ICC Jakarta – Pada masa keghaiban shughra, Imam Mahdi As menjalin hubungan dengan kaum syiah melalui keempat duta khususnya. Dengan demikian, sejatinya Imam Mahdi As sendiri yang berada di posisi itu dan beliau sendiri yang mengatur kehidupan kaum syiah. Hal itu terbukti dengan surat-surat yang dilayangkan kepada Imam. Isi dari surat-surat tersebut bukan hanya sekedar berkenaan masalah-masalah akidah dan fiqih belaka, akan tetapi juga permasalahan keuangan.
Keempat duta khusus tersebut adalah orang-orang yang mendapat kepercayaan dari Imam. Salah satu dari mereka adalah penerus bagi yang lainnya. Apabila yang satu meninggal, maka akan digantikan dengan penerus berikutnya. Keempat duta tersebut dikenal dengan Nawâb al-Khâs (para duta khusus Imam Mahdi As). Para duta khusus Imam As tersebut memiliki hubungan dengan kaum syiah dari seluruh penjuru, di mana pun mereka berada. Tugas mereka adalah menyampaikan surat-surat yang datang dari para pengikut Imam As kepada Imam Mahdi As. Kemudian, setelah surat-surat tersebut mendapatkan jawaban dari Imam Mahdi As (yang biasa disebut dengan tawqi’), mereka pun akan mengembalikan kepada pengirim surat.
Yang perlu diingat adalah bahwa bukan hanya Imam Mahdi As saja yang ghaib dan tidak terlihat oleh masyarakat, akan tetapi para duta khususnya pun juga hampir tidak terlihat oleh masyarakat (yang tentunya hal itu tidak lain hanya demi menjaga keamanan mereka dan yang lebih penting, demi terlaksananya tugas-tugas berat mereka).
Keempat duta khusus tersebut ditunjuk langsung oleh Imam, yang kemudian Imam pun akan memperkenalkan mereka kepada masyarakat dengan menyebut nama dan kriteria-kriteria mereka. Hal itu persis sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Hasan Al-‘Askari as. Beliau bersabda, “Al-‘Amri dan anaknya (Utsman bin Sa’id Al-‘Amri –duta pertama Imam- dan Muhammad bin ‘Utsman bin Sa’id Al-‘Amri –duta kedua Imam-) adalah dua orang yang dapat dipercaya. Apa saja yang mereka sampaikan kepada kalian berasal dariku, dan apa saja yang mereka katakan kepada kalian juga perkataanku[1].”
Dalam riwayat lainnya disebutkan, “Ketahuilah bahwa ‘Utsman bin Sa’id Al-‘Amri adalah dutaku dan anaknya yang bernama Muhammad bin ‘Utsman adalah adalah duta anakku, Imam Mahdi kalian[2].”
Pasca ‘Utsman bin Sa’id (duta khusu pertama), Imam Mahdi As dalam mengangkat duta khusus berikutnya dan menjelaskan kriteria-kriterianya kepada masyarakat itu melalui duta pertamanya[3].
Terdapat beberapa kriteria yang harus ada dalam diri para duta khusus Imam Mahdi As. Mereka harus memiliki beberapa kriteria tersebut, mengingat bahwa tugas yang mereka emban adalah tugas yang sangat berat. Diantara kriteria-kriteria tersebut adalah;
- Keimanan yang tidak pernah goyah
- Seorang yang benar-benar dapat memegang amanah
- Orang yang bertakwa
- Dapat menjaga rahasia.
- Tidak ikut campur dengan tidak memberikan pendapat dan pandangan pribadinya berkenaan dengan perkara-perkara khusus Imam As.
- Menjalankan semua perintah Imam As.
- Dan lain-lain
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dimengerti bahwa duta khusus Imam Mahdi As dengan duta yang bersifat umum (para Marja’ taqlid yang ada sekarang) itu sangat berbeda. Oleh karena itu, keduanya pun juga memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda pula.
Dari beberapa kriteria yang ada, terdapat satu kriteria yang lebih penting dari semuanya. Kriteria tersebut adalah bahwa para duta khusus Imam As harus mampu menjaga rahasia keberadaan Imam As.
Terkait hal ini, Syaikh Thusi dalam kitab Al-Ghaibah menulis, “Ada sebagian orang yang bertanya kepada Abu Sahl Nubakhti, “Atas dasar apa perkara niyabat (perdutaan) diberikan kepada Abul Qasim Husain bin Ruh, dan tidak diberikan kepadamu?” Kepada mereka, Abu Sahl Nubakhti menjawab, “Mereka –para Imam Suci Ahlulbait As- tentu lebih tahu siapakah yang layak untuk menduduki makam ini. Terus terang, aku adalah orang yang sering berjumpa dengan para musuh. Dalam perjumpaanku dengan mereka, aku pun sering berdialog dengan mereka. Jadi, sekiranya aku mengetahui apa-apa yang diketahui oleh Abul Qasim tentang seorang Imam, mungkin saja dikala aku berdialog dengan para musuh tersebut, aku akan katakan kepada mereka tentang keberadaan Imam dan tempat persembunyiannya. Adapun Abul Qasim, sekiranya ia dipaksa untuk mengatakan tempat keberadaan Imam dan apabila badannya dipotong-potong dengan gunting sekalipun, maka ia akan tetap tidak mau mengatakannya[4].” (Dars Nameh Mahdawiyat II, Khuda Murad Salimiyan)
Catatan Kaki
[1]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Kâfi, Teheran, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1365 HS, jil. 1, hal. 329, hadis 1; Muhammad Hasan Thusi, Kitâb al-Ghaibah, Qum, Muassasah Ma’arif Islami, 1411 HQ, hal. 243 dan hal. 360.
[2]. Muhammad Hasan Thusi, Kitâb al-Ghaibah, Qum, Muassasah Ma’arif Islami, 1411 HQ, hal. 355.
[3]. Ali Ghafar Zadeh, Pazhuhesyi Pirâmûn-e Zendegani-e Nawwab-e Khâsh-e Imam-e Zaman Ajf, Qum, Nubugh, 1375 HS, hal. 34.
[4]. Muhammad Hasan Thusi, Kitâb al-Ghaibah, Qum, Muassasah Ma’arif Islami, 1411 HQ, hal. 391, hadis 358.