ICC Jakarta – Tanggal 13 Rajab kita memperingati milad Imam Ali bin Abi Thalib. Imam Ali dilahirkan pada 13 Rajab kurang lebih 10 tahun sebelum Rasulullah diangkat menjadi nabi, atau dengan kata lain kurang lebih 30 tahun dari tahun Gajah, tahun saat Rasulullah dilahirkan. Usia Imam Ali dengan usia Rasulullah saw kurang lebih selisihnya adalah sekitar 30 tahun. Kita memuji dan memuja Imam Ali bin Abi Thalib karena setelah kita membaca berbagai sejarah kehidupan beliau, beliau telah berhasil menjadi alumni madrasah Rasulullah saw.
Imam Ali sejak kecil berada pada didikan rumah Rasulullah saw. Salah satu keberhasilan pendidikan dan dakwah Rasulullah saw adalah ketika beliau berhasil mendidik seorang murid dan alumni seperti Imam Ali bin Abi Thalib.
Dalam sebuah riwayat Imam Ali menyebutkan, “Aku mendapatkan berbagai ilmu dari Rasulullah saw. Setiap ilmu yang aku dapatkan terbuka bagiku juga puluhan, ratusan, dan ribuan masalah.” Sehingga, semua itu dipahami dan menjadi modal besar sebagai pemimpin setelah Rasulullah saw.
Tentu banyak sekali hal yang bisa kita teladani dalam kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib as dalam berbagai dimensinya. Dalam dimensi rasional kita melihat bagaimana beliau berpikir sempurna dengan akal, dan demikian juga dalam dimensi ibadah, kita melihat bagaimana ibadah Imam Ali bin Abi Thalib, baik ibadah yang bersifat personal antara dirinya dengan Allah, dalam salat-salatnya, munajatnya, zikirnya, perjuangannya dan berbagai hal lainnya. Begitu juga ibadah komunal dan sosial yang dilakukan oleh Imam Ali bin Abi Thalib dan berbagai dimensi lainnya.
Skala Prioritas
Saya hanya ingin pada waktu yang singkat ini menyampaikan bagaimana Imam Ali bin Abi Thalib menentukan skala prioritas dalam berbagai hal dalam kehidupannya untuk kemudian kita teladani. Kita tahu bahwa hidup di dunia yang sangat singkat, dengan berbagai kapasitas dan berbagai kekurangan dalam banyak hal, baik itu waktu, tenaga, fasilitas, keuangan, ataupun yang lainnya, maka sangat diperlukan setiap kita untuk menentukan mana skala prioritas yang harus kita ambil dari berbagai pilihan lainnya.
Kalau kita pelajari kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib as, beliau adalah orang yang cerdas dan memberikan contoh kepada kita untuk menentukan yang mana yang harus kemudian diambil. Coba kita lihat, sejak Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib masih berada dalam usia belia, semua catatan sejarah menyebutkan bahwa beliau adalah orang yang pertama menerima ajakan Rasulullah saw setelah istri tercinta Rasulullah saw yaitu Sayyidah Khadijah menerima dan memeluk Islam. Semua catatan ahli sejarah menyebutkan bahwa di antara pemuda yang pertama masuk Islam adalah Imam Ali bin Abi Thalib. Sejarah mencatat bahwa saat itu ketika salat jamaah pertama dilakukan oleh Rasulullah saw adalah salat jamaah yang dilakukan oleh tiga orang, satu orang imam yaitu Rasulullah saw dan dua orang makmum laki-laki dan wanita. Yang laki-laki adalah Imam Ali bin Abi Thalib dan yang wanita adalah istri beliau Sayyidah Khadijah.
Mengapa Imam Ali termasuk yang pertama beriman kepada Rasulullah? Karena beliau menentukan skala prioritas. Setelah memahami dengan akal sehat beliau dan kedekatan beliau dengan Rasulullah saw sehingga beliau tahu bagaimana kejujuran Rasulullah saw, bagaimana pribadi agung Rasulullah saw, maka di saat Rasulullah saw menyampaikan dakwahnya pertama kali, yang siap untuk mengimaninya adalah Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau tinggalkan semua hal lain. Beliau singkirkan berbagai kepentingan dan berbagai hal yang mungkin bertentangan dengan pilihan beliau untuk beriman kepada Rasulullah saw. Imam Ali pun menanggung derita sejak berada di Syi’ib Abi Thalib. Tapi itu dipilih oleh Imam berdasarkan bahwa beliau memahami dengan baik.
Inilah memang keimanan yang harus Imam Ali pilih. Ini adalah contoh besar dalam kehidupan kita bagaimana kita menentukan setelah akal sehat kita digunakan dengan sempurna, setelah kita pelajari dengan seksama, mungkin juga kita perlu bermusyawarah berkonsultasi dengan para ahlinya dan kita harus menentukan mana kebenaran yang harus dipilih. Walaupun mungkin kita harus meninggalkan banyak hal, harus menanggung risiko, kebenaran adalah satu-satunya yang tidak bisa lagi dikorbankan. Itu adalah teladan pertama yang bisa kita dapatkan dalam kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib.
Dalam hal lainnya juga kita dapatkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib as selalu memprioritaskan kepentingan umum daripada kepentingan dirinya sendiri. Imam Ali menyadari bahwa dirinya adalah orang yang paling berhak sesuai dengan apa yang sudah disampaikan oleh Rasulullah saw dalam hal kepemimpinan setelah beliau. Hal ini sesuai dengan banyak ayat dalam Alquran yang menunjukkan hal itu. Begitu juga riwayat yang disebutkan oleh Rasulullah saw atas penunjukan dirinya. Namun di saat bertentangan dengan kepentingan umum atau apa yang kemudian harus dipaksakan, yang mana Imam Ali bin Abi Thalib pascawafatnya Rasulullah saw tidak bisa untuk menjadi pemimpin sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw, maka Imam Ali mengatakan, “Demi Allah aku akan serahkan (kekhalifahan), selama keselamatan umat adalah taruhannya. Aku akan diam selama itu menjamin keselamatan umat dan bahaya serta ruginya hanya tertuju kepadaku secara pribadi.”
Bagi Imam Ali bin Abi Thalib dirinya sudah tidak lagi diperhitungkan kemauan dan keinginan dirinya. Sudah lama beliau tinggalkan. Itulah yang beliau dapatkan dari didikan Rasulullah saw. Bagaimana beliau bersama Rasulullah saw dalam berbagai peperangan tidak lagi memikirkan dirinya. Bahkan di saat beliau akan menikah dengan putri Rasulullah saw, Sayyidah Fathimah az-Zahra, saat itu Rasulullah saw bertanya kepada Imam, “Apa yang engkau bisa jadikan sebagai mahar dalam perkawinan ini?”
Imam Ali menjawab, “Wahai Rasulullah saw, engkau yang tahu keadaan dan kondisiku sejak masa muda sampai saat ini, sejak masa kanak-kanak hingga saat ini, aku tidak punya kecuali tiga hal: aku punya pedang yang dengannya aku berjuang di jalan Allah, aku punya kuda yang dengannya aku menyelesaikan dan memenuhi berbagai kebutuhan hidupku serta berperang di jalan Allah, dan aku punya baju besi yang dengannya juga aku gunakan untuk berperang di jalan Allah bersamamu.”
Rasulullah mengatakan kepada Imam Ali, “Pedang dan kuda adalah dua hal yang masih sangat engkau butuhkan. Tapi engkau tidak butuh lagi pada baju besi. Baju besi yang digunakan untuk perang sudah tidak engkau butuhkan lagi, karena engkau telah menjual dirimu kepada Allah, engkau siap untuk mati kapan saja.”
Dengan kelihaian Imam Ali dalam peperangan beliau selamat dari berbagai tebasan pedang. Sejak saat itu baju besi tersebut dijual oleh Imam Ali untuk menjadi maskawin ketika beliau menikahi putri Rasulullah saw.
Itu adalah bukti nyata di mana beliu telah memprioritaskan kepentingan umum daripada kepentingan dirinya sejak beliau bersama Rasulullah saw. Di saat ada seorang pengemis miskin yang kelaparan di malam hari datang di hadapan atau di saat bersalat jamaah salat Isya bersama Rasulullah saw, dan ketika Nabi saw menawarkan kepada sahabat siapa yang akan menjadi tuan rumah untuk tamu asing ini memberikan makan malam baginya, maka tidak ada yang saat itu menyanggupinya, kecuali Imam Ali. Imam pun mengajak orang itu ke rumahnya.
Ketika sampai ke rumah Imam Ali bertanya kepada istrinya, Sayyidah Fatimah, “Adakah makanan pada malam ini?” Sayyidah Fatimah menjawab bahwa ada makanan tapi hanya untuk satu orang saja. Imam Ali bertanya, “Bagaimana kedua anak kita, Hasan dan Husain?” Saat itu mereka bedua masih sangat anak-anak. Sayyidah Fatimah menjawab, “Biarkan aku ajak mereka tidur.” Kemudian Imam Ali meminta satu porsi makanan itu untuk dihidangkan di tempat makanan bersama tamu dengan lampu dipadamkan supaya tidak mengetahui bahwa tidak ada makanan di hadapan Ali bin Abi Thalib, yang ada adalah makanan di hadapan sang tamu.
Imam Ali malam itu memberikan makanannya. Demikian juga Sayyidah Fatimah dan dua putranya Imam Hasan dan Imam Husain memberikan makanan mereka kepada sang tamu dalam kegelapan. Seolah-olah sang tamu menyangka semua menikmati makanan malam.
Itu dilakukan Imam Ali di saat beliau masih sangat belia dalam artian bersama kehidupan Rasulullah saw. Begitu juga ketika beliau memimpin umat ini, sebagai khalifah de facto, beliau selalu memprioritaskan segala hal yang berhubungan dengan umat. Beliau sangat minim untuk dirinya sendiri. Beliau tidak memiliki apa-apa di rumahnya. Jangankan perabot yang mewah, jangankan kendaraan yang mewah, untuk makanan saja beliau hanya mencukupkan dengan roti kering dan segelas susu ataupun beberapa butir kurma saja.
Manakala putrinya menghidangkan makanan kepada Imam Ali beberapa macam makanan, beliau meminta untuk diangkat dari meja makannya kecuali hanya roti kering. Beliau berkata, “Aku takut di hadapan Allah ada di antara mereka yang aku pimpin, mereka tidak bisa menikmati makanan, sementara Ali bin Abi Thalib memakan makanan lebih daripada satu macam. Aku takut jika banyak di sana nanti di hadapan Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadaku.”
Itu semua dilakukan oleh Imam Ali bin Abi Thalib tatkala beliau mampu menentukan skala prioritas dalam kehidupannya bahwa kepentingan umum adalah sebuah hal yang harus beliau kedepankan daripada kepentingan pribadi.
Ini teladan besar bagi kita yang mengklaim bahwa kita mengakui sebagai pencinta Imam Ali sejati. Kita mungkin tidak sampai pada tingkatnya memberikan makanan kita kepada orang lain, tapi mungkin kita bisa menikmati makanan sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan dalam makanan kita, dalam pakaian kita, dalam perabot yang kita miliki di rumah. Karena kita juga harus memikirkan banyak saudara-saudara kita yang masih menunggu yang kebetulan nasibnya lebih jelek daripada kita, berada di bawah garis kemiskinan, yang mungkin tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya.
Sebagai pencinta Imam Ali bin Abi Thalib dan mengakui beliau sebagai pemimpin, maka tentu kita harus berpikir ulang untuk menentukan mana yang pantas untuk kita miliki di rumah. Apakah pantas bagi kita semua untuk mengganti berbagai perabot kita setiap tahun atau setiap waktu sekali dengan hal-hal yang lebih mewah, TV sudah kita miliki, namun terus bertambah dan terus tambah besar ukuran incinya, HP sudah kita miliki tapi terus bertambah semakin kita ambil yang lebih canggih dan lebih mahal. Begitu juga hal-hal lainnya yang mungkin tidak perlu kita sebut satu-satu. Tetapi yang pasti kita harus menyadari bahwa sebagai pengikut Imam Ali bin Abi Thalib tidaklah layak kita berbuat begitu.
Imam Ali memang pernah berkata, “Kalian pasti tidak mampu mengikuti persis seperti aku, tapi bantulah aku, sebagai pengikutku, agar kalian membuktikan bahwa pengikut adalah punya kesamaan dengan yang diikuti. Bantulah aku untuk selalu kalian bertakwa kepada Allah, kalian zuhud dan tidak terlalu memikirkan dunia, dan kalian selalu berkata benar dan jujur dalam tutur kata kalian.”
Itulah hal-hal yang diminta oleh Imam Ali bin Abi Thalib kepada kita sebagai pengikutnya.
Singkatnya, Imam Ali bin Abi Thalib mementingkan segala sesuatu yang berasaskan kebenaran untuk kemudian beliau pilih dan kemudian beliau tinggalkan yang lainnya. Beliau juga mementingkan kepentingan umum, kepentingan umat, daripada kepentingan pribadinya. Beliau mementingkan mereka yang membutuhkan bantuan walaupun dirinya berada dalam kesusahan. Ada hal lain yang selalu dipentingkan dan diprioritaskan oleh Imam Ali bin Abi Thalib yaitu bagaimana beliau selalu ingin menegakkan keadilan. Keadilan bagi Imam Ali bin Abi Thalib adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi mana beliau menerima tampuk kekuasaan, kursi khalifah pada masa setelah tiga khilafah sebelumnya. Beliau mengatakan dalam kitab Nahj al-Balaghah yang disusun oleh Sayyid Muhammad Radhi’, “Demi Allah andaikan aku dapatkan dalam hitungan uang-uang baitulmal yang selama ini berada di tangan-tangan orang lain, dan aku dapatkan catatan-catatan yang tidak benar, uang-uang yang kemudian digunakan untuk hal-hal lain, hal-hal pribadi, misalnya membayar maskawin atau digunakan untuk membeli budak-budak, maka aku akan meminta dan aku akan kembalikan kepada baitulmal.”
Itu adalah Imam Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan keadilannya. Sehingga banyak para analis yang ketika membaca kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib, khususnya ketika pascawafatnya Rasulullah saw hingga beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir, banyak para sejarawan yang mengambil kesimpulan bahwa Ali dibunuh karena keadilannya. Ali adalah mereka yang menginginkan keadilan tegak di atas muka bumi, namun tentu banyak pihak yang kemudian tidak mau dan tidak siap hidup bersama Imam Ali yang seperti itu, dipimpin oleh Imam Ali yang seperti itu, sehingga kemudian terjadilah apa yang terjadi sebagaimana dicatat oleh para ahli sejarah.
Kita juga sebagai seorang pengikut Imam Ali bin Abi Thalib haruslah juga memahami dan menyadari serta meneladani dalam kehidupan kita, bagaimana kita tegakkan keadilan baik dalam lingkup yang paling kecil di dalam rumah kita. Bagaimana kita penuhi hak-hak anak-anak dan istri kita, bagaimana kita laksanakan kewajiban-kewajiban kita kepada mereka, kepada orang tua yang melahirkan kita, ayah dan ibu kita. Begitu juga kepada semua yang ada di dalam rumah kita, dan di bawah kepemimpinan kita, dan begitu juga kemudian hak-hak orang lain yang berhubungan dengan kita.[]
Naskah ini merupakan khotbah Jumat Ustaz Abdullah Beik, Jumat 26 Februari 2021, di ICC, Jakarta. Ditranskrip dan disunting seperlunya oleh redaksi Buletin Nur al-Huda.