakukan hal yang lebih berat daripada yang dilakukan oleh umatnya. Inilah salah satu akhlak Rasulullah saw.
Dalam sebuah riwayat ditunjukkan bagaimana cara Rasulullah saw memperlakukan umat. Ada seorang sahabat bernama Anas bin Malik. Ia pernah mendatangi Rasulullah saw. Saat itu beliau memberikan hadiah kepada ibu Anas. Sang ibu kemudian berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, aku tidak punya apa-apa untuk aku berikan kepadamu, tetapi aku punya anak yang masih berusia 8 tahun, masih kecil. Aku hadiahkan anak ini kepadamu untuk melayanimu.” Jadilah Anas bin Malik menjadi pelayan di rumah Rasulullah saw selama sepuluh tahun. Riwayat-riwayat yang lain mengatakan sembilan tahun.
Selama sembilan atau sepuluh tahun mengabdi di rumah Rasulullah saw, Anas melayani beliau. Kalau Rasulullah butuh sesuatu, Anas yang akan menyiapkannya. Kalau beliau usai makan, Anas yang akan membersihkannya. Beliau selalu memperlakukan Anas bukan sebagai seorang pembantu atau pelayan di rumahnya. Anas bercerita, “Selama sembilan atau sepuluh tahun, aku berada di rumah Rasulullah saw, tidak pernah beliau mencelaku sedikitpun; tidak pernah beliau ketika aku melakukan sesuatu mempertanyakan ‘mengapa engkau melakukannya yang ini, bukan mengerjakan yang lain’. Tidak pernah. Tidak pernah pula—ketika Rasulullah saw memerintahkan aku melakukan sesuatu, lalu aku lupa mengerjakannya—beliau menghardikku dan mengatakan, ‘Eh, mengapa kau lupa melakukan apa yang aku perintahkan.’”
Itulah akhlak Rasulullah saw.
Kalau ada satu orang dari keluarga istri-istri Nabi atau keluarga Nabi yang lain memperlakukan Anas dengan sedikit saja kasar, Rasulullah saw akan menegurnya dan akan membela Anas. Sampai-sampai Anas mengatakan, “Wallahi, demi Allah, aku tidak tahu yang melayani itu aku melayani Rasulullah ataukah Rasulullah yang melayaniku.”
Rahmatnya Rasulullah saw ditunjukkan sampai kepada orang yang paling rendah. Pelayan di dalam rumah adalah yang paling rendah kastanya kalau kita menggunakan kata-kasta. Tapi Rasulullah sedemikian mengagungkan dan menghormati orang yang harusnya melayani beliau.
Riwayat lain menyebutkan ada seorang wanita berkulit hitam di Kota Madinah. Dia punya pekerjaan sehari-harinya datang ke Masjid Nabawi, lalu menyapu masjid, membersihkan masjid. Suatu hari Rasulullah saw melihatnya tidak datang. Hari kedua tidak datang. Beberapa hari tidak datang. Rasulullah saw kemudian bertanya kepada para sahabatnya, “Di mana wanita itu yang biasanya datang ke masjid membersihkan masjid.” Para sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, orangnya sudah meninggal beberapa hari yang lalu.”
Rasulullah saw menunjukkan raut muka yang tidak senang. Lalu beliau berkata, “Kalian telah menyiksa hatiku, telah menyakiti hatiku karena kalian tidak memberi berita tentang kematian wanita ini.” Sedemikian agungnya Rasulullah saw, seorang pemimpin yang memerhatikan orang yang kerjanya membersihkan dan menyapu masjid. Ketika dia meninggal, Rasulullah saw merasa harus berempati kepadanya dan kepada keluarganya. Lalu beliau bertanya kepada para sahabatnya, “Di manakah wanita itu dikuburkannya.” Beliau pun pergi menziarahi wanita tersebut kemudian membacakan salawat di kuburan itu dan mendoakan wanita tersebut supaya dijauhkan dari azab kubur. Rahmatnya ditunjukkan bahkan kepada orang yang sangat rendah dari sisi status sosial.
Riwayat lain disebutkan bahwa Anas bin Malik bercerita: Suatu kali ada seorang Badui mendatangi Rasulullah saw dalam keadaan sedang memakai syal ikat leher yang terbuat dari kain yang agak kasar. Orang Badui itu menarik kain syal itu sehingga membuat leher Rasulullah terluka dan merah. Orang-orang yang melihat kejadian itu marah dan ingin memukul orang Badui tersebut. Beliau membiarkan perlakuan Badui itu. Kemudian orang Badui itu dengan tidak sopan berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai Muhammad, berikanlah harta yang ada di tanganmu.” Seandainya orang biasa diperlakukan seperti itu, pastinya akan marah. Tapi apakah Rasulullah saw marah? Beliau hanya tersenyum lalu berkata, “Wahai fulan, engkau telah melakukan hal ini kepadaku. Apakah kira-kira aku akan membalasmu sekarang ini? Karena kalau orang harus melakukan sesuatu perbuatan buruk dibalas, aku punya hak untuk membalas. Apakah aku kira-kira akan membalasnya?” Jawaban orang Badui itu, “Tidak, ya Rasulullah, aku tidak percaya bahwa engkau akan membalas.” Kata Nabi, “Mengapa? Bukankah aku punya hak untuk membalasmu?” Jawaban orang Badui itulah yang menunjukkan bahwa dia mengenal Rasulullah saw. Apa kata dia? Dia mengatakan, “Aku tahu siapa engkau, wahai Rasul, engkau tidak akan memperlakukan keburukan dengan keburukan.” Rasulullah saw kemudian tersenyum dan memerintahkan sahabatnya untuk memberikan apa yang diminta oleh orang Badui tadi. Ini adalah sekelumit akhlak yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw.
Kisah lain. Rasulullah saw sedang berada di masjid. Beliau tiba-tiba kedatangan seorang Badui, dan Badui itu tengah berbicara dengan Nabi, kemudian dia mengundurkan diri dan berdiri di pojok masjid untuk melakukan hal yang tidak layak. Dia menajisi masjid. Para sahabat datang dan menghardiknya. Bahkan akan memukulnya tapi dicegah oleh Rasulullah saw, “Biarkan dia menyelesaikan hajatnya.” Setelah itu baru Rasulullah saw menasihati orang itu. Tanggapan orang Badui itu sungguh mencengangkan, dia langsung mengangkat tangannya dan mengatakan, “Allahummarhamni wa muhammada wa lâ tarham ma’ana ahada, Ya Allah rahmati aku dan Muhammad dan jangan engkau rahmati orang lain selain kami berdua.”
Ini ditunjukkan oleh orang Badui yang melihat bagaimana Rasulullah saw memperlakukan dia, manusia yang seagung ini lahir di bulan Rabiulawal. Kita bergembira atas kelahirannya yang membawa risalah ilahiah di tengah-tengah kita dan memohon kepada Allah semoga kecintaan kita kepada kekasih Allah ini semakin meningkat.[] Naskah ini merupakan khotbah Jumat Ustaz Hafidh Alkaf, Jumat, 06 November 2020, di ICC, Jakarta. Ditranskrip dan disunting seperlunya oleh redaksi Buletin Nur al-Huda.